"Kamu bilang sendiri, kalau kamu sudah tidak sedih lagi. Aku minta, kamu jangan nangis, ya … malu dilihat banyak orang di kafe," ujar Rega.
"Aku tidak menangis," ucap Rea dengan isak.
"Tidak nangis, tapi terisak seperti itu."
"Rega …," rengek Rea, membalas pelukan Rega.
"Usssh … sudah jangan menangis, Rea … malu dilihat orang," pinta Rega.
Rea berusaha menahan tangisnya dengan mendekap tubuh Rega semakin erat.
"Sedang membuat program kerja … atau program ken—can?"
***
Awan mendung menyelimuti, tanpa ditemani hujan, hanya sekilas kilat terlintas dalam pandangan. Hiruk pikuk angin, sangat membuat tidak nyaman. Ingin rasanya Rea meliburkan diri dari kuliahnya di hari ini. Untuk tetap berada di rumah, membaca buku atau menonton serial drama kesukaannya.
"Rea, belum berangkat kuliah?" tanya sang Mama, menghampiri anak semata wayang nya itu.
"Sepertinya akan turun hujan. Rea libur saja ya, Ma … sehari saja," pinta Rea dengan memohon.
"Libur kuliah, tapi di rumah saja. Jangan main," balas sang Mama memberikan lampu hijau untuknya.
Mama Rea berlalu, diikuti kegembiaraan Rea yang mendapatkan izin untuk tidak kuliah hari ini.
Rea segera bergegas kembali ke dalam kamarnya dan segera mengganti pakaian rumah, agar bisa dengan leluasa bergerak bebas.
Ia lekas membuka laptop untuk menonton serial drama yang sudah ditundanya selama beberpa hari ini untuk ia tamatkan. Kendalanya gagal menamatkan serial dramanya ialah karena tugas yang sudah mendekati due date-nya.
"Matikan ponsel dulu," gumamnya segera mengaktifkan mode pesawat, agar tidak ada yang menganggunya selama ia menikmati masa liburnya yang hanya satu hari.
Sementara itu, di kampus … Rega terlihat sedang menunggu seseorang.
Ferdinan yang sejak tadi memperhatikan, sudah bisa menebak kalau temannya itu sedang menunggu kedatangan Rea.
"Mau sampai jam berapa kita duduk di loby? Rea sudah pasti telat. Hujan lebat seperti ini," ujar Ferdinan.
"Aku bukan menunggu Rea," balas Rega.
"Kalau bukan Rea, lalu siapa? Aldy?"
Mata Rega membesar ketika Ferdinan menyebut nama Aldy.
"Untuk apa aku menunggu dia? Lebih baik aku menunggu Rea," gerutu Rega.
"Kalau begitu, tunggulah Rea sampai datang. Aku ke kelas dulu …," balas Ferdinan kemudian berlalu, tidak peduli Rega sedang menunggu siapa.
Tidak lama dari Ferdinan berlalu, orang yang ditunggu oleh Rega akhirnya datang juga. Rega mengajaknya ke kantin, untuk berbicara sembari memakan beberapa kue yang dibelinya untuk sarapan.
"Kamu tumben, baik seperti ini padaku. Pasti ada maunya."
"Aku memang baik. Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak," balas Rega terkekeh.
"Apa yang kamu mau?"
"Aku hanya ingin bertanya saja. Kamu benar-benar tidak mengingat Rea, sama sekali?" tanya Rega, pada teman baiknya di kelas, siapa lagi kalau bukan Hans, mantan kekasih Rea.
"Sebegitu penasarannya, ya … kalian kenapa suka sekali menanyakan hal itu padaku? Yang aku ingat, Rea itu … wanita perusuh yang datang ke rumah sakit. Mamaku juga bilang kalau Rea adalah penyebab aku kecelakaan," jawab Hans memaparkannya.
"Kamu tidak ingi tahu, mengapa kamu bisa pergi bersama Rea, hingga terjadi kecelakaan itu?" tanya Rega dengan kepalan tangan, kesal.
"Tidak dan sepertinya aku tidak perlu tahu," jawab Hans.
"Kalau kamu tidak perlu tahu … berarti aku bisa dengan bebas mendekati Rea, tanpa perlu merasa tidak enak padamu," ujar Rega.
"Dekati saja. Aku sama sekali tidak peduli," balas Rega.
"Rea wanita baik. Dan banyak yang menginginkannya. Aku harap kamu tidak menyesal nantinya, saat ia sudah bersanding denganku," tutur Rega begitu percaya diri.
Hans diam, menatap Rega yang tampak begitu serius.
"Hahaha …," tiba-tiba Rega tertawa dan menepuk bahu Hans. "Aku menyukai Rea. Aku hanya meminta izin padamu untuk mendekatinya. Tapi berhubung kamu tidak mempermasalahkannya, berarti aku sudah mendapat lampu hijau, bukan?"
Hans tersenyum seraya menggelengkan kepalanya.
"Silakan saja, Rega …."
***
"Haachuu!!!"
Rea mendadak bersin.
"Ada yang membicarakanku," gumamnya menggerutu.
Rea meraih ponselnya dari atas meja belajar. Hanya dilihatnya saja dan segera ia kembalikan ke posisi semula. Masih jam delapan pagi dan belum saatnya ia mengaktifkan ponselnya.
Rea kembali menonton serial drama yang baru selesai satu episode.
***
Aldy melangkahkan kakinya menuju ke sebuah kafe, untuk mengerjakan sebuah tugasnya. Ia lebih senang mengerjakan secara individu di sebuah tempat, dibandingkan harus beramai-ramai di kampus. Kecuali jika itu adalah tugas kelompok. Aldy adalah mahasiswa yang paling aktif untuk membantu dan berpartisipasi dalam kelompok tersebut.
Kali ini ia mendapat tugas individu dan lagi-lagi memilih sendiri di kafe. Tanpa Rea maupun Ferdinan.
Aldy membuka kunci layar pada ponselnya dan membuka galeri fotonya. Ia melihat beberapa foto terakhir yang diambilnya, foto Rea dan juga Ferdinan yang sedang tidur di kamarnya. Ia tersenyum, terkekeh geli. Apalagi melihat Rea yang terlihat sangat lelah, menunggunya mengerjakan tugas dan memperbaiki flash disk milik Rea.
"Wanita super galau," gumam Aldy, menggelengkan kepalanya.
Aldy mengeluarkan laptop dari dalam tas ransel miliknya dan segera ia hidupkan. Ia juga memanggil pelayan kafe tersebut untuk memesan minuman dan juga camilan untuk menemaninya sembari menyelesaikan tugas kuliah.
Sembari menunggu pesanan datang, Aldy membuka beberapa web yang digunakannya untuk keperluan tugas tersebut.
Tidak lama, segelas mochaccino ice dan potato wedges datang dan siap untuk disantap.
"Terima kasih," ucap Aldy sangat ramah kepada pelayan tersebut.
Sembari mengaduk minumannya dengan stirring, matanya melihat ke arah pintu masuk kafe tersebut. Ia melihat seseorang yang sudah tidak asing lagi baginya. Tangannya berhenti bergerak. Ia segera fokus kepada laptopnya. Ia juga tidak berniat untuk menyapanya, namun rasa penasaran tetap berkecamuk dalam batinnya.
'Dia datang sendiri? a—"
"Maaf ya menunggu lama."
Aldy menoleh, melihat pria itu duduk tidak jauh dari tempat duduknya. Pria itu adalah Hans, mantan kekasih sahabatnya yang juga adalah teman satu band-nya. Yang kini dilihat olehnya, sedang bertemu dengan dua orang wanita yang tidak dikenal olehnya, namun seperti pernah bertemu dengannya.
'Siapa dua wanita itu?'batinnya bertanya-tanya.
Aldy mengambil foto Hans yang duduk memunggunginya dan memperlihatkan dengan jelas dua wanita yang duduk menghadap ke arahnya. Aldy menganggukkan kepalanya, berhasill mendapatkan foto tersebut.
Ia dengan segera mengirim ke group chat yang dibuat oleh Rea, agar mereka bertiga bisa dengan mudah berkomunikasi.
***
Rea mengumpulkan tisu yang cukup banyak dan lembab karena basah dari air matanya.
Ia terlalu terbawa perasaan, hingga tidak dapat menahan air matanya ketika melihat adegan sedih dalam serial drama yang ditontonnya.
Ting!
Sebuah pesan masuk, membuat layar ponselnya menyala.
Rea segera meraih ponselnya, melihat itu adalah pesan dari Aldy.
Rea menyeringai, senang mendapat pesan dari sahabatnya itu.
Namun kesenangannya tidak bertahan lama. Rautnya berubah seketika menjadi bermuram nurja, melihat kiriman dari Aldy.