webnovel

Empat Belas.

"Dapat! Yeah akhirnya dapat!" seru Huda dengan suara nyaring, lepas. Kelegaan dan perasaan gembira membuatnya lupa sedang berada di mana. Ketekunan dan ketelitiannya selama berjam-jam akhirnya membuahkan hasil yang sangat memuaskannya.

Tugasnya terselesaikan, pertanyaannya terjawab. Ini mengenai apa kesamaan yang dimiliki korban pertama, kedua, dan ketiga, yang membuat mereka saling terhubung secara tidak langsung. Juga, mengapa pelakunya tidak langsung membunuh korbannya saat disekap, melainkan membiarkannya lolos, dan membuat kecelakaan sebagai caranya membunuh.

Huda berada di ruangan penyimpan arsip satuan lalu lintas. Arsip yang sedang dikumpulkannya adalah mengenai kecelakan yang terjadi dua tahun lalu.

Sementara mejanya penuh dengan tumpukan kertas kasus kecelakaan, layar laptop yang sedang aktif memperlihatkan sebuah video yang diunggah di Youtube, mengenai kecelakaan yang sama. Video itu direkam seseorang dengan menggunakan kamera ponselnya.

Di dua sheet lain memperlihatkan ulasan artikel online mengenai kecelakaan yang terjadi dua tahun lalu.

Dua tahun lalu tepatnya bulan November, terjadi sebuah kecelakaan yang menewaskan 3 orang. Seorang ibu dan anak perempuannya yang berumur 7 tahun dan seorang tunawisma. Korban luka serius 2 orang. Seorang pemuda berumur 27 tahun dan seorang gadis 12 tahun.

Setelah mengkopi beberapa arsip yang dibutuhkan, Huda bergegas kembali. Ia bisa berjalan dengan dada membusung dan kepala tegak karena membawa hasil untuk timnya.

"Loh, yang lain ke mana?" Huda bertanya pada ruangan kosong.

Huda beralih ke ruang rapat, nihil. Tidak satu pun anggota dari Tim Khusus yang terlihat di ruang rapat atau di meja masing-masing.

"Bang, tau yang lain ke mana?" tanya Huda pada petugas yang lewat di depannya.

"Baru pulang."

"Pulang?!" Huda tersentak. Ia terduduk lemas di kursinya. Semua kalimat yang sudah disusun di otaknya untuk menjelaskan hasil penyelidikannya rontok seketika. Telinga Huda bahkan seperti bisa mendengar suara jatuh dan berhambur di lantai.

"Perintah dari Komandan kalian, biar besok bisa lebih segar lagi."

Huda mengangguk, masih lemas.

Pulang lebih cepat berarti bisa tidur lebih cepat dan semoga bangun lebih cepat juga. Berpikir bahwa ia akan bisa tidur nyenyak lebih lama di atas kasurnya yang empuk membuat semangat Huda kembali dengan sedirinya.

"Pulang, pulang, tidur, tidur," Huda bersenandung pelan menggunakan kata pulang dan tidur. Nadanya asal dan sumbang. Setelah sedikit merapikan mejanya, ia pun beranjak dari tempatnya.

Pulang.

Tidur.

Huda adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kakaknya yang seorang PNS sudah menikah dan mempunyai seorang anak perempuan. Satu adiknya baru lulus kuliah dan satu lagi masih di kelas XII.

Huda tinggal sendiri di rumah paman yang sudah tidak lagi di tempati setelah pindah ke Malaysia. Awalnya rumah itu akan dijual karena jika ditinggalkan kosong dalam waktu lama sudah pasti tidak ada yang merawat.

Tapi kemudian opsi pilihan berubah. Huda diizinkan menempati selama dirawat. Jika pulang ke Indonesia di hari lain mereka masih memiliki rumah sehingga tidak perlu menginap di hotel atau rumah sanak saudara lain.

Dalam perjalanan pulang, opsi pilihan Huda berubah. Ia tidak lurus ke arah rumah, tidak memburu waktu tidur lebih cepat. Ia justru berbelok di pertigaan. Ada tempat yang tiba-tiba ingin ia datangi.

Huda berdiri di depan rumah bertingkat dua dengan pagar tralisnya yang tinggi. Ia menghela nafas panjang, terdiam beberapa menit. Kepalanya tertunduk, tatapannya hanya mengarah ke ujung sepatunya. Setelah cukup menata perasaannya, ia mengangkat pandangannya. Siap mengatakan hal yang membebani hatinya.

"Maaf," Huda menghela nafas lagi. Tampak tidak mudah untuk mulai berbicara. "Maaf. Aku akan hidup lebih bahagia sekarang. Aku akan mulai mengurangi jatah mengenangmu. Aku harap kamu marah dan membenciku, dengan begitu kamu bisa muncul di mimpiku. Agar setidaknya rindu selama 5 tahun ini bisa sedikit terobati."

Diam. Huda memberi jeda dalam kalimatnya sendiri. Lebih lama, sedikit lebih lama lagi.

"Lihat, aku sudah tidak nangis lagi sekarang. Kesedihanku, kenangan kita, semuanya sudah semakin memudar. Dan perlahan aku mungkin akan melupakanmu sepenuhnya. Jadi, sebelum lupa," suara Huda mulai bergetar. "Untuk terakhir kalinya, aku ingin bertemu. Ingin melihatmu."

Meski suara Huda bergetar, meski kesedihan menumpuk di kelopak matanya yang kecil, ia benar-benar tidak lagi menangis.

Selama lima tahun ini sudah terlalu banyak ia menangis, sudah terlalu lama bersedih. Semuanya mungkin sudah memudar seperti apa yang baru diucapkannya. Kenangan, kesedihan, dan rasa sakit kehilangan.

Itulah obat yang lahir dari waktu yang terus berputar. Hari-hari yang tetap dijalani. Karena tidak ada manusia yang berduka selamanya.

Rumah bertingkat dua yang saat ini Huda berdiri di depannya bukanlah rumah seseorang yang dikenalnya. Lima tahun lalu, ada gadis yang Huda sukai di sekolahnya. Cinta pertama. Gadis yang sangat energik, kuat, pemberani namun bisa tampak anggun di lain waktu. Namanya Dian Anggreini.

Dian sangat jago berkelahi, bahkan lebih jago dari Huda. Nilai untuk mata pelajaran praktek Penjaskes-nya selalu paling tinggi di antara murid-murid perempuan dan beberapa anak laki-laki. Semangatnya seperti tidak pernah habis. Suara tawanya selalu paling keras mendominasi dan senyumnya selalu lebar merekah.

Seperti itulah Dian Anggreini dari sudut pandang Huda.

Di minggu sore yang berawan, Huda meihat Dian berdiri di depan rumah bertingkat dua, gaya modern-elegan. Halaman depan rumahnya yang luas dipenuhi tanaman hijau dan beberapa jenis bunga yang mudah ditemukan. Ada ayunan yang diletakkan di tengah halaman, yang saat siang akan dijadikan tempat bersantai sembari menikmati semilir angin.

"Dian, kamu ngapain?"

"Melihat rumah masa depanku," jawab Dian tanpa segan.

Dian memang selalu bicara blak-blakan. Dia selalu menceritakan apa saja yang disukainya kepada siapa pun tanpa merasa segan atau malu. Toh ia hidup di era di mana kebebasan berbicara dijunjung tinggi.

Huda tersenyum geli, merasa lucu. "Oh rumah idaman, ya," katanya menanggapi. "Tapi bukannya kamu mau jadi polisi. Polisi itu gajinya kecil loh, mana bisa buat bangun rumah sebagus ini."

"Siapa yang bilang aku mau bangun rumah," kilah Dian. "Aku bilang ini rumah masa depanku. Aku ramalkan 5 atau 10 tahun lagi rumah ini dijual. Seharusnya harganya dibawah standar karena ada desas-desus ini rumah berhantu. Mungkin kalau 5 tahun lagi tabunganku belum cukup, tapi kalau 10 tahun lagi bisa dipertimbangkan kalau seleraku belum berubah."

Lagi, Huda tersenyum geli.

"Kamu percaya?"

"Enggaklah, mana mungkin!" jawab Huda cepat.

"Kita taruhan, ya," Dian menantang. "Kita ketemu di sini 5 sama 10 tahun lagi. Kata nenekku aku punya bakat meramal. Firasatku sih bilang ini bakal jadi kenyataan. Kalau jadi kenyataan 'kan keren. Punya kemampuan bisa meramal itu pasti keren!"

Meski semua hal yang Dian bicarakan aneh dan omong kosong, tapi Huda suka. Huda suka semua yang dilihatnya dari Dian. Caranya bicara panjang lebar juga pembicaraan anehnya.

Dian kelihatan paling keren waktu berkelahi. Huda pernah mengintip sekali sewaktu jam ekskul Taekwondo. Di hari lain, Huda mencoba mengintip lagi, tapi dia selalu kepergok sebelum berhasil.

Dian seperti bisa membagikan energi positif ke orang-orang yang ada di sekelilingnya. Selain membuat orang lain nyaman karena sifatnya yang ramah dan enak diajak bicara, orang lain juga bisa ikut bersemangat melihat tingkahnya yang energik.

"Ternyata aku benaran suka," kata Huda dengan suara pelan.

"Apa?"

"Aku suka..." sadar dengan kalimat apa yang meluncur begitu saja dari tenggorokannya, Huda berhenti. Menahan. Huda mengangkat telunjuknya, "...rumahnya. Kalau memang harganya jatuh, aku juga mau nabung buat beli," tambahnya sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Jika ingin menembak, Huda ingin memilih situasi dan waktu yang tepat. Paling tidak dikeadaan yang jika diingat lagi akan membuat orang terkesan padanya.

"Aku juga suka."

"Eh?"

Dian tertawa kecil. Manis. Tawa yang membuat Huda tidak bisa berkedip selama beberapa menit. Meski sering memperhatikan Dian diam-diam, tawa kali ini sepertinya yang termanis yang pernah ia lihat.

Huda yakin malam ini ia akan sulit tidur.

Setelah sore itu, tidak ada hari esok untuk bisa melihat Dian lagi. Sebuah insiden terjadi malam harinya di kediaman Dian Anggreini. Perampokan.

Malam itu ayahnya bekerja lembur. Perampok ada dua orang. Masing-masing membawa belati sebagai senjata. Selain menutupi wajah dengan menggunakan masker, mereka juga mengenakan topi polos.

Situasi benar-benar menegangkan. Semua orang dalam rumah diikat dan di tempatkan di ruang tamu. Sementara seorang perampok menggeledah isi rumah, yang satu lagi bertugas menjaga para sandera. Ia terus menerus mengacungkan belatinya, membentak, mengancam. Tampaknya si pelaku juga merasakan hal yang sama.

Adik Dian yang ketakutan terus menangis. Berulangkali ia membentak, namun tangis adik justru semakin kencang. Sekali ia berusaha membekap mulut adik Dian dengan menggunakan kain lap yang ada di dapur. Belum rencananya itu terpenuhi, tangannya justru digigit.

Menjadi naik pitan, si perampok kemudian mengayunkan belatinya penuh murka. Seharusnya bukan Dian tumbalnya, seharusnya Dian tidak apa-apa. Tapi kemudian ia memilih menjadi tameng untuk melindungi adiknya.

Tusukan belati sangat dalam, darah yang tumpah sangat banyak. Tidak bisa berbuat apa-apa karena terikat, si ibu hanya berteriak-teriak histeris, menunggu pertolongan tetangga. Semakin sekarat putri tercintanya, semakin keras teriaknya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berteriak, meronta hingga tangannya yang terikat penuh luka. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain melihat putri pertamanya menahan sakit di detik-detik ajal menjemput.

Penyesalannya dalam. Rasa sakit kehilangan buah hati, kesedihan yang tidak mampu terbendung.

Dua hari setelah polisi melakukan pencarian, pelaku tertangkap.

Pada akhirnya Huda hanya bisa diam-diam menyukai, diam-diam memerhatikan, diam-diam terluka, dan lima tahun kemudian baru bisa memutuskan untuk berhenti dan melupakan.

Beberapa orang begitu mudah jatuh cinta, beberapa orang begitu mudah melupakan, beberapa orang begitu mudah menyembuhkan diri, dan beberapa orang lainnya perlu waktu yang lebih lama untuk bisa melakukan semuanya sekaligus.

***

Next chapter