Dalam kehidupan ini, siapa yang tidak punya masalah? Semua dari kita pasti memiliki masalahnya masing-masing. Yang membedakannya adalah bagaimana ketahanan mental kita menghadapi tekanan tekanan hidup yang datang silih berganti, tidak bisa menyalahkan begitu saja sementara kita sendiri belum tahu alasan di balik ini semua. Mudah menyerah, berpikir terlalu pendek kata-kata ini akan dilontarkan setelah keadaan membaik, kembali membuat tekanan mentalnya rapuh. Sudah sebaiknya kita tak perlu menghakimi.
Alasan mengapa memilih jalan mengakhiri hidupnya akan tahu ketika Gendis sudah sadar, demi Tuhan Erik tidak habis pikir gadis itu nekat melakukan ini padahal sudah dua hari Erik selalu berkomunikasi, rasanya bibir lelah, tenggorokan terasa kering hanya untuk menasihati Gendis agar tetap berdiri di atas kakinya sendiri. Erik memahami kehilangan anggota keluarga sekaligus bukan sesuatu yang mudah, belum lagi Gendis akan ditinggal nikah oleh mantan kekasihnya. Menyakitkan sekali hidup gadis itu, Erik menatap sebuah ruangan bertulisan ICU. Di depan sini ia masih berharap ada kabar baik, ini sudah hari ketiga Gendis belum juga melewati masa kritisnya.
Erik pernah membaca satu artikel di aplikasi halodoc masih seputar tentang bunuh diri, isinya kira-kira seperti ini, sebuah penelitian dilakukan oleh dr Anne Laura Van Harmelen bersama timnya dari Universitas Cambridge, terkait keinginan bunuh diri pada seseorang. Dalam penelitian tersebut, tim mengamati perubahan struktur dan fungsi otak dari 12.000 orang peserta yang dilibatkan. Peneliti kemudian menemukan bahwa manusia memiliki dua jaringan otak yang bisa meningkatkan keinginan untuk bunuh diri.
Jaringan pertama disebut dengan prefrontal cortex ventral dan lateral. Jaringan ini menghubungkan area otak frontal atau bagian depan serta bertugas dalam mengatur emosi. Ada beragam faktor yang bisa menyebabkan terjadinya perubahan pada jaringan tersebut. Saat terjadi perubahan, akan tercipta pikiran negatif yang berlebihan.
Sementara jaringan kedua memiliki fungsi menghubungkan korteks prefrontal dorsal dan sistem gyrus frontal inferior. Jaringan ini berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan serta mengendalikan perilaku seseorang. Perubahan yang terjadi pada bagian ini, terutama yang bersifat negatif bisa meningkatkan atau memicu keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Intinya keadaan Gendis tak stabil waktu itu.
"Mas Erik,"
"Kasih ke dia kalau bangun," Erik memberikan setangkai bunga mawar warna merah, sudah tiga tangkai ia berikan dan memberinya saat Erik ke rumah sakit untuk melihat kondisi Gendis. Erik datang setiap hari, kadang sendiri atau bersama Fredella. Erik memundurkan kursi roda miliknya, ia tidak bisa berlama-lama harus segera kembali ke apartemen.
"Mas Erik!"
Erik menoleh, ada Mawar di sana. Erik mengenal perempuan ini sudah beberapa hari, sahabat Gendis yang Erik tahu masih peduli sampai hari ini. "Saya mau pulang, kamu di sini?"
Mawar mengangguk. "Terima kasih Mas, selalu ke sini melihat keadaan Gendis,"
Sudah menjadi tugas Erik bergantian menjaga Gendis, kebaikan Gendis perlu ada balasan dari Erik. Beberapa bulan yang lalu perempuan itu begitu ikhlas mengurus Erik. "Iya, sudah sepatutnya saling membalas kebaikan. Oh iya, jangan nangis terus Mawar, Gendis gadis yang kuat. Kamu tenang aja," balas Erik
"Iya Kak, cuman aku nggak tega lihat Gendis ..."
Gendis beruntung dikelilingi orang-orang yang menyayanginya, ada sahabat, tantenya bagi Erik ini cukup membuat Gendis sadar tidak sendiri. Mawar termasuk teman paling setia dibanding teman-teman Erik, perempuan itu selalu datang ketika kuliah sudah selesai dan membantu melakukan apapun. Erik salut, di dunia masih ada orang baik.
"Saya balik dulu, kalau Gendis sadar kasih tahu saya,"
"Hati-hati ya, Mas ..."
Erik mengangguk, mulai menjalankan kursi roda miliknya sebelum berjalan lebih jauh— Erik mengucapkan beberapa kalimat untuk Gendis. "Sembuh dong Ndis, saya kangen cerewetnya," ucap Erik dalam hati.
Sesampainya di apartemen Erik sedikit terkejut dengan kedatangan Anggara, tumben sekali datang padahal Anggara mengatakan sedang sibuk di kantor.
"Gendis sudah ada yang dampingi?"
"Baru juga datang malah ditanya," sahut Erik menutup kembali pintu apartemen.
"Gendis butuh psikiater,"
"Buat apa? Gendis tidak gila, Mas," Erik masuk ke dalam ingin melepaskan diri, sejujurnya menaiki kursi roda pemberian Axel belum terbiasa. Erik memilih duduk di sofa khusus miliknya, berbentuk panjang. Sofa ini Fre yang membelikan, agar Erik lebih nyaman.
"Ada psikiater bukan berarti Gendis gila, Gendis harus di dampingi. Kondisinya sangat mengkhawatirkan bisa saja melakukan hal yang sama dihari yang berbeda," jelas Anggara. Anggara kaget mendengar penjelasan Fre tentang kondisi Gendis, tentang meninggalnya keluarga Gendis. Setelah Fre menelepon Anggara langsung terbang dari Surabaya ke sini memastikan semuanya.
"Gendis bisa normal jangan berlebihan,"
"Rik ini bukan soal berlebihan, kesehatan mental itu penting."
"Mental Gendis baik-baik aja Mas, dia masih kaget nanti juga normal." jawab Erik
Inilah kebiasaan buruk manusia, mengabaikan tentang kesehatan mental seseorang. Menganggap mudah orang yang harusnya mendapat penanganan khusus. "Kamu tidak tahu seberapa hancurnya Gendis saat ini, kalau kamu mau nikahi dia. Gendis butuh teman,"
Erik mendelik. "Gila kamu, Mas. Mau aku kasih makan apa Gendis kalau menikah denganku?"
"Kita bisa membantumu soal keuangan, Rik ... Mas bicara serius kali ini, nikahi Gendis. Mas pernah datang ke tempat makan Gendis, orang tuanya mengatakan soal pernikahan biar Gendis yang memberi keputusan."
Erik menyandarkan kepalanya, memijat keningnya. "Menikah dengan Gendis sama saja aku merusak kebahagiaan Gendis, Gendis berhak bahagia karena diri sendiri bukan aku! Aku tidak bisa Mas, aku cacat. Kebahagiaan apa yang Gendis dapatkan dari pria cacat sepertiku? Bekerja saja tidak,"
"Kamu tidak cacat, sebentar lagi sembuh,"
Erik menoleh. "Sembuh hanya dalam mimpi, aku tetap menjadi pria lumpuh yang merepotkan semua orang," tungkas Erik. Memilih memejamkan mata, soal pernikahan belum Erik pikirkan, Erik perlu menimbang-nimbang apalagi kondisi ia seperti ini. Anggara terlalu berpikir pendek, padahal Gendis bisa meraih bahagianya tanpa harus menikah dengan Erik.
***
Satu Minggu berlalu, bunga mawar selalu Erik kirim meski bukan dirinya terkadang Erik menyuruh ojek online mengantar ke rumah sakit. Dan hari ini Erik mendapatkan kabar bahagia, dimana Gendis melewati masa kritisnya dan sudah dipindahkan ke ruangan biasa. Erik menyuruh pihak rumah sakit membawa Gendis ke ruangan VVIP soal biaya, biar Erik yang membereskan.
"Bisa diurus bagian marketing, thanks Yu," Erik menutup sambungan telepon sebelum masuk ke dalam rumah sakit. Menyimpan kembali ponselnya, kali ini datang bersama Fre.
"Aku curiga kamu berbisnis lagi, ya?"
"Nggak,"
"Terus tadi? Kenapa harus menyembunyikan ini sih, Bang?" tanya Fre penasaran. Erik sangat misterius sejak dulu, jujur sebagai adik ia tidak tahu pekerjaan tetap kembarannya. Erik pernah kuliah bisnis tapi bukan bisnis yang Erik bangun, malah menjadi seorang pembalap.
"Tidak ada yang disembunyikan, cepat dong dorongnya, lemes banget habis diapain sama si Om?"
Fre memukul mulut Erik, kebiasaan sekali setiap bicara tidak mau melihat kanan-kiri dan kondisi. Om yang Erik maksud adalah Axel, padahal umur Axel belum terlalu tua. "Mulutmu menyebalkan, kamu pikir Axel brengsek?"
"Kali aja, bibirmu sering bengkak soalnya," Erik paling suka kalau sudah menggoda adiknya, kadang pipi Fre langsung memerah dan sering salah tingkah.
Fre membungkam mulut Erik. Untung memakai kursi roda tanpa listrik jadi Erik tidak bisa menghindar, Fre malu jika Erik sudah berbicara tentang hubungannya.
Erik menepis tangan Fre, mereka sudah sampai di ruangan Gendis. Benar dugaan Erik, Gendis pasti bisa melewati masa kritisnya.
"Maw, aku capek. Kenapa nggak mati aja, aku mau menyusul Bapak, Ibuku dan dua adikku. Buat apa aku hidup Maw?"
Suara isakan Gendis terdengar di teling Erik.
"Ndis sabar ... Tenang ya,"
"Nggak Maw, aku mau mati aja! Aku capek, aku mau mati Maw ..."
"Ndis jangan!"
"Kamu nggak akan mengerti kondisi aku, perasaanku."
"Kita bisa bicara!"
Suara Mawar setengah berteriak, sepertinya di dalam sana hanya ada Mawar. Erik masih diam di depan pintu belum mau masuk— ingin mendengar penjelasan Gendis lebih lanjut. Erik menahan Fre agar diam sebentar.
"Maw ... Hidupku sekarang sendiri, nggak punya siapa-siapa. Nggak ada lagi yang bisa diandalkan, jadi buat apa aku hidup? Lebih baik ikut mereka, carikan aku pisau, Maw! Tolong ..."
Suara Gendis melemah Erik menelan slivanya, benar ucapan Anggara— Gendis dalam keadaan berantakan.
"Ndis, jangan cabut infusnya!"
Teriakan Mawar dari dalam membuat Erik langsung membuka pintu, masuk ke dalam lalu menegur Gendis.
"Diam!" suara ketegasan Erik muncul, Erik mendekati Gendis menatap mata Gendis. Tatapan Erik datar, ia sedang menahan emosinya. "Kamu pikir dengan mati bisa membuat keadaan lebih baik?"
Gendis menunduk.
"Menggantungkan diri seolah-olah menjadi jalan terakhir salah satu tindakan konyol, pikirkan baik-baik Gendis, kamu masih memiliki kami semua. Tidak sendiri."
"Mas nggak akan mengerti perasaanku ..." lirih Gendis mengusap air mata yang terus mengalir.
"Bagaimana bisa mengerti, kamu saja tidak mau bercerita." Erik berdiri lalu berpindah duduk di samping Gendis, meski kakinya belum stabil tapi ia bisa melakukan sendiri. Erik menggenggam tangan Gendis. "Pikiran matang-matang Ndis, kuliahmu sebentar lagi selesai. Kamu tidak mau jadi orang sukses?"
"Mas, aku lelah Mas ... Aku cuman mau ma—"
Ucapan Gendis terputus karena Erik menciumnya di depan Fre dan Mawar, Erik tidak suka dengan ucapan Gendis tentang kematian.