Motor gede itu melaju membelah padatnya jalanan Kota Jakarta. Melawan hawa dingin bercampur hangatnya sinar mentari pagi yang kini semakin tegas menyinari bumi dan seluruh isinya. Arka memelankan motor yang ditumpanginya kemudian. Berhenti di depan sebuah rumah makan kecil nan sederhana dengan bubur ayam yang menjadi menu utamanya. Davira turun dari moge Arka sembari melirik sekilas remaja yang kini memarkirkan motornya di sisi trotoar jalan yang sengaja disenggangkan untuk tempat parkir para pengujung kedai.
"Siniin helm-nya!" pekik Arka berteriak sebab posisinya yang sedikit jauh dari Davira saat ini. Gadis itu hanya mengangguk sembari berlari kecil untuk sampai ke posisi Arka saat ini. Kemudian menyodorkan helm yang ditentengnya lalu mencoba merapikan rambutnya yang sedikit berantakan sebab diterpa oleh embusan bayu pagi ini.
"Lo mau sarapan?" tanya Davira lirih. Menatap ke dalam rumah makan yang sedikit sepi sebab tak mungkin ada yang datang di jam-jam begini. Kecuali orang-orang sepertinya juga Arka. Yang suka membolos dan mengabaikan tanggung jawab mereka sebagai pelajar baik berbudi luhur.
Arka turun dari mogenya. Melepas helmnya kemudian menatap Davira sejenak. Menggeleng samar dan berjalan melalui gadis yang kini ikut mengambil langkah mengekorinya.
"Terus? Ngapain ke sini?" lanjut Davira kala tak mendengar satu jawaban pun dari Arka Aditya.
"Lo belum makan pagi 'kan?" Sekarang remaja itu memutar tubuhnya. Berdiri di depan Davira yang terpaksa menghentikan langkahnya sebab tubuh jangkung di depannya ini tiba-tiba saja menghentikan langkahnya dan berputar. Memberi tatapan teduh pada Davira yang kini mulai tak acuh.
"Gue yakin lo belum makan," imbuhnya kemudian. Kembali memutar tubuh jangkungnya dan berjalan masuk ke dalam rumah makan.
Davira yang tadinya diam sembari terus menatap kepergiaan remaja yang kini mulai menghilang setelah masuk ke dalam rumah makan itu kini tersenyum hangat. Arka tak pernah berubah sedikit pun. Masih selalu saja benar dengan segala tebakannya perihal Davira Faranisa. Ia hapal benar, jikalau Davira berangkat pagi ke sekolah itu artinya gadis itu tak menyempatkan waktu untuk makan pagi sebab bagi Davira, waktu yang pas untuk menyantap sarapan adalah pukul enam lebihnya seperempat jam. Sedangkan tadi? Gadis itu sudah keluar dari rumahnya pukul enam lebihnya tak sampai seperempat jam.
Gadis itu kini berjalan masuk ke dalam rumah makan. Matanya menelisik keberadaan Arka yang sudah mengambil tempat duduk rapi di sudut ruangan. Davira berjalan mendekat. Menarik kursi di depan sahabat kecilnya kemudian duduk rapi di sana. Sesekali matanya menatap paras Arka yang kini mulai memfokuskan segala tatapannya ke dalam layar ponsel di genggaman tangan kananya. Ia fokus menelisik setiap bagian layar dan terus memainkan ujung ibu jarinya untuk menekan beberapa tombol seakan sedang menulis sesuatu di sana.
"Gue kabarin tim basket dulu kalau gue gak ikut latihan," katanya sesaat setelah melirik gadis yang terus mencoba mencuri celah agar bisa tahu apa yang sedang dilakukannya.
Davira mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Lo gak rugi?"
Arka mengangkat tatapannya. Sejenak mengernyitkan dahinya. "Apanya yang rugi?"
"Kalau dipikir-pikir ini adalah pertandingan pertama lo setelah dilantik jadi wakil kapten basket. Tapi lo udah bolos aja," sahut gadis bermata bulat itu sembari menoleh ke arah penjual bubur ayam yang masih sibuk dengan aktivitasnya.
Arka terkekeh kecil. "Gue udah pesen sesuai dengan apa kesuakaan lo," tutur Arka di sela kekehannya.
Davira menoleh cepat. Lagi-lagi tebakan Arka tentang apa yang dipikirkan Davira benar adanya!
"Dan gue gak akan rugi cuma karena bolos nemenin sahabat," tukasnya melanjutkan.
Davira tersenyum. Mencondongkan sedikit tubuhnya agar mendekat pada Arka yang kini ikut tersenyum aneh untuk membalas apa yang dilakukan Davira padanya. "Gue beruntung punya lo," katanya melirih. Kembali menarik tubuhnya ke belakang.
Penjual bubur kini menyela keduanya. Meletakkan semangkuk bubur ayam dengan dua teh hangat yang menemaninya. Keduanya tersenyum ramah kepada si penjual kala suara lirih didengar untuk berbasa basi agar sang pembeli segara menyantap bubur dan meminum teh selagi hangat masih terasa dan nikmat akan bertambah lagi jikalau dimakan dalam keadaan begitu.
"Lo gak makan?" tanya Davira sesaat si penjual pergi dan kembali membiarkan mereka berdua saja di sana.
Arka menggeleng samar. Menarik segelas teh hangat kemudian meniup permukaannya perlahan. "Lo yang belum makan, bukan gue."
Davira tersenyum picik. "Awas kalau minta!" pekiknya sembari terkekeh kecil di bagian akhir kalimatnya.
Arka hanya diam. Menyeruput segelas teh panas yang kini perlahan masuk dan menghangatkan tenggorokan serta perutnya. Sesekali melirik Davira yang mulai fokus menyantap semangkuk bubur ayam tanpa kacang kesukaannya itu. Jujur saja, sampai sekarang ia masih tak percaya masih bisa berteman dengan akrab dengan gadis berparas ayu namun peringai kadang menyebalkan bak iblis ini. Menjadi satu-satunya pria terdekat yang mampu terus bersamanya ketika duka datang menyelimuti ataupun senang dan bahagia hadir menghampiri gadis itu. Bisa dikatakan bahwa Arka Aditya terkadang menjadi pengganti papa Davira sebagai tempat perlindungan juga sebagai tempat menumpahkan segala keluh kesal yang ada bak seorang anak gadis yang sedang merajuk kesal.sebab mainannya dicuri dan dirusakkan oleh teman sebaya.
"Habis ini mau kemana?" sela Arka dalam aktivitas gadis yang masih sibuk melahap bubur ayam di depannya itu. Davira menoleh. Memberi tatapan aneh pada remaja yang kini memfokuskan tatapannya kembali ke layar ponsel miliknya.
"Kemana pun asal gak ke sekolah," jawabnya melirih. Menarik perhatian remaja yang mulai kembali memberi tatapan teduh padanya lalu anggukan kepala adalah keputusannya dalam mereson kalimat jawaban yang dilontarkan gadis itu padanya.
***LnP***
Satu jam hampir berlalu begitu saja tanpa benar di rasakan oleh keduanya. Sebab hari ini, dunia benar-benar berasa milik Davira seorang. Selepas sarapan bersama Arka yang menemaninya, remaja itu terus menyusuri jalanan sedikit sepi sebab pagi menjelang siang begini sebagian besar orang akan sibuk dengan aktivitasnya dalam ruangan. Entah itu bersekolah menjemput ilmu dan menunaikan kewajiban sebagai seorang pelajar berbudi luhur atau bekerja di kantor untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi menghidupi keluarga dan menyambung kehidupan yang sejahtera seperti dalam anggan dan harapan.
Gadis itu terus saja menengok ke kanan dan ke kiri sembari merasakan embusan bayu yang menjadi penyejuk tubuhnya yang terasa gerah sebab panas tegas menyinari. Melirik sekilas lampu sen Arka yang menandakan ia akan berbelok di ujung jalan depan sana. Gadis itu melirik jam tangannya. Pukul sembilan lebihnya beberapa menit. Belum terlalu siang juga tak lagi pagi buta seperti saat dirinya memutuskan untuk 'hengkang' sejenak dari kesehariannya sebagai seorang pelajar.
"Mau ke mana?" teriak Davira sebab suara moge Arka jelas menggelegar tak mampu dikalahkan oleh suara kecil nan lirih melengking milik Davira Faranisa.
Arka diam. Tak mengubris Davira dan kini mulai memelankan laju motornya untuk berbelok di sebuah jalan yang ukurannya sedikit lebih kecil dari jalan utama yang baru saja mereka lalui.
"Ka! Budeg lo?" Davira kali ini berteriak. Meninggikan nada bicaranya agar Arka setidaknya mau mengubris untuk pertanyaannya.
"Bawel!" jawab Arka kemudian.
Davira diam. Mengetuk kasar puncak helm remaja yang baru saja mengatainya dengan kata bawel. Memang sih Arka tak pernah salah dalam mengubris dan menjawab kalimat berbau 'kepo' yang keluar dari celah mulut gadis bernama lengkap Davira Faranisa itu. Namun, bukan Davira namanya kalau tak menanggapi segala kalimat bulian yang berkedok hanya untuk menjawab segala pertanyaan dari Davira itu dengan aksi-aksi konyol dan menyebalkan seperti mengetuk kasar helm Arka atau menepuk keras punggung lebar milik remaja yang selalu saja tertawa kecil nan singkat untuk respon kelakuan aneh dari Davira.
Moge Arka kini benar berhenti di depan sebuah restauran kecil nan sederhana yang identik dengan dekorasi berbau anak muda. Tempatnya masih sepi namun sudah dibuka lebar oleh pemiliknya. Mengijinkan siapapun yang ingin datang pagi hari boleh dengan sangat berkunjung dan menghabiskan uang di tempat ini.
"Turun!" perintah Arka tegas.
Davira menurut. Turun dari moge dan kembali melepas helmnya. Menatap tempat asing yang sumpah demi apapun, ia baru tahu kalau ada tempat nongkrong anak muda yang bukan jam segini di kotanya.
"Ngapain diem aja, masuk!" perintah Arka untuk kedua kalinya. Davira yang tadinya memfokuskan tatapannya ke bangunan itu kemudian menatap Arka dengan tajam. Berlari kecil ke arahnya kemudian menjitak kasar kepala remaja yang lagi-lagi hanya tertawa untuk kelakuan aneh sahabat masa kecilnya itu.
Keduanya kini berjalan masuk dan memesan. Memilih sebuah tempat di sudut ruangan yang teduh sebab sinar sang surya tak kuasa masuk dan menembus atap bangunan.
Sembari menunggu, Davira kini memainkan ponselnya. Melirik sejenak Arka yang kini terus menatapnya aneh tak mau berkedip sedikit pun.
"Ada yang salah sama muka gue?" tanyannya kemudian meletakkan ponselnya di atas meja. Menepuk-nepuk kasar pipinya untuk memastikan tak ada yang aneh di atas paras ayunya itu.
Arka tersenyum. Melirik para pelayan yang masih sibuk menyiapkan pesanan mereka kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan melipat tangannya rapi.
"Lo cantik tapi sayang bawel banget," katanya sembari tersenyum kuda. Terus memberi tatapannya pada gadis yang ikut menatapnya anehnya. Arka melirik tangan Davira yang kini mulai mengepal kuat untuk beraba-aba meninjunya jikalau sahabatnya ini mulai lagi dengan sisi bucin yang membuat Davira muak mendengarnya.
"Lo ganteng tapi brengsek," kekeh Davira dengan merubah raut wajahnya seakan meremehkan pujian yang baru saja dilontarkan Arka untuknya.
Remaja itu diam sejenak. Menatap Davira teduh sembari tersenyum simpul.
"Gue suka sama lo, Dav. Lo mau jadi pacar gue bukan lagi jadi sahabat gue," katanya tiba-tiba. Menatap Davira yang kini membulatkan kedua matanya sembari diam bungkam tak mau bersuara lagi.
Arka melirik kepalan tangan Davira yang kini mulai melunak. Tak merubah ekspresinya gadis itu hanya diam dan terus menatap Arka.
Jujur saja, dalam benaknya yang paling dalam ia tak ingin Arka pergi dan menghilang dari hidupnya dengan membuat kehidupan barunya nanti. Davira akan merasa benar-benar sepi jikalau itu terjadi nantinya. Bersama remaja yang merupakan sahabat sejak ia masih ingusan ini selalu saja sukses membuat hatinya bahagia juga merasa aman terlindungi. Ada Arka! Itulah yang selalu dipikirkannya setiap masalah datang dan menghampiri lalu menyelimuti harinya.
Davira ... munafik jikalau berkata bahwa ia tak menyimpan rasa untuk sahabatnya sendiri. Sebab mau bagaimanapun sikap buruk dan hati dinginnya, Davira tetaplah seorang gadis yang bisa merasakan cinta dan ingin terus bahagia bersama seorang yang terus memberinya rasa nyaman dan aman terlindungi. Seperti Arka misalnya.
To be Continued...