Adam berpamitan. Tidak pada mama Davira yang dalam tebakan remaja itu pastilah sudah tertidur pulas di atas ranjangnya, namun pada Davira Faranisa yang akan mewakilkan mamanya juga berdiri sebagai dirinya sendiri. Malam belum terlalu larut, akan tetapi dengan tegas gadis itu mengatakan pada Adam untuk segera pergi dan kembali ke rumahnya. Dalam alasan kuat gadis itu untuk membela kalimat yang terkesan mengusir seorang tamu yang datang ke rumahnya itu adalah sebatas tak enak pada tetanga jikalau tau bahwa Davira menampung seorang tamu laki-laki dan duduk berdua di bawah remangnya cahaya rembulan menyinari gelapnya malam.
Adam tak menolak. Toh juga, datangnya ke sini bukan untuk menginap 'kan? Hanya untuk sekadar mampir dan menyapa teman beda kelas sekaligus gadis yang menarik hatinya beberapa minggu belakangan ini.
Davira menatap moge yang kini sudah menyala suara nyaring mesinnya. Lampu terang menyorot fokus ke jalanan kosong di depannya. Gadis itu bungkam tak bersuara kala Adam memberi tatapan teduh padanya. Tersenyum tipis kemudian melambai ke arah gadis yang berdiri tegap di tengah pintu gerbang rumahnya tanpa ekspresi apapun itu.
Selanjutnya, Adam memutar gasnya dan melajukan motornya di jalannya. Menyusuri gang demi gang kompleks yang akan membawa tubuh jangkung dengan moge besarnya itu masuk ke jalanan utama. Meninggalkan Davira dan rumah indah gadis itu.
Motor yang Adam tumpangi untuk membawa tubuhnya pulang kembali ke rumahnya itu kian jelas dipercepat lajunya. Melalui gang demi gang, belokan demi belokan, hingga sampailah ia di jalan raya utama dan dapat dipastikan bahwa Adam Liandra Kin sudah benar-benar meninggalkan kawasan komplek rumah milik Davira Faranisa.
Raganya memang berjalan pulang kembali ke rumahnya. Namun, pikiran dan hatinya masih tertinggal di dalam gazebo rumah indah nan sederhana itu. Pertanyataan cintanya ditolak mentah-mentah oleh Davira. Gadis itu terus saja mengatakan kalimat yang sama untuk menampik berbagai macam kalimat indah yang dilontarkan Adam lolos dari celah bibirnya untuk sedikit merayu dan meluluhkan hati gadis itu.
"Jangan sukai aku! Jangan menyukaiku! Jangan menaruh harapan padaku!" Semua kalimat perintah yang diucapkan gadis itu dengan raut wajah sayu sedikit sendu seakan menjadi tamparan sekaligus samurai tajam yang menggores hatinya. Bukan pasal penolakan, namun perihal fakta baru yang didapati remaja jangkung dengan visual bak idola itu-lah yang membuatnya merasa miris. Fakta bahwa Davira Faranisa telah menutup hatinya pada semua laki-laki di dunia ini. Tak ingin masuk dan 'bermain' ke dalam dunia percintaan yang bagi seorang Adam Liandra Kin, itu sangat menyenangkan dan menggairahkan.
Dalam pesan singkat Davira Faranisa sebelum menyuruhnya untuk pergi dan pulang kembali ke rumahnya, gadis itu berujar singkat. Mengatakan dengan tegas pada Adam untuk berhenti mempermainkan gadis-gadis yang sedang dekat dengannya. Bukan apa, Davira hanya memberi satu peringatan bahwa di dunia ini tak ada orang yang benar-benar jahat hingga masa hidupnya berakhir. Akan ada waktu, dimana orang yang jahat itu akan berubah menjadi baik. Entah sebab kesadaran dalam dirinya sendiri, atau sebab ditegur paksa oleh semesta dengan memberinya sebuah karma. Karma itu ... akan sangat mengerikan!
Adam berhenti di depan perempatan sesaat setelah lampu merah menyala. Kedua kaki jenjangnya kini kuat menompang moge besar yang ia tumpangi. Matanya menyipit kala tak sengaja memotret perawakan tubuh yang tak asing untuknya, dia adalah Lalita Rahmawati. Seniornya sekaligus gadis yang pernah dekat dan menghabiskan malam bersamanya. Bukan malam panas di atas ranjang empuk dalam sebuah kamar mewah di hotel berbintang lima kau tahu, hanya malam biasa yang umumnya dilakukan remaja puber yang sedang jatuh hati pada seorang gadis cantik jelita yang mempesona dan menarik perhatiannya.
Adam terus mengawasi. Gadis itu kini berhenti di sisi jalan dengan kepala yang tak bisa diam fokus ke depan sebab dalam tebakan Adam, gadis yang lebih tua darinya itu pastilah sedang menunggu taksi atau menunggu ojek online yang ia pesan. Kalau Adam tak beruntung dalam tebakannya, Kak Lita mungkin saja sedang menunggu pacarnya untuk datang menjemputnya sekarang ini.
Beberapa detik kemudian, lampu merah berubah menjadi kuning dan hijau adalah warna yang kokoh menetap saat ini. Adam.kembali melanjukan mogenya. Sesuai dugaan, ia menyalakan lampu sen-nya dan menepi kemudian berhenti di sisi jalan tepat di depan Kak Lita yang masih kokoh pada posisinya.
Remaja itu membuka kaca helmnya. Memberi tatapan teduh pada gadis bercelana jeans panjang yang apik dipadukan dengan kemeja biru polos tak bermotif dan tas ransel kecil yang ia gendong di belakang tubuhnya. Adam melirik tangan kiri gadis itu. Dua buku tulis kecil ia genggam erat di sisi tubuhnya. Tangan kanannya menenteng helm hitam pekat sepekat sepatu kulit yang membukus kedua kakinya.
Adam mematikan mesin motornya. Kembali memfokuskan tatapannya pada Kak Lita yang kini juga memberi tatapan aneh padanya. Bagaimana tidak, Adam datang tiba-tiba dan memarkirkan motor gedenya ini di depannya. Menatap perawakan tubuhnya sembari meneliti setiap bagian tubuhnya satu persatu. Jikalau Kak Lita adalah tipe gadis yang mudah terbawa perasaan, mungkin saja ia akan menganggap Adam sedang mencoba ingin melecehkannya dengan tatapan aneh itu.
"Kak Lita habis pulang dari tempat les?" Adam kini bersuara. Mencoba menerka keadaan yang membuat gadis cantik bertubuh sedikit seksi ini berdiri tegap di sisi jalan seorang diri malam-malam begini.
"Iya." Gadis itu mengangguk. Sembari melirik tentengan buku yang ada di tangan kirinya.
Adam tersenyum tipis. "Terus, nunggu pacar jemput?" tanyannya berbasa-basi. Namun, dalam benaknya yang paling dalam ia berharap kalau gadis cantik jelita ini akan menggeleng atau setidaknya berucap kata tidak dengan singkat.
"Nunggu taksi. Mau pesen ojek online baterai handphone-ku habis," tuturnya menjelaskan dengan nada lembut.
"Pacarnya gak jemput, Kak?"
Terlalu banyak berbasa-basi! Begitulah cara Adam saat mencoba untuk memanfaatkan keadaan yang ada dengan memastikan terlebih dahulu bahwa ia tak akan salah sasaran kali ini.
Lalita—atau yang akrab dipanggil Kak Lita itu hanya diam sembari menggeleng dan tersenyum tipis. "Aku gak punya pacar."
Bingo! Tepat sasaran! Kondisi sedang memihaknya saat ini.
"Mau aku anter pulang kalau begitu?" tanya Adam lirih. Melirik jalanan padat di depannya.
"Udah malem juga, Kak. Kalau kakak nunggu taksi, takutnya pulang kemalaman." Adam mencoba menjelaskan maksud dan tujuanya menawarkan tumpangan gratis tak berbayar untuk gadis bernama lengkap Lalita Rahmawati ini. Adam hanya tak ingin jikalau Kak Lita menaruh curiga padanya dengan menganggap remaja tampan ini adalah seorang remaja berhidung belang yang suka memanfaatkan keadaan untuk bisa bersama dan 'menempeli' gadis-gadis cantik jelita bertubuh semampai seperti dirinya itu.
Meskipun anggapan gadis bernama Lalita Rahmawati itu tak sepenuhnya salah.
"Iya kok, aku ngerti." Kak Lita menyahut sembari terkekeh kecil. Toh juga, apapun tingkah laku dan peringai Adam padanya yang terkesan sok akrab dan sok dekat mengingat bahwa remaja ini jugalah yang mengiriminya pesan dan mengajaknya ke pasar malam waktu itu meskipun mereka baru beberapa jam berkenalan, tak akan membuat Lalita 'ilfeel' atau enggan bertemu dengan Adam lagi. Sebab apapun tingkah dan peringainya, Adam adalah jajaran orang tampan yang akan selalu benar mengenai watak dan sifat baik serta buruknya. Katakan saja seperti, "Gak papa, 'cogan' mah bebas!"
"Mau Adam antar pulang, Kak?"
Lalita mengangguk kemudian. Menyerahkan buku yang ia genggam pada Adam untuk menitipkannya sejenak sebab gadis itu ingin naik ke atas moge besar yang akan membawanya pulang ke rumah besar nan mewah miliknya.
Adam tersenyum. Percayalah, hati remaja itu sedang berhaha-hihi ria sebab aksinya untuk berboncengan bersama seorang gadis cantik menyusuri jalanan malam Kota Jakarta yang ramai tak pernah sela sukses dilaksanakan. Kini Kak Lita sudah rapi duduk di atas moge besar milik Adam. Mengenakan helm hitam yang sengaja ia bawa sebab ayahnya yang mengatakan bahwa pulang nanti, Lita harus mandiri dengan mencari taksi atau memesan ojek online dikarenakan sang ayah yang harus kembali ke kantor untuk rapat mendadak dengan bosnya.
Lita meraih buku yang ada dalam genggaman Adam. Membuat remaja yang duduk di depannya itu sejenak menoleh. "Udah siap, Kak?"
Lita diam. Siap? Siap untuk apa? 'Bermain' bersama Adam? Tidak! Maksud Adam Liandra Kin mengatakan kalimat itu hanyalah untuk memastikan bahwa gadis berparas cantik meskipun tak secantik Davira Faranisa itu sudah aman di belakang tubuhnya sebagai seorang penumpang. Ya, hanya itu.
"Kakak nanti arahin jalannya ya?" ucap remaja itu kemudian.
Lita hanya bergumam ringan. Tak mau banyak merespon sebab memang kalimat Adam barusan itu tak harus mendapat respon banyak darinya.
Moge itu kembali melanju sedang membelah padatnya jalanan malam kota metropolitan. Menerobos cahaya terang yang dihasilkan oleh jajaran lampu tinggi yang apik berjajar di tepi jalanan luas dengan pembatas jalanan untuk memisahkan dua laju pengguna kendaraan umum yang berbeda arah. Sesekali remaja itu tersenyum kala merasakan jari jemari Kak Lita yang memegangi erat kedua sisi jaket yang ia kenakan.
Adam menambah sedikit laju motornya. Membuat Kak Lita yang awalnya hanya menggenggam ujung jaket milik Adam, kini spontan melingkarkan tanganya di atas pinggang Adam Liandra Kin. Mendekap erat tubuh remaja yang kini tersenyum jelas untuk merespon gerakan tiba-tiba milik Kak Lita itu.
Baiklah, Adam akan memanfaatkan keadaannya sekarang ini!
Adam melepas tangan kirinya dari stir motor. Meraih tangan gadis yang duduk di kursi penumpang itu. Lita membulatkan matanya, mendekatkan kepalanya ke pundak Adam dan sedikit memiringkannya.
"Ada apa?" tanyannya sedikit berteriak sebab suara moge yang nyaring keras mencoba bersaing dengan suara kecil meleningking miliknya.
"Pegangan, kak. Aku mau agak ngebut!" tukas Adam kembali memutar gas di tangan kanannya. Kak Lita mengikuti intruksi Adam. Semakin erat mendekap tubuh jangkung berotot pepak milik Adam Liandra Kin.
Remaja itu lagi-lagi tersenyum simpul. Merasakan dekapan yang semakin erat memeluk tubuh berisi miliknya. Adam memang pernah seperti ini, hanya sesekali dan lama sudah tak begini lagi.
Merasakan dekapan seorang gadis yang sebenarnya menghangatkan tubuhnya kala menerjang dinginnya angin malam di jalanan Kota Jakarta. Adam menyukai posisi seperti ini dan remaja itu yakin, bahwa semua laki-laki juga menyukai hal seperti ini. Merasakan dekapan seorang gadis berbonus merasakan punggungnya yang bersentuhan dengan dada gadis yang duduk di belakangnya.
Andai saja, gadis yang duduk di belakang dan mendekapnya erat sekarang ini adalah Davira Faranisa, pastilah ia akan lebih bahagia lagi.
Sangat, sangat bahagia. Namun sayang, andai itu mungkin saja tak akan pernah terwujud dalam waktu dekat ini.
...To be Continued...