Matahari terik menyengat kulit kami yang berjalan di bawahnya, untung saja aku pakai jaket di luar seragamku jadi tidak terasa terlalu menyengat perih, aku sedang jalan bersama Bimo menuju halte dekat sekolah untuk menunggu angkot, seperti yang sebelumnya Bimo bilang kalau dia akan pulang bareng denganku naik angkot sebab tidak bawa motor hari ini. Kami hanya berdua, sebab Dwi pulang di bonceng Bayu, sedangkan Sari pulang dengan Galih.
"Kamu dulu setiap hari duduk disini tunggu angkot Ray?" Ucap Bimo setelah kami sampai di halte dan mulai duduk.
"Iya, kenapa emang?" Aku balik bertanya
"Gak apa-apa, gak ada yang ganggu kan?" Katanya lagi
"Enggak pernah ada yang ganggu sih selama ini, emang kenapa?" Ku ulang bertanya lagi.
"Gak apa-apa, syukur lah kalo gak ada yang ganggu." Ujarnya seraya senyum padaku.
"Kamu baru kali ini naik angkot Bim?"
"Di sini iya baru kali ini, tapi waktu di Bandung sering."
"Ooh...ke sekolah gak bawa motor dulu waktu di Bandung?"
"Jarang bawa motor dulu." Jawabnya
"Ooh... Ramean gitu naik angkotnya sama teman-temanmu?" Tanyaku lagi
"Enggak, berdua aja" Jawabnya.
"Berdua? Kamu gak punya temen? cuman punya 1?" Tanyaku polos.
"Hahaha...bukan temen, temen mah banyak" Katanya.
"Jadi sama siapa?" Tanyaku bingung.
"Sama MANTAN" Jawabnya santai seraya lihat ke jalan tanpa memandangku.
"Ooh..." Ucapku mendadak sendu, aku jadi tiba-tiba kesal pada Bimo. Sepertinya ini yang orang maksud dengan Cemburu.
"Hahahahahahah...." Bimo ketawa tak henti-henti melihat reaksiku, bikin aku tambah kesal padanya.
"Bodo ah" Ketusku
"Hahaha... Becanda sayaang" Ujarnya sambil kembali mengacak rambutku, tapi kali ini aku tidak marah melainkan salah tingkah sebab panggilannya padaku barusan.
"Ngeselin.." Ucapku kemudian.
"Diih...ngambek.."
"Bodo"
Angkot datang dengan penuh penumpang di dalamnya lalu berhenti tepat di depan kami, aku yang sedang cemburu perkara 'mantan' tadi jadi tambah malas karena memikirkan harus berhimpitan di dalam angkot sesak itu.
"Naik gak?" Kata supir angkot pada kami.
"Gak muat" Sahut Bimo.
"Masih muat kalo 2 orang" Katanya lagi.
Bimo menatapku, seakan bertanya apa aku tidak masalah kalau harus bersesak-sesak di dalam situ. Dan aku tidak punya pilihan, selain karena aku badmood, aku juga sudah lapar sekali dan ingin cepat pulang jadi ku anggukkan kepala menanggapi tatapan Bimo kepada ku.
Akhirnya kami disini, di dalam angkot sesak ini. Aku duduk di belakang supir menghadap pintu keluar, sedangkan Bimo di sebelahku membatasi aku dari seorang laki-laki lebih tua dari kami yang sudah lebih dulu duduk di situ.
Bimo menggenggam tangaku dan meletakkannya di atas paha kanannya tapi tidak bicara apapun, jadi aku juga ikut diam saja sambil menatap ke jalan depan searah dengan pandangan supir.
"Gak pernah liat cewek Bos?" Bimo tiba-tiba bicara seperti itu dengan suara dingin, membuat aku seketika menoleh untuk melihat pada siapa dia bicara. Ternyata pada seorang laki-laki paruh baya yang duduk di sebelah pintu keluar berhadapan dengan kami, dia menatap pada lututku yang polos karena rok sekolahku yang otomatis naik beberapa cm saat aku duduk.
Aku terkesiap dan berusaha menurunkan ujung rokku untuk menutupi lutut lalu Bimo memberikan tasnya padaku untuk diletakkan di pangkuanku agar lututku tertutup.
Ku lihat orang itu langsung berpura-pura melihat ke arah lain setelah di tegur Bimo. Tapi Bimo masih mengeraskan rahangnya seraya menatap orang itu lekat-lekat seolah mau nonjok mukanya sekarang juga, cepat-cepat ku alihkan perhatian Bimo dengan mengajaknya bicara.
"Eeem...Bim nanti sampe rumahku langsung makan ya, aku sudah laper banget." Ujarku sedikit gugup kalau-kalau Bimo tak mau dengar dan tetap meng-eksekusi orang itu di sini, tapi ternyata Bimo menoleh padaku kemudian tersenyum lembut seperti biasa dan menganggukkan kepalanya tanda setuju.
"Heheh..." Aku ketawa lega karenanya, Bimoku.. suka bikin aku jantungan.
Orang itu turun tidak lama setelah ditantang Bimo seperti tadi membuatku tambah lega. Sebenarnya aku takut sekali pada orang seperti itu, bayangkan saja ditatap terus menerus pada bagian tubuhmu yang tak sengaja tampak dan kau tidak sadar.
"Lain kali perhatikan sekelilingmu" Ujar Bimo mengomel padaku setelah orang itu turun.
"Iya maaf, gak sadar" Jawabku murung dan sebenarnya masih syok sebab bisa dibilang orang itu melakukan pelecehan padaku secara tidak langsung.
"Hhhhhhh...." Bimo menghela nafas panjang dan sepertinya kesal entah padaku atau pada orang itu. Aku tidak berani menatapnya, tiba-tiba mataku terasa panas dan buram karena ada genangan disana yang siap untuk meluncur ke bawah dan susah payah ku bendung.
"Hei..kenapa nangis?" Tanya Bimo setelah sadar karena melihat tasnya sedikit basah terkena tetesan air mataku, ia mengangkat kepalaku yang tertunduk tapi ku tepis karena tak mau dia melihat ingus yang pasti sudah menjulur keluar dari lubang hidungku dan sulit di kendalikan.
"Maaf, jangan nangis Ray...maaf aku kesal..." Ujarnya kemudian.
Aku mengangguk menanggapi omongannya sambil mengusap pipiku yang basah, dan berusaha agar tidak nampak mencolok oleh orang-orang di dalam angkot, Bimo mengeratkan genggaman tangannya dan menatapku intim sekali. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu.
---@@@---
Siang ini udara sangat panas, ditambah kejadian di angkot tadi membuat ku makin gerah, aku sudah tidak nangis lagi dan Bimo juga sudah tidak kesal, katanya dia kesal pada orang itu dan kenyataan bahwa sebelum bersama dia, aku harus naik angkot dengan resiko mengalami hal seperti tadi setiap hari.
Bimo bilang membayangkan aku mengalami itu tanpa ada orang yang bisa membela seperti yang dilakukannya tadi itu bikin dia jengkel.
"Kemarin pas pulang dengan kak Damar gimana? Ramai juga seperti tadi?" Tanya nya saat kami berjalan dari mulut gang tempat kami turun dari angkot menuju rumahku.
"Enggak, kemarin kosong cuma kami ber-5 isinya" Jawabku.
"Ooh.. Bagus kalau gitu." Ucapnya dengan senyum seperti biasa padaku dan kubalas dengan senyum pula.
"Jangan nangis tiba-tiba kayak tadi.. Bilang padaku kalau ada hal yang bikin kamu tidak suka atau tak nyaman"
"Iya, ma'af gak bisa nahannya tadi"
"Minta ma'af terus.."
"Iya ma'a-- eh, iya deh.. Hehe.. Memang kenapa kalau aku nangis kayak tadi? kamu panik? Hahaha".
"Bukan panik.."
"Terus??"
"Jadi pengen meluk tapi gak bisa, kan masih di angkot"
Langkahku seketika terhenti dan mulutku melongo dengar jawabannya, Bimo lagi-lagi hanya tertawa melihat reaksiku atas ucapannya. Ia yang sudah melangkah agak lebih jauh dariku, kembali ke tempat aku berdiri mensejajari posisiku seraya menuntun untuk mulai melangkah dengan menggenggam tanganku.
"Kamu lucu Ray" Ucapnya masih dengan tawa di selah-selahnya.
"Memangnya aku pelawak.." Gerutuku padanya.
"Hahaha..bukan lucu yang kayak gitu"
"Jadi?"
"Lucu yang bikin aku gemas"
"Teruuus...terus aja gombal" Cibirku.
"Bukan gombal, beneran ini"
"Udah berapa cewek yang kamu gombalin kayak gini hah? Aku yang keberapa? Oiya juga, mantan kamu kan banyak".
"Hahahahah...kata siapa banyak?"
"Kataku barusan"
"Tau darimana banyak?"
"Soalnya kamu kayak udah ahli sama cewek gitu.. berarti kan udah biasa, sudah paham harus gimana"
"Hahahah... Sok tau ah" Katanya sambil mendorong pelan kepalaku ke samping dengan telunjuknya. Membuatku menggerutu padanya dan dia jawab dengan asal.
"Assalamualaikuuum.... Maaah Rayaa pulaaang"
Setelah sampai di rumah aku teriak dari depan pintu agar mamah dengar anaknya yang cantik ini sudah pulang.
"Jangan teriak-teriak Raaay..." Tegur Bimo yang kubalas dengan cengengesan.
"Yuk masuk Bim" Kutarik lengannya setelah kami membuka sepatu terlebih dahulu lalu aku membawa Bimo untuk ikut ke dapur dan duduk di meja makan karena aku sudah benar-benar lapar, Maag-ku sudah hampir kumat kalau perutku tidak segera diisi.
"Waalaikumsalam...Loh ada Bimo juga.." Mamah keluar dari kamar karena dengar aku yang berisik sedari tadi.
"Hehe...Iya tante, Bimo mampir bolehkan tante?" Tanya Bimo sok berbasa-basi.
"Ya boleh lah, masa gak boleh... Makan dulu sana sama Raya, jangan sungkan-sungkan.. Anggap aja rumah sendiri" Kata mamah dengan ramah.
"Oke tante...makasih" Jawab Bimo kemudian.
Kami lalu makan dengan tenang, aku baru tau kalau porsi makan Bimo itu sedikit setelah ku perhatikan dari beberapa kali kami makan bersama, dia juga tidak suka lauk yang repot dimakan seperti ikan karena banyak durinya, kepiting atau kerang karena harus buka cangkangnya, atau ceker karena menurutnya ceker itu jorok. Oh! satu lagi, Bimo tidak suka makanan pedas berbanding terbalik denganku yang sangat suka makanan pedas.
Setelah makan, kami duduk-duduk santai di atas ayunan kayu di teras belakang rumahku, sambil memandang gazebo dan kolam ikan koi di sampingnya beserta tanaman-tanaman peliharaan mamah yang berhasil membuat nuansa halaman belakang jadi hijau dan asri.
Ayunan itu berbentuk bangku panjang yang menggantung pada kayu kokoh di atasnya lalu di topang oleh balok-balok besar membentuk huruf A pada sisi kanan-kirinya.
"Besok pas ulang tahun mau kado apa?" Tanya Bimo padaku.
"Hmm... Aku gak tau, gak kepikiran."
"Terserah aku mau kasih apa ya? Hehe" Katanya sambil cengengesan.
"Ish... Tapi jangan yang ane-aneh loh!" Kataku curiga.
"Enggak laah..."
"Nanti kamu pulangnya gimana Bim?" Tanyaku.
"Di jemput Akbar"
"Kesini? Memang Akbar tau dimana rumahku?"
"Tau katanya"
"Ooh.."
"Rumah kamu enak, sejuk... Jadi betah" Ujar Bimo memuji.
"Yaudah tinggal di sini aja kalau gitu" Candaku.
"Nantii.. Sekarang belum muhrim" Jawabnya enteng.
"Hahahahah....." Kami sama-sama tertawa, ada perasaan senang sebab hari ini bisa menghabiskan waktu bersama-sama seharian.
Hari sudah mulai sore dan Akbar sudah di sini walaupun beberapa kali salah jalan, Bimo lalu pamit padaku dan mamah untuk pulang kerumahnya, aku kemudian mandi setelah itu merebahkan badanku diatas kasur dengan rambutku yang basah.
Hari ini, aku melihat sisi lain dari Bimo yang membuatku semakin memahami dia dan pola pikirnya yang terkadang rumit.
Tak sabar untuk tau lebih banyak tentang dirinya, tentang apa yang berputar dalam dunianya, tentang apa arti aku di hidupnya, tentang semua hal yang dia suka maupun tidak.
Karena dialah pusat semestaku sekarang.
-Araya Shofi Hasan-