webnovel

Kanvas

Suasana hening sejenak. Hembusan angin yang muncul dari lantai atas sempat membelai rambut Theodor hingga bulu kuduk Pemuda tersebut berdiri.

"Kau tidak ingin memeriksa apa yang terjadi di lantai atas?" Amarru bertanya sambil menatap ke arah anak tangga lantai dua.

Theo mengambil tiga langkah maju dengan enggan. Jujur, dia belum siap ada serangan mendadak dalam waktu dekat.

"Ayo" Amarru berdiri tegak meninggalkan sofa memimpin Theo di depan.

"Hey, kau bilang tenagamu juga terkuras banyak. Duduklah saja oke," protes Theo mencoba menghentikan Amarru.

"Ikuti saja dia. Aku... merasakan... energi Sergei di lantai dua" ucapan Hisashi mematahkan keinginan Theo untuk naik ke lantai dua sendirian. Beliau berusaha berdiri dari sofa tetapi tubuhnya mulai limbung. Untung saja dia kembali jatuh terduduk di atas sofa bukan di lantai.

"Hisashi duduk manis saja di sana. Kalau sampai di atas sana kalian butuh bantuan, akan sulit bagiku menyelamatkan kalian sekaligus" Theodor memperingatkan.

Thodor bersama Amarru naik ke lantai dua tetapi mereka tidak melihat apa pun yang mencurigakan.

Wussssssh

hembusan angin datang lagi secara tiba-tiba menerpa tengkuk Theodor. Tubuhnya menegang karena suhu dingin tersebut. dia menoleh ke arah di mana hembusan angin berasal. Pintu di sebelah gudang ternyata terbuka.

"Sial! tidak mungkin" desis Theodor perlahan. Tetap saja Amarru dapat mendengar ucapannya.

"Apa yang tidak mungkin?"

"Pintu itu" si pemilik rumah menunjuk ke arah pintu rahasia disebelah gudang.

"Sejak kapan pintu itu ada?" dua kali berkeliling rumah Theo, baru sekarang Amarru melihat keberadaan pintu rahasia.

"Apa Dad ada di dalam sana?" Theodor melangkah mendekat ke arah pintu.

"Stop Theo! bagaimana jika di dalam sana bukan Dad angkatmu? tetapi Sergei?"

"Sergei? untuk apa Iblis membuka pintu kalau dia bisa langsung menembus pintu atau dinding rumahku? pasti ini manusia" dengus Theo masih tetap memerhatikan pintu rahasia yang terbuka.

"Dan dirumah ini, yang tahu password pintu rahasia hanya Dadku. Bahkan aku belum pernah masuk ke dalam ruangan di balik pintu itu sampai sekarang"

"Kau bisa tetap di sini untuk berjaga-jaga kalau tiba-tiba ada bahaya" tambah Theodor. Kakinya sudah mencapai ambang pintu.

"Nyalakan ponselmu atau cari di mana saklarnya berada. Di dalam sana terlalu gelap" Amarru berbisik membuat Theo terlonjak kaget. Hampir saja berterik.

Sret Sret Sret

Pembicaraan keduanya terhenti begitu mereka mendengar suara goresan dari dalam ruangan. Dengan tangan gemetaran Theodor merogoh saku celananya lalu mengaktifkan fungsi senter dari ponselnya.

"Eve?" ekspresi terkejut, sekaligus bingung tergambar jelas di wajah Theodor.

Dalam kegelapan Eve melayang, sambil menempel di dinding. Kedua tangan gadis tersebut direntangkan setinggi bahunya. Mata Eve terus tertuju pada sebuah kuas yang sibuk menari-nari di atas kanvas dengan sangat lincah.

Ajaibnya, setiap goresannya menciptakan gambar yang terlihat sangat hidup. Tampaknya kuas tersebut tidak membutuhkan cat berwarna-warni karena tiap goresannya sudah melukiskan warna itu sendiri. Theo membuka mulut untuk mengajak Eve bicara tetapi Amarru membungkam mulut Theo dengan tangan kirinya.

"Kau bisa membangunkan Eve sebelum lukisannya selesai. Biarkan dia menyelesaikan pekerjaannya" bisik Amarru sambil perlahan membuka bekapannya pada mulut Theo.

"Maksudmu dia melukis sambil tidur?"

"Aku merasakan Eve sedang berkomunikasi dengan seseorang" jawaban Amarru membersitkan rasa ingin tahu yang teramat kuat dalam jiwa Theo.

"Siapa? Sergei benar-banar berada di sini?" bisik Theo tak yakin. Sebab jika Sergei benar ada di sana, pasti dia sudah menyerang dirinya sedari tadi.

"Diam... dan perhatikan lukisannya"

"Jadi makhluk itu yang melukis untuk Eve?" mulut Theo dibanjiri banyak pertanyaan. Amarru mengacuhkan pemuda yang sedang terpaku disampingnya itu. dia justru penasaran apa yang sedang dibicarakan Eve dengan makhluk tersebut?

Seluruh permukaan kanvas telah dipenuhi gambar penuh warna. Seolah ada kehidupan di dalamnya. Itu terlihat sangat nyata. Apakah... ada kehidupan lain di dalam kanvas?

Eve mendarat ke lantai dengan mulus. Suara kakinya menapak terdengar jelas di ruangan ini disertai dengan suara kuas yang jatuh ke atas lantai. Tiba-tiba Eve seolah kehilangan daya sehingga dia jatuh tertelungkup ke atas lantai.

Amarru berlari ke arah Eve dan memastikan gadis ini baik-baik saja. Tiga menit kemudian napas Eve mulai teratur. Bulu matanya bergetar lembut. Tak lama kemudian kedua kelopak matanya terbuka sedikit demi sedikit.

"Felix Sanders...." Eve meraih ubun-ubun Theo sambil berusaha melanjutkan kata-katanya.

"Kau harus menemukan masa lalumu segera. Aleah dan Marcus membutuhkan Putranya untuk menumpas Sergei" cahaya mata Eve yang kelam saat berbicara, seolah sedang memanggil Felix dalam diri Theodor.

"Ah, di mana ini?" tiba-tiba Eve bertanya. Kali ini matanya menunjukkan cahaya kehidupan.

"Justru aku yang ingin bertanya padamu. Siapa yang mengizinkanmu kemari?" tatapan menusuk langsung dilayangkan pada Eve secepat kilat.

"Kau yang membawaku kemari. Kita berbicara banyak hal di sini tadi. Kau ingin menyangkal? lukisan di kanvas itu buktinya" sungut Eve merasa dirinya dituduh memasuki ruangan tanpa izin.

tes...

tes...

Mendadak hidung Eve mimisan. Darah yang keluar mirip dengan rintikan air hujan yang deras.

"Ada hal penting apa sehingga kau mengizinkan anak itu menggunakan kekuatanmu hampir di ambang batasmu begini?" desis Amarru geram sambil menyerahkan sapu tangan pada Eve.

Amarru segera membopongnya keluar turun ke ruang tamu untuk menemui Hisashi. Gadis ini tidak mungkin bisa berdiri dengan benar selama satu jam.

Sementara itu, Theodor hanya berjongkok diam terpaku di tempat. Ucapan Eve baru saja membuatnya sangat terbebani.

"Mom, Dad, membutuhkan Putranya? tetapi... terakhir kali Dad menemuiku dia hanya..." gumam Theo berusaha tidak terpengaruh ucapan Eve.

"Tidak. Jangan-jangan setelah menolong kami waktu itu, Dad... dalam masalah" wajah Theo memucat.

Hey, bagaimana jika mereka hanya menipuku? bagaimana jika Sergei dan Marcus dalam perahu yang sama? Bagaimana kalau... aku bukan Putranya? batin Theodor, menatap langit-langit.

srak

srak

suara sesuatu bergerak menuju lukisan. Tentu saja suara ini menarik perhatiannya. Tatapan Theodor kosong ketika matanya terkunci tepat di depan lukisan pertama. Lukisan yang menggambarkan Felix dikendalikan awan hitam yang mengelilingi dirinya berjalan menuju sungai.

Lalu seseorang berjubah hitam berusaha menangkapnya tetapi awan hitam justru melemparkan Felix ke sungai hingga dia hanyut di dalamnya.

Lukisan kedua menggambarkan bagaimana ketakutannya Felix, saat terkepung api yang berkobar-kobar di dalam gudang bawah tanah. Dan masih ada tiga lukisan lain lagi.

Theo berlari ke arah ruang tamu lalu duduk disamping Hisashi tanpa kata. Hisashi dapat merasakan kegelisahan yang berkecamuk dalam dirinya. Gelagat Theo seperti seorang anak kecil yang ingin menyembunyikan diri.

Hisashi dengan susah payah bangkit dari duduknya lalu berjongkok di depan Theodor.

"Nak, lihat ke arahku," tegur Hisashi tetapi Theodor diam dengan tubuh bergetar hebat. Mata Theo bahkan bergerak tidak fokus.

"Paman tidak akan menyakitimu. Percayalah pada Paman, Felix..." tambah Hisashi sambil menepuk-nepuk lembut ubun-ubun Theodor.

Felix? apa sesuatu terjadi pada Theo di dalam tadi? pikir Eve terkejut sambil diam-diam memerhatikan perlakuan Hisashi terhadap Theo.

Merasakan beberapa tepukan lembut dari Hisashi, Theodor jadi semakin tenang. tetapi matanya mulai berkaca-kaca. Air matanya menitik lalu Theodor kembali menjadi normal.

"Ada masalah dengan kepalaku?" pertanyaan Theodor melegakan hati Hisashi.

"Soal tidur berjalanmu. Apa pernah kau mengalami kejadian berada di suatu tempat secara tiba-tiba? tanpa kau sadari kapan kau, datang ke tempat itu? Padahal kau tidak tidur?" Hisashi bertanya, dengan tatapan penuh selidik.

"Apa maksudmu? aku hanya punya masalah tidur sambil berjalan" Theo tampak semakin bingung.

"Felix. Dia berusaha menghubungimu. tetapi dia melakukan kesalahan sehingga kesadaranmu sempat menghilang" Hisashi mengatakannya sambil berusaha kembali duduk ke atas sofa di samping Theo duduk.

Next chapter