Kimberly melangkahkan kaki menaiki setiap anak tangga rumahnya sambil mengangkat sebuah tas ransel dan kopernya yang tarlampau berat. Saat sampai tepat di depan sebuah pintu kayu di ujung lorong, ia menekan gagang pintu kayu itu dengan telapak kakinya. Ia terlalu malas untuk meletakkan dan mengambil kembali kedua tas itu, jadi ia menggunakan kelenturan kakinya untuk membuka pintu. Hal yang biasa baginya kalau kedua tangannya penuh.
Semuanya ia lemparkan begitu saja di sembarang tempat, lalu dengan cepat ia kembali ke dapur untuk menyeduh coklat panas yang ia rindukan.
Ia mengambil sebungkus coklat saset untuk diseduh menjadi coklat panas. Setelah jadi, ia menarik kursi dan duduk bersebelahan dengan kelinci itu. Ia menyesap coklat panasnya perlahan sambil mengamati peliharaan barunya yang ternyata sudah tertidur di kursi makan di sebelahnya.
Ia menunduk, mengamati minumannya. "Dark Choco," gumamnya. Selama menghabiskan minuman hangat itu, ia memperhatikan setiap detail peliharaannya. Menatapnya heran dan bingung. Kelinci itu benar-benar berbeda dari yang lainnya.
•••
Hewan itu akhirnya terbangun juga di keesokan harinya. Ia merasa tidak tidur di sebuah keranjang kecil dengan bantal empuk sebelumnya. Pandangan di hadapannya bukanlah kolong meja makan atau aroma sedap lagi, melainkan suasana kamar yang hangat. Terlihat dari warna dinding, pajangan, dan ukiran lemari kayunya, sudah jelas ini kamar perempuan.
"Selamat pagi Thomas!"
Kedua telinga menggemaskan itu sedikit bergerak menangkap sebuah suara. Namun ia tidak mempedulikannya. Kelinci itu lebih memilih beranjak dari ranjangnya menuju pintu kamar yang hampir tertutup. Mendorong sedikit pintu itu dan akhirnya ia bisa keluar. Menyusuri lorong pendek dan menuruni tangga.
"Hey, apa kau masih marah denganku?"
Benar-benar tidak menghiraukannya.
Tiba-tiba hidungnya langsung menangkap aroma sedap dan telinganya mendengar dentingan logam yang beradu. Ia pun mengikuti jejak itu yang membawanya ke arah dapur. Dan terlihat seorang gadis dikuncir kuda sedang memasak.
Kimberly terlalu asik memasak nasi gorengnya sampai-sampai ia tidak tahu ada pesan masuk di ponselnya yang berada di atas meja. Ia mematikan kompor saat makanannya sudah matang, lalu ia sajikan di piring. Masih ada sisa di penggorengan, ia letakkan kembali di atas kompor.
"Selamat pagi, Choco," sapa Kimberly, saat ia melepas celemek hijaunya, pada kelinci yang terdiam memperhatikannya dari ambang dapur. Setelah menyampirkan celemek di gantungan, ia mengangkat Choco ke atas meja, di sebelah nasi gorengnya. Lalu ia mencuci tangan dan menikmati nasi gorengnya.
"Wah kebetulan sekali! Ayo makan, Thomas!"
Namun kelinci itu tetap diam. Tidak menunjukkan pergerakan selain sedikit saja pergerakan kecil di kaki depannya. Seakan ada sesuatu yang menariknya.
"Ayolah Thomas! Aku belum makan selama 16 jam!"
Suara pekikan Lizzie benar-benar mengganggunya.
Kimberly melihat sedikit pergerakan itu. Ia pun tersadar akan suatu hal. Ia segera menuju ke ruang prakteknya dan mengambil sebuah tempat makan hewan. Ia isi tempat makan hewan itu dengan beberapa pelet makanan kelinci.
"Majikan macam apa aku ini sampai lupa memberimu makanan," gumam Kimberly sambil meletakkan tempat makan hewan itu beberapa inci di sebelah makanannya. Ini memang sudah kebiasaan Kimberly setiap sarapan untuk makan bersama dengan hewan peliharaannya satu meja. Andai saja Kimberly tidak mengadopsi kelinci itu, mungkin saja ia kembali bersedih mengingat kelinci putihnya yang diterkam rubah liar.
"Yang benar saja! Lebih baik aku makan bangkai daripada makanan menjijikkan ini," erang Lizzie. "Kenapa kau tidak makan Thomas? Kau pasti bercanda dengan cerita yang akan kau buat itu kan?
"Tidak. Aku serius," jawab Thomas yang akhirnya membuka suara. "Kalau aku tidak makan, kau juga tidak makan. Dan pastinya kita mati bersama."
"Kalau karena kau masih marah denganku karena ucapanku, itu alasan yang konyol!" balas Lizzie.
Thomas masih terdiam. Beberapa saat terjadi keheningan sampai menarik perhatian Kimberly yang bertanya-tanya mengapa hewan itu tidak menyentuh makanannya.
"Ok kau menang. Aku minta maaf." Tuntutan rasa lapar membuat Lizzie mengalah. Namun masih tidak ada respon. "Hey, kau dengar aku? Aku bilang aku minta maaf. Sungguh!"
"Apa kau baik-baik saja?" Kali ini Kimberly mulai cemas sambil mengelus kepala hewan itu. "Ayolah dimakan! Aku tidak mau kehilangan kelinci lagi." Kedua mata Kimberly mulai terlihat berkaca-kaca.
"O-ow, dia akan menangis. Kau tidak akan membuat adik kesayanganmu menangis kan, Thomas?"
Thomas menghebuskan napasnya. "Dasar cengeng," gerutunya sambil melangkah mendekat ke arah piring Kimberly. Kali ini niat bunuh dirinya benar-benar gagal.
Mulut mungil kelinci itu mendekat ke arah makanan Kimberly dan melahap bulir-bulir nasi goreng itu tanpa dilarang oleh yang empunya makanan.
Kimberly tersenyum samar dan membiarkan hewan peliharaannya melahap nasi gorengnya di piring. Ia memperhatikan betapa lahapnya kelinci itu. Ia mengambil piring dan makanannya lagi di penggorengan. Ia menggeser piringnya sedikit lebih menjauh ke kiri dari kelinci itu.
"Aku baru tahu kalau ternyata kamu suka nasi goreng," gumamnya. Ia belum mencoba makanannya karena terlalu asik memandangi Choco. "Bagaimana? Nasi goreng buatanku enak kan? Aku dapat resep ini dari temanku yang dari Asia saat ekspedisi kemarin," jelasnya. Ia tahu pasti tidak ada jawaban, maka ia tertawa pelan. Menertawakan dirinya.
Kelinci itu mengangkat kepalanya, memperhatikan Kimberly saat tertawa. "Enak. Tidak kusangka kalau kamu ternyata jago masak juga," jawab Thomas. Ia juga tahu kalau adiknya tidak mendengarnya. Setelah itu ia melahap kembali makanannya.
Lizzie hanya memasang wajah datar saat mendengar komentar Thomas.
Kimberly pun mulai kembali melahap nasi goreng buatannya dari awal. "Ternyata memang enak," pujinya pada diri sendiri. "Jarang sekali aku mendapat stok beras dan rempah-rempah impor dari Sam," gumam Kimberly.
Ponselnya kembali bergetar, membuat suapan keduanya terhenti. Ia pun melihat layar ponselnya, menangkap siapa yang sudah mengirim pesan.
Ternyata dari Sam, yang bilang akan berkunjung minggu depan karena ia sedang di luar kota. Setelah Kimberly membaca pesan darinya, ia membalasnya. Saat ia menekan tombol home, langsung tertera pemberitahuan pesan masuk yang lain. Ia tersenyum kalau pesan itu dari Chip dan segera membacanya.
Senyumnya memudar cepat, jantungnya serasa berhenti, nafsu makan hilang dan waktu seperti membeku. Itu yang dirasakannya setelah membaca pesan tak terduga itu. Sendok terlepas dari genggaman tangannya yang bergetar dan matanya mulai memanas. Ia segera berlari meninggalkan dapur tanpa minum dan menuju kamarnya.
"Apa yang terjadi dengannya?" Thomas mulai cemas.
"Nanti saja dipikirkan, lebih baik kita santap dulu. Sedikit lagi habis" sahut Lizzie.
Tapi Thomas tidak mempedulikannya, ia segera menyusul adiknya. "He-hei Thomas!" Lizzie ikut tertarik menjauh dari makanannya.
"Kembalikan aku ke bentuk semula," pinta Thomas saat mereka sampai di depan pintu kamar.
"Tidak," jawabnya tegas. "Biar aku saja yang mengecek keadaannya."
Ia masih belum menyadari keberadaan Lizzie sebenarnya. Terlihat kelinci itu berputar mengedarkan pandangan untuk mencari sumber suara yang terasa dekat itu. "Bagaimana caranya? Apa aku juga bisa?" tanya Thomas.
"Sepertinya tidak," jawab Lizzie. Kelinci hitam di sebelahnya mulai bergerak. Ia bisa menembus pintu.
Tiba-tiba kaki depan Choco (tangan Thomas) terasa ada yang menariknya ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Tarikan itu cukup memaksanya, sehingga membuat ia menempel ke pintu itu. Thomas nampak linglung, tak mengerti apa yang sudah terjadi padanya.
Terlihat Kimberly sedang memojokkan diri di kamar sambil mendekap kedua lututnya dengan ponsel ada di depannya. Ia bisa melihat apa isi dari ponsel itu yang membuatnya menangis jika saja rantai itu tidak ada batasnya. Ia juga bisa saja mengetahui sebabnya tanpa melihat ponsel itu jika ia bisa membaca pikirannya. Lizzie mendesah tidak menemukan alasan yang bisa diberikan ke Thomas.
"Tessa... Kenapa kamu pergi tiba-tiba." Terdengar suara isakan yang menggema. Karena kepalanya masih tertunduk diantara kedua lutut. "Tessa, aku sudah menganggapmu dan Chip sebagai kakak. Apa yang sudah terjadi pada kalian? Siapa yang melakukan ini?" tambahnya.
"Akhirnya...," gumam Lizzie. Ya, akhirnya ia bisa menemukan jawabannya.
•••
"Lizzie! Kau di mana?" sahut Thomas dari balik pintu. "Apa kau sudah tahu penyebabnya?"
Kelinci hitam itu kembali ke tempat semula, membuat Choco bisa lepas dari pintu di depannya.
"Begini...," Lizzie berpikir sesaat, "sepertinya ia mendapat pesan dari Chip. Dan ia memberitahu segalanya apa yang sudah terjadi dengan mereka. Mungkin itu yang menyebabkannya menangis. Terlihat sekali kalau Kimberly sangat menyayangi mereka, kau tahu," Jelasnya.
Thomas sempat terdiam. "Kalau Chip, itu wajar saja. Tapi kalau Tessa..." Ia tidak melanjutkannya.
"Ia menangis karena kepergian Tessa," selanya.
"Tapi aku tidak membunuhnya. Aku hanya tidak menolong Chip dan itu pun karena--" tiba-tiba ucapan Thomas terpotong. Ia hampir saja membeberkan semuanya.
"Karena apa?" curiga Lizzie.
"Bukan apa-apa," jawabnya cepat.
"Benarkah?" cecar Lizzie. Ia mencoba untuk mendapat info yang sebenarnya dari Thomas tanpa sepengetahuannya. Namun ia tidak bisa mendapatkannya lantaran Thomas diam sepenuhnya.
"Bukan apa-apa," jawab Thomas lagi. "Tapi apa kau serius ingin tahu jawabannya karena apa?"
"Iya serius. Memang apa?"
"Ya karena dia sudah mengirim sinyal S.O.S," jawab Thomas yang sebenarnya bukan itu yang ia maksud. "Tidak penting kan?"
"Memang!" jawab Lizzie cepat dengan nada tinggi untuk mengutarakan rasa kecewanya.
"Sebaiknya kita berkeliling saja. Biarkan dia sendiri," Saran Thomas.
Lizzie pun mengikuti saja dengan perasaan curiga. Ya, sebenarnya ia sepenuhnya tidak percaya dengan jawaban itu. Mendengar pikiran Lizzie yang penuh kecurigaan padanya, membuat Thomas semakin waspada dan lebih berhati-hati lagi.
•••
Sinar mentari senja melewati jendela kamar bernuansa merah muda itu. Tepat menyinari gadis yang saat ini tertidur sambil memeluk lututnya di sudut kamar. Sinar hangatnya membangunkan gadis bermata bengkak karena terlalu lama menangis itu. Lalu ia berdiri dan menghadap cermin sambil meregangkan tubuhnya. Ingatannya belum berjalan saat melihat bayangannya di cermin, bertanya-tanya mengapa matanya terlihat mengerikan. Ia pun segera mengenakan kacamatanya karena penglihatannya mulai buram. Saat ia kembali ke dapur untuk mengambil makanan karena sudah terlalu lapar, ia masih belum ingat sesuatu.
Sampai ia melihat ada sepiring nasi goreng yang masih penuh di atas meja makan. Ia syok. Ia sudah ingat apa yang terjadi pagi tadi. Mendekap mulutnya rapat-rapat dengan tangan. Air matanya sudah kering, ia tidak bisa menangis lagi. Tapi perasaan sedih itu mulai mereda saat melihat Choco-nya tertidur nyenyak di atas kursi yang sebelumnya ia duduki. Hewan itu terlihat spesial, beda dari kelinci lainnya, membuat ia merasa tenang setiap kali melihatnya. Tiba-tiba senyumnya mengembang tanpa ia sadari, lalu ia pun mulai mengisi perut tanpa mengganggu Dark Choco kesayangannya. Setelah itu ia menyiapkan ruangan prakteknya untuk besok.
(Banyak menangis tidak mungkin mengubah apa yang sudah terjadi,) batin Kimberly yang mulai bisa mengendalikan emosinya. Yang mulai bisa mengikhlaskan kepergian sahabatnya. Walau Kimberly tidak bisa menghadiri pemakamannya karena tempatnya sangat jauh, ia pasti akan mendoakannya dalam hati dengan perasaan bersalah yang cukup dalam.
•••
Untuk kedua kalinya, ia terbangun di ranjang empuk itu. Membuatnya terasa heran kenapa ia bisa berpindah tempat tanpa sepengetahuannya.
"Selamat pagi Dark Choco!!" Pekikan seorang gadis itu membuat paginya terasa berbeda dari sebelumnya. Membuat jantungnya melompat saat ia baru bangun. Tiba-tiba gadis periang itu mengangkatnya tinggi-tinggi dan mulai berputar kegirangan.
"Apa yang merasukimu, Kim? Oh tidak... Aku mual!!" siapa yang tidak pusing diputar-putar sekencang itu.
Lalu ia berhenti dan melemparkan diri di kasurnya. Saat itu ia melepaskan kelincinya, membiarkan ia berjalan gontai sesaat dan akhirnya terjatuh juga di kasur empuknya. Gadis itu tersenyum simpul melihat tingkahnya. Lalu ia terduduk.
"Welcome home!!" sahutnya sambil merentangkan kedua tangannya. "Jadikan rumah ini senyaman mungkin untukmu. Setidaknya samakan dengan rumahmu sebelumnya yang membuatmu merasa nyaman." Ia tersenyum lebar dan menunjukkan kedua lesung pipinya. Choco masih memperhatikannya, ia tidak mengerti. "Aku pasti dianggap gila kalau ada yang melihatku seperti ini." Kimberly tertawa pelan. "Aku tidak akan seperti ini kalau kamu tidak terlihat spesial dan beda dari spesiesmu yang lain. Kamu sering duduk manis dan memperhatikanku. Seolah-olah mengerti dengan apa yang aku lakukan dan bicarakan. Selama aku bertemu dengan hewan mamalia lain, baru kamu yang terlihat berbeda," jelasnya. Bersikap riang gembira seperti biasa adalah salah satu cara untuk membuat mood-nya kembali baik.
"Sepertinya dia menyadarimu," ucap Lizzie hati-hati. Thomas menggeleng tidak tahu, berdampak wujud Choco nya juga ikut menggeleng.
Kimberly tersenyum kembali menangkap gerakan itu. "Ya, sudah kuduga," gumamnya. "Itu berita baik yang pertama. Lalu yang kedua... Chip akan dibebastugaskan sementara!!" pekiknya, membuat jantung Thomas melompat untuk kedua kalinya. "Akhirnya ia akan mengisi rumah kosong di depanku!! Dia tetanggaku!! Woow!" Ia turun dari kasur dan melompat-lompat kegirangan. Seperti seseorang yang menang lotre 1 juta dollar, mungkin bisa dideskripsikan seperti itu. Tiba-tiba ia berhenti melompat. "Tapi katanya kemungkinan ia pulang hari Sabtu nanti, berarti 4 hari dari sekarang. Aku jadi tidak sabar!"
"Chip akan datang?!"
Kedatangan Chip sepertinya bukan berita baik untuk Thomas maupun Lizzie dengan dua maksud yang berbeda. Mereka tidak bisa melakukan apapun lagi selain mengikuti arus yang ada.