webnovel

“Apakah Kamu Benar-Benar Mencintainya?”

Bening memahami karakter Citra, jadi dia memutuskan untuk tidak banyak bicara. Setelah kejadian itu, keinginan Citra untuk minum semakin menggelora. Mereka berdua baru saja menghabiskan beberapa gelas anggur merah rendah alkohol. Citra ingat bahwa dia belum makan malam dan sangat lapar, jadi dia mengajak Bening untuk keluar dari bar dan menuju ke sebuah restoran terdekat untuk makan malam.

Mereka menikmati makanan di restoran itu sambil mengobrol dan bercanda. Setelah makan selama hampir satu jam, Bening membayar tagihannya, sedangkan Citra terlalu mabuk untuk berdiri.

Bening berjuang untuk memegangi tubuh temannya itu, "Citra, apakah kamu ingin aku menelepon pacarmu untuk menjemputmu, atau Satya yang akan menjemputmu?"

Citra memeluk lengannya dan menyandarkan kepalanya di bahu Bening, "Um… Tentu saja… Um… Pacarku." Bening menanggapi dengan susah payah, "Kalau begitu berikan ponselmu padaku dan aku akan meneleponnya." Citra tidak mendengar apa yang dikatakan Bening, dia justru menutup matanya dan mengusap bahu Bening. Dia juga tidak mengeluarkan ponselnya.

Bening tidak dapat menahannya, tapi dia tidak memiliki nomor Miko. Bahkan jika dia mengambil ponsel Citra, dia tidak dapat membukanya karena ponsel gadis itu dikunci. Akhirnya, Bening mengeluarkan ponselnya dari tas, dan butuh beberapa saat untuk menemukan nomor Satya. Citra yang memberinya nomor Satya. Saat itu dia berkata bahwa jika ada sesuatu yang harus dilakukan, Bening bisa menelepon pengawalnya itu.

Saat panggilan terhubung, Bening buru-buru berkata, "Satya? Ini aku Bening, teman Citra. Bisakah kamu menjemput Citra di restoran dekat Bar Castillo sekarang?"

Setelah hening beberapa saat, suara rendah pria itu terdengar, "Apa yang terjadi padanya?" Bening menjawab dengan sedikit tidak sabar, "Citra mabuk. Aku tidak punya nomor pacarnya, bisakah kamu datang dan membawanya pulang?" Setelah beberapa detik terdiam, nada pria itu tidak berubah, "Nona Bening, saya akan memberimu nomor Tuan Miko, biarkan dia yang menjemput Nona Citra."

Bening mengerutkan kening, sedikit tidak puas. Dia heran mengapa Satya tidak mau menjemput Citra, padahal dia adalah pengawalnya. Terlebih, tadi Citra sudah membelanya seperti itu saat di Bar Castillo. Kenapa Satya tidak menunjukkan rasa terima kasihnya pada Citra?

Satya berkata dengan acuh tak acuh seolah bisa membaca pikiran Bening, "Nona Citra sedang mabuk, jika saya yang menjemputnya mungkin Tuan Miko akan marah pada saya dan Nona Citra. Saya tidak ingin mereka bertengkar."

Bening bukanlah orang yang bodoh, dan tentu saja dia mengerti apa yang Satya maksud, "Baiklah, kirimkan nomor Miko padaku secepatnya."

Setelah menutup telepon, kurang dari sepuluh detik, Satya mengirimkan nomor Miko pada Bening. Bening langsung menghubungi nomor itu.

Miko yang sedang di rumah sakit menemani Yulia tampak kesal saat ponselnya bergetar, dan dia segera mengangkatnya. Itu adalah nomor tidak dikenal. Karena tidak ingin berurusan dengan orang yang tidak dikenal, akhirnya Miko menggeser jarinya untuk menolak panggilan dari Bening.

Namun, sebelum dia meletakkan ponselnya kembali, benda itu bergetar lagi. Saat dia hendak memencet tombol merah di ponselnya, dia melihat nama Satya ditampilkan di layar. Dia menatap tajam ke arah ponselnya, ekspresinya berubah menjadi suram. Kemudian, dia melangkah menuju pintu, dan menggeser tombol jawab saat membuka pintu.

Di seberang sana, suara dingin Satya terdengar, "Tuan Miko." Miko berdiri di koridor rumah sakit yang dipenuhi dengan bau disinfektan, "Ada apa? Kenapa kamu meneleponku?" Satya menjawab dengan lugas, "Nona Citra mabuk."

Bibir tipis Miko terkatup erat, dan kekesalan yang lebih dalam muncul lagi di hatinya. Dia menutup matanya, dan berkata dengan nada seolah tidak peduli, "Oh, begitu."

"Tuan Miko, saya ingin menjelaskan sedikit," kata Satya di telepon berkata. Dia berkata, "Ini tidak seperti yang Anda pikirkan. Nona Citra minum terlalu banyak karena dia memikirkan Anda yang lebih memilih untuk menemani Nona Yulia sekarang. Sebaiknya Anda jangan terlalu yakin tentang cinta Anda pada Nona Yulia. Kalau tidak, Anda akan kehilangan Nona Citra yang mencintai Anda dengan tulus."

Miko tercengang. Sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, panggilan itu sudah diakhiri oleh Satya. Kata-kata pedas Satya yang bahkan sedikit mengejek bergema di telinganya. Satya bilang bahwa dia akan kehilangan Citra? Lancang sekali dia.

Tidak lama kemudian, ada sebuah panggilan masuk lagi dari nomor tidak dikenal. Kali ini Miko mengangkatnya karena penasaran siapa orang yang meneleponnya berkali-kali itu.

"Apakah ini Miko? Aku Bening, teman Citra," ucap Bening di ujung telepon.

"Di mana kamu? Aku akan menjemputnya, di mana kamu?" tanya Miko.

Bening dibuat bingung dengan pertanyaan Miko. Dia belum mengatakan apa yang terjadi, tapi Miko sudah tahu bahwa dia ingin memintanya untuk menjemput Citra. Tanpa banyak berpikir, Bening langsung memberitahu alamatnya pada Miko, "Kita berada di restoran seberang Bar Castillo. Apakah kamu tahu?"

"Baiklah, aku akan segera datang ke sana," jawab Miko. Sebelum Bening bisa mengucapkan terima kasih, Miko sudah memutuskan panggilan itu.

Miko menyimpan ponselnya di sakunya dan kembali ke ruang rawat Yulia. Dia melihat bahwa wanita yang terbaring di sana telah bangun. Wajahnya pucat, dan tubuhnya juga kurus setipis selembar kertas.

Miko bertanya, "Maaf, apakah aku membangunkanmu?" Yulia menggelengkan kepalanya dengan lembut, "Miko." Sebelum Yulia bergerak lebih banyak, Miko berkata, "Dokter bilang kamu perlu istirahat yang cukup."

Mata wanita itu penuh dengan kesedihan, "Kata ibumu, kamu akan menikahinya dalam dua hari. Benarkah?" Miko menatapnya dan terdiam selama beberapa detik, "Ya. Itu benar."

Yulia bertanya agak keras, "Apakah itu karena aku?" Miko berusaha menenangkannya, "Tidak, aku yang berencana untuk menikahinya lebih cepat."

"Lalu… Miko, apakah kamu mencintainya?" tanya Yulia dengan wajah tidak berdaya.

Ingatan Miko tentang adegan saat dia sedang memberikan bunga kepada Citra tiba-tiba muncul di benaknya. Senyuman Citra ketika dia memegang mawar merah juga terngiang di pikirannya. Miko tidak bisa mengatakan bahwa dia mencintai Citra, tapi dia juga tidak bisa menyangkalnya.

Yulia bertanya lagi, "Apakah kamu mencintainya?" Sebelum dia selesai berbicara, air mata membanjiri matanya. Wajahnya yang pucat semakin terlihat putus asa. Dia menundukkan kepalanya. Air matanya jatuh di tempat tidur, tetapi dia memaksakan diri untuk tersenyum, "Dalam hatimu, apakah kamu benar-benar mencintainya? Atau kamu bersedia menikah dengannya agar ibumu tidak menggangguku lagi?"

Miko menatapnya tanpa berbicara. Yulia mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di seluruh wajahnya. Dia berkata dengan ekspresi memohon, "Jika kamu tidak mencintainya. Bisakah kamu tidak menikahinya?"

Yulia menggigit bibirnya dengan keras sambil menahan tangisnya, "Aku kembali ke Medan untuk melihat gadis seperti apa yang akan kamu nikahi. Tapi, ternyata aku benar-benar tidak bisa melihatmu menikah." Dia duduk di ranjang rumah sakit, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Melihat rambut hitam panjang Yulia yang terurai, Miko merasa kalut. Gadis itu pasti akan mencintainya selamanya. Namun, karena cintanya pada Miko, sekarang dia harus terlibat percobaan bunuh diri dengan memotong pergelangan tangannya.

Miko berjalan ke arah Yulia, membungkuk untuk memeluknya.

____

Dua puluh menit kemudian.

Bening memandang Citra yang tergeletak di atas meja dan menunggu sambil memperhatikan jam tangannya. Seorang pria berusia empat puluh tahun datang dan bertanya dengan sopan, "Apakah Anda Nona Bening dan ini Nona Citra?"

Bening mengerutkan kening, "Ah, iya benar."

Pria itu berkata, "Saya supir Tuan Miko. Saya diminta untuk membawa pulang Nona Citra."

Next chapter