Untuk makan siang, Nenek Ijah membuat sepanci sup rumput laut untuk anak-anak. Sup itu berisi bihun, rumput laut, kerang, dan beberapa potong kentang. Sup buatan nenek ini benar-benar segar. Mona bahkan meminumnya. Setelah makan dua mangkuk besar, Mona terus mengatakan jika sup buatan nenek ini enak. Jika bukan karena perutnya mulai begah karena kekenyangan, Mona pasti masih terus makan.
"Nenek, masakanmu enak sekali" Mona memuji sambil mengusap perutnya.
"Benar bu, sup yang kamu buat itu enak, aku tidak bisa membuat sup seenak buatanmu" Dewi juga berkata sambil tersenyum.
Wanita tua itu tidak setuju dan berkata, "Oh, kalian bisa membuat rasa yang sama dengan menambahkan minyak ketika memasak. Ibu tidak memiliki resep rahasia apapun".
Eka teringat satu hal, "Nenek, kenapa tidak ada orang di rumah Paman? Aku masih ingin bermain dengan Teguh, tapi pintunya rumahnya terkunci."
Berbicara tentang keluarga anak laki-laki tertua, nenek menghela nafas panjang, "Pamanmu biasanya hanya pulang untuk tidur, itu pun sudah larut malam. Pamanmu akan makan di rumah mertuanya saat siang hari dan menitipkan anak-anaknya disana, Aku harus pergi ke rumah besan jika ingin menengok mereka. Karena itulah, hubungan kita semakin tak akrab."
Nenek benar-benar merasa seperti orang asing sekarang. Tapi, tentu saja ia tak bisa memaksakan kehendak putra tertuanya itu.
"Nenek, jangan bersedih, kami pasti akan datang lebih sering setelah ini" Mona meraih tangan wanita tua itu dan menghibur.
"Yah, cucu perempuanku yang pintar. Nenek tidak peduli tentang mereka. Ada Mona yang sangat nenek sayangi. Jadi, nenek bisa tenang sekarang."
Nek Ijah menyesap anggur kecil yang dibeli putrinya, dan berkata perlahan, "Wan, bawa anak-anak ke pantai dan ambilkan makanan laut. Hari ini gelombang pasang di tengah hari, kalian pasti bisa dapat banyak jika berangkat sekarang."
Nenek Ijah bangun dari duduknya, "Kek, Aku akan membawa anak-anak ke laut. Kami akan menangkap ikan dan memasaknya sebagai menu makan malam."
Kakek masih menyeruput kopinya, beberapa orang yang akan ikut nenek ke laut sudah siap berkemas. Eka masih ingat jalannya, jadi ia memimpin langkah rombongan bersama pamannya. Sementara yang lain mengikuti sambil mengobrol sepanjang jalan.
Ternyata laut tidak terlalu jauh dari rumah nenek, Mona memperkirakan jaraknya lebih dari satu mil. Dari kejauhan terdengar suara ombak menghantam karang. Sudah banyak orang di laut, mereka sibuk dengan kapalnya masing-masing.
Ketika Wawan dan yang lainnya tiba, air laut sudah surut. "Paman, ayo kita ambil cepat, begitu banyak sayuran laut di sini." Mata Mona berbinar saat melihat banyak sekali bahan makanan yang bisa didapatkan. Jika di generasi selanjutnya ada sumber makanan sebanyak ini, Mona pasti bisa menjualnya dengan mudah dan mendapatkan banyak uang.
Mona dan saudaranya yang biasa mencari makanan di gunung menganggap mencari makanan di laut seperti liburan yang menyenangkan. Mereka Kini bahkan sudah bisa mencari kerang laut di sela-sela karang setelah diajari oleh pamannya.
Waktu untuk menangkap ikan di laut hanya dua jam, jadi mereka harus melakukan semuanya dengan cepat, tanpa bicara. Beberapa orang sudah bergegas pulang karena waktu makan malam hampir tiba. Nenek juga bergegas mengajak anak-anak kembali. Selain hasil tangkapan sudah banyak, mereka takut gelombang akan kembali pasang.
Pada saat mereka kembali, Kakek sudah menangkap banyak ikan dan membawanya pulang.
"Nek, lihat ini! Ini cukup untuk dimakan anak-anak." . Kakek memang terbiasa mencari ikan di sore hari. Kali ini ia bahkan tidak bisa menunda mencari ikan karena anak-anak menunggu.
"Ayah, ini terlalu banyak. Jangan pergi melaut lagi. Ini sudah cukup, kita tidak bisa makan semuanya."
Pendapat nenek juga sama. Jam kerja Dewi dan ayahnya memang sangat berbeda. Jika keluarganya harus pergi ke gunung pagi-pagi, maka ayahnya justru harus pergi melaut di malam hari, menunggu petang agar bisa mendapatkan banyak ikan.
"Bu, tidak banyak barang, jadi kamu bisa menyimpannya. Makanlah saat kau ingin dan aku bisa membelinya lagi saat anak-anak mau makan kue.", Dewi menyerahkan bungkusan makanan ringan kepada ibunya.
Dewi mengambil barang-barang yang disiapkan ibunya, Kali ini, ia tentu harus membawa beban, jadi perjalannya tak semudah seperti saat ia datang.
Sampai di rumah, Dewi mendengar ada orang yang sedang bercakap. Restu sedang berbicara dengan beberapa orang.
"Wi, kamu sudah kembali. Kebetulan paman tertua dan yang lainnya datang ke sini hari ini. Ini adalah anak pertama paman dan istrinya, dan yang ini anak kedua paman.".
Mona melirik pasangan dan tiga anak yang duduk di tikar. Gadis itu adalah yang terbesar, dia tak jauh beda dengan saudaranya.. Kedua saudara lelakinya itu memang punya wajah yang mirip dengannya.
Mona kini merasa tidak enak badan. Jadi, ia tak ingin bicara banyak kali ini.
Mona melihat masih ada piring kotor di meja. Nasi juga masih tersisa di atasnya. Ada apa dengan keluarga ini, membuang-buang makanan? Mereka juga terlalu malas untuk mencuci piring da bahkan hanya memindahkannya.
Dewi melihat tamu itu. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya berkata dengan sopan, "Paman, silahkan duduk dulu. Aku akan memandikan anak-anak. Mereka semua lelah seharian berjalan jauh. Kami masuk dulu untuk istirahat."
Beberapa anak mengikuti Dewi ke dapur. Tidak diketahui apakah Restu atau siapa yang memasak untuk tamu itu. Bagian dasar panci dan piring sisa makan belum dicuci. Dewi dengan cepat mencuci panci kotor itu dan menggunakannya untuk merebus air agar anak-anak bisa mandi air hangat.
Setelah air dimasukkan ke dalam panci, dia pergi ke gubuk untuk berbicara dengan mereka. Tetapi mereka tidak akrab satu sama lain sehingga tidak banyak yang bisa dibicarakan.
Restu menarik Dewi keluar dan berbisik, "Wi, begitu banyak orang yang tidak punya tempat tinggal. Ibu berkata bahwa keluarga mereka harus menginap disini malam ini. Kita bisa menemukan jalan keluar lainnya besok."
Bahkan dia merasa malu ketika mengatakan hal ini. Kamar di rumah mereka sangat kecil. Tidur berenam sudah berhimpit. Jika ditambah 5 orang lagi, entah bagaimana akan mengaturnya.
Dewi terkejut dengan ide buruk ini. "Apa yang kamu bicarakan? Sebelas orang semua tidur di atas kasur. Apakah ibumu buta? Apalah ibumu itu tak bisa berpikir? Bukankah ada tempat untuk mereka di tempat ibu? Setidaknya sebagian harus ada yang menginap di rumah ibu. Kenapa ibu tidak mengizinkan mereka tinggal di sana? "
Dewi benar-benar marah kali ini. Ia belum pernah mendengar alasan seorang paman dan saudara iparnya bisa tidur bersama dalam satu kamar. Bukankah ini melanggar etika? Dewi tentu tak bisa tidur dengan situasi seperti ini.