webnovel

Ada Hati yang Patah, Ada juga Hati yang Tumbuh

Belaian lembut dan hangat ia rasakan menyentuh kening hingga kepalanya. Juga telinganya mendengarkan suara lembut itu dengan jelas.

"Dira.. bangun nak udah sore.. kamu nyenyak banget sih tidurnya, sampe mama anterin makan siang nggak mau bangun. Ini udah sore Dira.. mau mandi? Biar mama siapin air hangat?" Tawar Meisya.

Kedua mata Dira terbuka pelan, dibantu perlahan oleh Meisya ia duduk bersandarkan bantal. Ada sedikit keringat di kedua pelipisnya. Bibirnya kering dan wajahnya masih sedikit pucat.

"Iya ma.. Dira pengen mandi.." ucap Dira pelan.

"Ya sudah habis ini mama siapin air hangatnya ya buat kamu. Tapi kamu harus makan dulu gimana? Sambil nunggu airnya.." bujuk Meisya agar putrinya mau makan.

"Hem iya Dira mau makan. Tapi dikit aja ya ma.."

"Iya sayang.. nanti Rendra kesini anter makanan buat kamu oke?"

Dira mengangguk agak lemas.

Tak lama setelah Meisya pergi untuk merebus air untuk Dira gunakan mandi, Rendra datang dengan sebuah nampan yang ia tenteng.

"Nih adek gue harus makan nih.. makan yang banyak biar cepet sembuh.." ucap Rendra dengan nada seperti membujuk anak kecil. Dira tersemyum dibuatnya.

Dengan hati-hati Rendra menaruh nampan pada meja kecil yang khusus untuk digunakan makan di atas kasur. "Gimana? Masih pusing?" Tanya Rendra.

"Udah enggak kok bang. Perutku juga udah ngerasain keroncongan lagi. Kayaknya udah mau sembuh." Jawab Dira senang.

"Makanya dong, kalo capek jangan dipaksain buat kerja. Kan jadi gini, gak enak kan badannya?"

Dira mengangguk membenarkam ucapan Rendra, sambil memakan sedikit-sedikit makanan dihadapannya.

"Bang tanya dong."

"Apa dek?" Tanya Rendra.

"Emang kemarin itu aku pingsan ya?"

Rendra mengangguk.

"Pingsan dimana emang?"

"Kamu pingsan dengan keadaan duduk di kursi kamu. Sama dengerin lagu pakek headset. Yang nemuin kamu dalam keadaan kayak gitu itu Angkasa. Dia yang bantu beresin barang kamu sama telpon abang lewat hape kamu yang kebetulan saat itu gak kamu lock jadi dia bisa cari kontak abang." Jelas Rendra.

"Hmm gitu.. terus?"

"Ya abis itu orang rumah panik. Mama, Papa, apalagi gue. Terus kamu semalaman gak bangun-bangun. Mama ngoceh mulu suruh bawa ke rumah sakit tapi dicegah sama Papa buat dirawat di rumah aja. Yaudah mereka abang suruh tidur duluan dan gue nih jagain adek gue disini, ganti kompres juga. Abang tadi malem tidur disini nemenin kamu." Jelas Rendra lagi.

"Makasih ya bang. Terus sekarang Papa kemana? Aku belum lihat Papa.."

"Papa masih sibuk di kantor. Dia lagi meeting sebuah produk. Makanya lama. Katanya nanti habis maghrib pulangnya."

"Oh gitu.. makasih ya bang sekali lagi. Maafin juga ngerepotin tadi malem. Ya kan abang tau sendiri aku kalo sama pusing sama demam paling nggak kuat."

"Iyaa gapapa santai aja. Oh ya, tadi pagi banget ada temen kantor kamu kesini namanya Karina. Dia ambil berkas kamu yang ada di flashdisk, abang kasih aja ke dia. Katanya dia yang gantiin kamu seharian tadi. Coba cek hape kamu dek, pasti dia kirim pesan. Abang mau dapur dulu ya.." ujar Rendra dan bangkit keluar setelah Dira mengangguk.

Tangan Nadira mencari ponselnya yang terselip di antara bantal dan gulingnya. Ia menekan tombol locknya dan seketika terpampang banyak notifikasi chat dari aplikasi berlogo hijau itu banyak sekali. Ada dari grup Temen-temen kantor. Ada dari Karina dan Dinda. Ada juga dari Della. Dan yang paling utama. Kolom chat Angkasa ada di posisi teratas. Lelaki itu menanyainya berkali-kali, mencoba menelepon, dan mengirimkan chat lagi menanyakan keadaannya berkali-kali.

Sampai Dira ingin membalas pesan dari Angkasa tersebut dan Lap!!

Ponselnya kehabisan baterai.

Dira menepuk dahinya pelan. "Aduuuuhhh! Lupa cas lagi! Ah nyebelin. Baru juga mau bales. ABAAANNNGGGG TOLONG CHARGER-IN HAPE GUE DOOONNGGG...." teriaknya seperti merengek.

Rendra yang sedang berada di dapur menemani mamanya menunggu air yang sedang direbus itu kaget mendengar suara Dira dari kamar.

Dan Rendra bergumam. "Adek gue kenapa lagi sih yaa.."

***

Kedua tangan itu memyelipkan kartu pembatas buku di antara halaman yang baru saja ia hentikan untuk membaca. Novel itu ia letakkan kembali pada meja kamarnya. Tangannya bergerak, berganti meraih sebuah benda pipih berwarna putih. Itu ponsel miliknya. Ibu jarinya menjelajahi layar datar 6 inch tersebut. Namun selanjutnya disusul helaan napas mengeluh.

"Yah dibaca doang." Gumamnya lirih setelah mengetahui kalau pesan-pesan yang ia kirimkan pada gadis yang membuatnya khawatir seharian ini hanya dibaca saja oleh gadis itu.

Ceklek!

Angkasa menoleh pada pintu kamarnya yang dibuka. Disana wanita paruh baya yang disayanginya mendekat perlahan dan duduk disampingnya.

"Kenapa nggak turun buat makan malam?" Tanya wanita itu lembut.

"Ah Asa belum lapar Bu.."

Rani mengusap dahi putranya pelan. "Akhir-akhir ini kamu pulangnya telat. Ibu kira kamu selalu lembur, tapi kata adekmu kamu pulangnya di jam yang sama. Memangnya kamu sering kemana sih?" Tanya Rani.

"Maafin Asa bu kalo sering pulang telat."

Mendengar itu Rani mengangguk dan tersenyum. "Kalo ada apa-apa kamu bisa cerita ke ibu.. ibu malah senang kamu bisa cerita."

Angkasa hanya membalas dengan senyuman.

"Siapa perempuan itu?"

Pertanyaan Rani membuat Angkasa mengernyitkan dahi, dan Rani tahu Angkasa sedang bertanya-tanya dalam benaknya mengapa ia bertanya seperti itu.

"Ibu tau kamu sedang dekat dengan seorang perempuan kan? Ibu bisa tau karena kamu kalo di rumah malah sering menyanding ponselmu entah itu saat kamu makan, selesai sholat, bahkan saat ngumpul sama lainnya di ruang televisi kamu juga malah fokus sama ponsel. Hmmm anak ibu gak mau ngaku ya kalo naksir orang?" Goda Rani.

Angkasa mendadak tersipu sendiri. "Ah ibu bisa saja. Dia perempuan biasa bu.. baru juga gabung di tempat Asa kerja. Beda bagian. Tapi sebelum dia masuk kerja disitu Asa udah lebih dulu ketemu dia. Dia beda saja bu, Asa suka melihatnya."

Mendengar itu Rani ikut merasa senang. "Kalo suka dekati dia, jangan biarkan dia lepas. Kalo sudah lama, bawa dia kemari. Ibu ingin berkenalan dengannya. Inget loh umur kamu udah 26.."

"Iya iyaa Asa tau.. tapi jangan paksa aku buat nikah cepet loh bu.."

Rani tersenyum saja pada putranya. "Ngomong-ngomong perasaan kamu pada Karina bagaimana? Dia juga gadis baik Sa.."

Angkasa menatap wajah Rani dengan redup. "Bu.. tolong ya jangan ungkit tentang Karina. Dia tidak demikian padaku bu.. dia tidak seperti gadis yang kusukai saat ini. Karina banyak yang menyukai, dan dia juga sering berganti pacar. Mungkin perasaanku sudah hilang."

Mendengar itu Rani paham dan mengangguk. Ia mencoba mengerti perasaan putranya. Walau sebenarnya dalam hatinya ia berharap, bahwa nantinya Angkasa akan bersanding dengan Karina. Karena Rani juga sudah sering mengenal Karina melalui cerita Angkasa, juga sering berjumpa dengan gadis itu ketika teman-teman Angkasa berkumpul di rumanya. Dan Rani menilai Karina adalah gadis yang baik, suka memasak, dan entah mengapa jujur saja Rani lebih menyukai Karina. Meskipun Rani belum bertemu dengan gadis yang disukai Angkasa saat ini. Namun perasaannya masih tertuju pada Karina dan yakin bahwa Angkasa akan bersama dengan gadis itu.

"Kenapa bu kok melamun?" Tanya Angkasa yang mengetahui Rani diam dengan tatapan kosong.

"Ah enggak ibu cuman kepikiran aja.."

"Kepikiran soal apa? Ayo jujur sama aku bu.."

"Emm.. ya entah kenapa hati ibu lebih srek kalo kamu sama Karina. Daripada sama perempuan yang kamu taksir sekarang." Ujar Rani akhirnya mengatakannya.

Angkasa menghela napasnya. "Bu.. perempuam yang aku taksir namanya Nadira. Dia beda sama Karina. Lalu kalo sekarang Asa jatuh pada Dira apa ibu tetap memaksa Asa harus dengan Karina yang masih suka berganti pacar itu tanpa tau perasaan Asa?"

Mendengar pertanyaan Angkasa, Rani dibuat bungkam. Benar juga. Untuk apa mencintai dan mengejar seseorang yang tidak begitu juga pada kita? Pasti rasanya hambar bukan?

Tangan Rani menggenggam tangan putranya. Perempuan paruh baya itu menatap Angkasa penuh harap. "Ibu percaya kok sama kamu. Pilih jodohmu dengan baik. Ibu bantu dengan doa." Ucap Rani dengan mengelus dahi putranya lalu tersenyum dan bangkit dari duduknya, kemudian ia keluar dari kamar Asa setelah memberitahu putranya lagi untuk turun dan makan malam bersama.

Satu yang Angkasa rasakan saat ini adalah lega. Dan sekarang, pikiran yang mengganggu lelaki itu adalah kapan ia memperkenalkan Nadira pada Rani. Bahkan Angkasa saja belum pernah ke rjmah Nadira dan bertemu orang tua gadis itu.

Ah! Entah kali ini Angkasa sedikit pusing memikirkan masalah cinta. Mungkin sebaiknya ia makan malam terlebih dahulu.

***

"Nggak enak makanannya sayang?" Tanya pria yang kini memakai kemeja bersih warna hijau pupus dengan jam tangan elegan di tangan kirinya. Wajahnya yang tampan sembari tersenyum saat menanyakan hal tadi pada kekasihnya.

Tanpa senyum. Itu yang dirasakan Karina saat ini. Ya. Gadis itu menghabiskan malam minggunya dengan Aris. Pacarnya.

"Emm enak kok. Cuman agak nggak nafsu makan aja." Jawabnya malas.

Aris mendesah. "Kamu kenapa sih Rin? Akhir-akhir ini kok jalan sama aku nggak seperti biasanya? Kamu berubah sedikit." Ujar Aris dengan tatapan kecewa.

"Emm.. gapapa."

"Tuh kan. Kamu jujur dong Rin kenapa? Kemarin kamu juga udah ketemu Mama aku kan.. dia juga sudah baik sama kamu. Sekarang apa lagi? Kamu kenapa sih? Aku salah sesuatu ya?" Tanya Aris semakin getir.

Karina mendecak. "Ah udah deh lanjutin itu makannya. Jangan malah bikin aku gak mau makan."

Aris meletakkan sendok dan garpunya perlahan. "Cukup! Jujur. Sama. Aku. Sekarang. Juga." Ucap Aris dengan penekanan disetiap katanya.

Karina mendongak menatap Aris sendu. Alat makannya ia taruh juga perlahan. Dan satu kata berhasil meluncur dati mulut gadis cantik itu.

"Maaf.."

Aris mengernyit. Semakin tidak tahu maksud kata maaf yang diucapkan kekasihnya. "Untuk apa maaf?" Tanyanya.

"Aris.. akhir-akhir ini aku gak nyaman sama kamu. Rasanya hati ku hambar. Dan rasanya aku gak bisa ngerasain sayang ke kamu. Aku gak tau kenapa..hiks.. aku.. aku.. banyak pikiran. A-aku.."

Aris menggeser kursinya agar berada di samping Karina. "Ssstt.. udah udah.. tenangin dulu diri kamu. Jangan nangis ya. Aku gak bisa lihat perempuan nangis." Ucapnya lembut dan menghapus jejak air mata di kedua pipi Karina. Dan lelaki itu menarik Karina ke dalam pelukan hangatnya. Hingga Karina berhasil menumpahkan segala resahnya disana. Tidak peduli akan tatapan semua orang yang sedang melakukan aktivitas makan malam juga disekitar mereka.

Dan mulai malam itu Aris tahu, juga mulai malam itu hatinya mempersiapkan perban agar ketika patah nanti ia tidak terlalu menahan sakit. Aris paham, bahwa perlahan rasa cinta dan sayang Karina untuknya mulai memudar. Entah karena apa, namun Aris ingin mempertahankan kekasihnya. Hingga dirinya sendiri lelah sekalipun.

***

"Ajari aku cara mencintai dengan benar. Agar tidak menjadi resahmu. Dan juga tidak mencintaimu sementara saja. Ajari aku mencintaimu selamanya. Tanpa mematahkan hatimu. Dan tanpa beban dengan hatiku."

-Karina Adzana-

~~~

Next chapter