Sangat disayangkan, Intan masih merasa dia harus menjaga harga diri Irwan. Tapi Intan tidak tahu jika dirinya memiliki mata yang tajam ketika dia melihat sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat.
Irwan menyeka tubuhnya dengan handuk, mengenakan pakaiannya, lalu berkata kepada Intan, "Kamu bisa berbalik sekarang, aku sudah pakai baju."
Baru saat itulah Intan berbalik untuk melihat bahwa Irwan berpakaian lengkap, Intan akhirnya bisa bernapas lega.
Intan mandi dengan cepat, lalu dia segera turun untuk sarapan dengan Irwan dan Pak Wijaya.
Orang tua itu sudah duduk di meja makan. Kata-kata pertama yang dia ucapkan ketika melihat Irwan adalah, "Anak ketiga, wajahmu terlihat kusut. Kamu tidak tidur nyenyak semalam?"
Saat itulah Intan menyadari bahwa Irwan memiliki lingkaran hitam di bawah matanya, mata Irwan juga merah.
Apakah Irwan tidak tidur nyenyak tadi malam?
Irwan berkata dengan ringan, "Bukan apa-apa, ini hanya karena mimpi buruk."
Kata-kata tersebut sama sekali tidak bisa menipu orang tua itu. Pak Wijaya khawatir bahwa anaknya hanya bisa melihat perempuan yang tidur di sebelahnya tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Pak Wijaya merasa sedih.
Anak ini, di usia muda, terlihat seperti pria tinggi dan sehat. Tapi siapa sangka dia bisa memiliki penyakit yang tersembunyi?
Saat sarapan, sang ayah menyuruh keduanya, Intan dan Irwan untuk kembali ke rumah lebih awal dan makan malam bersama sebagai satu keluarga.
Begitu mereka pergi, Pak Wijaya segera memanggil Paman Har. Paman Har langsung bergegas menuju Pak Wijaya.
Setelah mendengarkan rencana Pak Wijaya, kulit Paman Har seperti mati rasa.
"Pak Wijaya, bukankah itu rencana yang tidak begitu baik? Jika Tuan Irwan tahu, dia akan marah."
"Aku ayahnya. Apa dia bisa marah padaku? Aku juga memikirkan kebahagiaannya. Lakukan apa yang aku katakan. Kamu tidak boleh memberi tahu Irwan. Sekarang kita adalah sekutu di jalur yang sama."
Hati Paman Har bergetar mendengar perkataan Pak Wijaya. Bersekutu dengan pria tua ini sangat menakutkan.
...
Irwan dan Intan kembali ke rumah bersama di malam hari. Pak Wijaya sudah menyuruh para pelayan untuk menyiapkan makan malam yang mewah.
Ketika Intan tiba di ruang makan, dia melihat ada nasi dan sup yang diletakkan di depan setiap kursi.
Ketika Intan hendak duduk, Pak Wijaya menghentikannya.
"Posisi ini untuk anak ketiga. Kamu duduk di sebelahku saja, aku ingin berbicara denganmu."
"Oh, baiklah."
Intan tidak banyak berpikir dan segera duduk di samping Pak Wijaya. Dia meninggalkan tempat di depannya untuk Irwan.
Makan malamnya cukup hangat. Setelah mereka selesai makan, Pak Wijaya mendesak mereka agar bergegas naik ke kamar atas untuk beristirahat.
Saat keduanya memasuki kamar dan menutup pintu, mereka langsung saling menatap.
"Irwan, apakah menurutmu Paman Wijaya banyak bicara saat makan malam?"
Irwan mengangguk dan mengungkapkan keanehan pada tingkah ayahnya tadi.
Irwan sebenarnya khawatir, ayahnya biasanya selalu licik dan pintar membuat rencana.
Apakah ada obat tertentu yang dimasukkan ke dalam sup labu tadi?
Irwan dan Intan tidak mengerti. Mereka juga tidak peduli tentang itu.
Mereka berdua langsung pergi tidur setelah mandi. Karena mereka sudah pernah tidur bersama tadi malam, jadi Intan tidak mengkhawatirkan apa pun kali ini.
Intan juga tidak lagi takut dengan kontak fisik.
Tangan kecilnya yang dingin menyentuh dada pria itu dengan tidak sengaja, tapi dia menemukan bahwa tubuh Irwan sangat panas.
"Apakah kamu sakit?" Intan sedikit terkejut.
Irwan juga merasa aneh, dia jelas menyalakan AC. Angin dingin dari AC juga bertiup lurus ke bawah tepat mengenai tubuhnya, tapi dia masih merasa tubuhnya terlalu panas. Seperti ada api yang menyala di dalam tubuh dan tidak bisa dipadamkan.
Saat Irwan menyentuh tangan kecilnya tadi, jantungnya sedikit bergetar.
"Kenapa wajahmu sangat merah, kamu juga berkeringat, apa kamu benar-benar sakit?"
Intan menyentuh dahi Irwan yang penuh keringat.
Intan sangat khawatir dengan kondisi Irwan. Dia buru-buru berlari mencari kotak P3K untuk menemukan obat.
Orang yang cerdik seperti Irwan secara alami tahu bahwa dirinya tidak sakit, tetapi kondisi tubuhnya saat ini sangat buruk.
Irwan akhirnya mengerti bahwa ayahnya yang telah bersikap aneh saat makan malam tadi, telah menaruh obat di dalam makanannya.
"Tidak, aku hanya ingin mandi air dingin."
Irwan tidak berani tidur dengan Intan dalam keadaan seperti ini, kalau tidak, maka akan berakibat buruk.
Intan mendengar suara Irwan yang parau dan serak, seolah berusaha menekan sesuatu.
"Bagaimana orang yang sakit bisa mandi air dingin?"
Intan yang panik bergegas ke kamar mandi tanpa ragu. Dia melihat Irwan sedang mengguyur badannya di bawah pancuran.
"Apakah kamu bodoh? Dengan cara ini kondisimu akan semakin buruk!"
Intan melangkah maju dan meraih lengan Irwan. Dia mencoba mengeluarkan Irwan dari kamar mandi, tetapi pria itu tidak mau keluar dan malah menarik Intan masuk lalu menekannya ke dinding.
Air dingin jatuh membasahi punggungnya. Intan juga basuh kuyup terguyur air.
Saat ini Intan hanya mengenakan piyama tipis. Piyama yang basah itu menempel di tubuhnya, memperlihatkan lekuk tubuh indahnya.
"Kamu ... ada apa denganmu?"
Saat itulah Intan menyadari bahwa Irwan tidak sakit, tetapi seperti singa yang baru keluar dari gunung dengan aura berbahaya dan menakutkan.
Mata Irwan berubah kemerahan, ada emosi yang tertahan di dalam yang bisa keluar tiba-tiba, seperti gelombang besar.
Jantung Intan berdetak kencang. Intan tanpa sadar ingin melarikan diri dari situ, tetapi tiba-tiba Irwan memeluknya erat.
Pelukan Irwan seperti dinding besi yang membuat Intan tidak bisa menggoyahkannya sama sekali.
Segera setelah itu, ciuman gila dan mendominasi datang seperti badai.
Sentuhan bibir Irwan terasa panas, penuh hasrat.
Darah di sekujur tubuh Intan seolah mengalir deras ke kepala. Dia tidak tahu apakah itu karena dia malu atau karena otaknya kekurangan oksigen.
Intan hanya tercengang menatap Irwan. Intan berjuang lebih keras untuk melepaskan diri darinya.
Bahkan jika Intan belum mengalami hal yang lebih intens dari itu, Intan bisa memahami betapa bahayanya situasi saat ini bagi dirinya.
"Jangan ... Irwan, kamu harus sadar! Kamu berjanji padaku, kamu ... kamu tidak akan menyentuhku ..."
Intan telah mengerahkan semua tenaganya, tetapi hanya menghasilkan sedikit celah.
Intan mengguncangkan bahunya. Dia menutup matanya karena takut, bulu matanya bergetar ringan.
Intan gemetar, seperti kelinci yang ketakutan yang bisa membuat orang lain mengasihaninya.
Irwan kembali ke akal sehatnya. Dia menggertakkan giginya dengan getir saat melihat Intan menggigil.
Apa yang Irwan lakukan?
sial!
Irwan mengutuk dirinya sendiri dari lubuk hatinya dan membanting tinjunya ke ubin.
Suara Intan menghantam hatinya, membuat jantungnya bergetar.
"Keluar! Cepat!"
Dua kata ini hampir seperti raungan harimau.
Irwan melepaskan tangannya dari tubuh Intan. Intan melirik Irwan sejenak karena ragu-ragu, lalu akhirnya berlari keluar dari kamar mandi.
Intan berbalik menoleh untuk melihat lagi situasinya, tetapi dia tidak menyangka jika Irwan akan menutup pintu kaca ketika dia berbalik.
"Jangan masuk ..."
Suaranya bahkan lebih parau, seolah-olah sedikit malu.
Intan bisa melihat bayangan tubuh besar yang samar. Saat mendengar gemericik air, hati Intan terasa sakit seperti dicubit oleh tangan besar yang tak terlihat.
Reaksinya terlalu kuat, mungkinkah ...
Intan juga memikirkannya, ini pasti perbuatan Pak Wijaya yang berharap mereka akan mendapatkan momongan segera, jadi Pak Wijaya berpikir untuk melakukan hal seperti ini.
Irwan pasti tidak nyaman saat ini, dia ... akankah Intan masuk dan membantunya?
Intan terperangkap dalam pertempuran antara iblis dan manusia, seolah-olah dua penjahat sedang bertarung dalam pikirannya.
Jika Intan masuk, bisakah dia keluar dengan keadaan masih suci?
Tapi?
Irwan adalah tunangannya, suaminya. Intan harus mengabdikan dirinya pada Irwan seumur hidup!
Lalu, apa lagi yang Intan perjuangkan?
Intan meremas tinjunya dengan keras, menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu kaca kamar mandi.
Dia melihat Irwan berendam di bak mandi yang dingin.
Bahkan jika sekarang masih musim panas, tubuhnya tidak akan tahan dengan air dingin seperti itu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Suara Irwan parau dan serak, menandakan bahwa dia merasa sedikit tertekan.
Intan menggertakkan gigi, mengepalkan tangan kecilnya dan mengumpulkan keberaniannya sebelum berkata, "Aku ... Aku akan membantumu ..."