***
"Time paradox katamu?!"
"Ya. Saat Y-Mir menguasai tubuhku, aku pergi ke masa lalu. Disana aku bertemu dengan Ibu, diriku saat kecil, Lilith saat kecil, dan Professor Light."
"Itu sangat tidak mungkin, bagaimama bisa hal itu terjadi?"
"Hal itu bisa saja terjadi."
"Night, apa maksudmu?"
"Jadi Tree, time paradox yang diceritakan Snow tadi bisa saja terjadi. Aku sendiri pernah mengalaminya."
"Apa kau juga pergi ke masalalu dan bertemu dengan keluargamu Night?"
"Sayangnya time paradoxku berjalan terlalu jauh ke masalalu. Kita kesampingkan dulu tentang itu, yang terpenting sekarang adalah kesembuhanmu Snow."
"Night benar, kau harus beristirahat dengan baik terlebih dahulu. Baru setelah itu, kita bisa mulai membahas tentang apa yang terjadi padamu."
"Ya, terimakasih semua."
Night, Tree, dan Shin pergi meninggalkan ruang kesehatan. Tak berselang lama aku mendengar langkah kaki yang tergesa-gesa, dan kemudian suara pintu yang terbuka dengan kasar.
Ya, aku sudah tau pasti kalau itu adalah adikku tersayang.
"Kakak!"
"Yo Lilith, apa kau baik-baik saja?"
"Apa-apaan ucapanmu itu! Seharusnya aku yang menanyakannya, dasar kakak bodoh!"
Lilith berlari kearahku, dia memelukku dan terus menerus menangis. Pelukannya lebih erat dari biasanya, perlahan aku menghiburnya dan menceritakan semua yang sudah kualami.
***
"Night, apa maksudmu dengan kau pernah mengalami time paradox juga?"
"Yah, aku mengalaminya saat masih jadi bahan percobaan di laboratorium gila itu."
"Lalu apa yang kau alami saat time paradox itu?"
"Banyak hal yang terjadi, tapi yang paling kuingat adalah saat para dewa mulai saling menyerang satu sama lain."
"Tunggu! Dewa?! Apa maksudmu?!"
"Hahaha! Tidak perlu terlalu dipikirkan teman lamaku, itu cuman dongeng membosankan. Ayolah temani aku minum-minum malam ini Tree."
"Woi! Kau jangan bercanda! Dengar Night! Aku sangat kesal hari ini dan jika kau masih ingin bercanda, maka aku akan menebasmu sekarang juga!"
"Tree! Night! Kalian berdua tenanglah!"
"Hah... mau bagaimana lagi, jika kau sangat ingin tau bacalah buku bersampul merah di rak kantorku. Bacalah Bab 7, disana menceritakan tentang seorang iblis yang melawan para dewa."
"Apa maksudmu?!"
"Kalau begitu aku pergi dulu, sampai bertemu lagi besok. Bye bye!"
"Woi! Night!"
***
"Tidak mungkin! Kakak bertemu dengan ibu?!"
"Ya."
"Bagaimana kedaan ibu?"
"..."
"Kakak?"
Aku hanya menggelengkan kepalaku, menandakan bahwa ibu memang sudah tiada. Seandainya saja aku menyadarinya dari awal, aku pasti akan membawa ibu ketempat yang aman dan bukannya membawanya ikut bersamaku waktu itu.
"Tidak apa-apa kak."
Lilith dia tiba-tiba menyentuh lembut wajahku, dia tersenyum lebar. Dia terus-menerus membelai lembut wajahku.
"Meskipun aku tidak tau pasti, tapi..."
Dia ikut naik ke kasur ruang perawatan ini, tepat disampingku. Lilith kemudian menyandarkan kepalanya di bahuku.
"Aku yakin kalau kakak sudah melakukan yang terbaik waktu itu."
"Lilith..."
Mata kananku yang diperban ini mulai mengeluarkan air mata, sedikit demi sedikit. Perasaan ini... dia sama seperti ibu.
"Dan aku yakin, kalau ibu pasti sangat bahagia melihat kakak sudah menjadi pria yang kuat."
"Lilith... aku... aku..."
Lilith mulai memeluk lenganku perlahan, pelukannya terasa lembut dan sangat hangat. Kebaikan ini, sama seperti ibu.
"Selama masih ada kakak disini, Lilith sudah sangat bahagia. Jadi kak, jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri tentang apa yang sudah terjadi pada ibu."
Hari mulai malam, lampu-lampu dikota mulai menyala. Pemandangan indah dari gemerlap cahaya yang ada dikota ini membuat hatiku semakin damai, terlebih sekarang kami bisa kembali bersama.
Seandainya aku tidak bisa melewati ujian itu, aku tidak akan pernah bisa bertemu dengan Lilith lagi. Sekarang ini, aku hanya ingin melindungi satu-satunya keluargaku yang tersisa ini.
"Lilith, terimakasih."
"Kau tidak perlu berterimakasih kak, dibandingkan dengan apa yang sudah kakak berikan padaku selama ini, ini masih tidak ada apa-apanya."
"Setelah aku sembuh, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."
"Kemana?"
"Ke tempat ibu berada."
Lilith hanya mengangguk pelan.
Karena sudah larut malam, aku memintanya untuk menemaniku disini. Karena bagi kami bukan rumah namanya kalau tidak ada salah satu dari kami disana.
***
"Tumben sekali dia memanggil kita ke markas, apa kau tau sesuatu Zero?"
"..."
"Ayolah setidaknya katakan sesuatu."
Seorang lelaki dengan pakaian serba putih muncul dihadapan kami, dia menunggu di singgasananya dengan kegembiraan memenuhi wajahnya.
"Oh, kalian sudah datang ya."
"Nah Light apa yang kau inginkan kali ini, sebaiknya ini hal yang penting karena kau mengganggu hiburan malamku."
"Rocka, tak bisakah kau berisikap lebih sopan dihadapan professor."
"Tidak masalah Zero, aku sudah terbiasa."
"Jadi ada apa?"
"Akhirnya aku bisa mengingatnya."
"Mengingat apa? Kalau bicara itu yang jelas Light."
"Rocka!"
Aku mengarahkan pisau tanganku ke lehernya, dia hanya diam. Dengan angkuh dia mengangkat wajahnya dan menatap rendah kepadaku.
"Apa? Lakukan sekarang kalau berani! Kau tau sendirikan aku bisa membunuhmu dalam sekali serang."
"Cih!"
"Oi oi oi, ada apa Zero?! Ayo cepat lakukan!"
Orang ini, aku benar-benar tidak suka sifatnya.
"Zero tenanglah!"
"Baik professor."
"Jadi beberapa jam yang lalu ingatanku yang terpotong tiba-tiba saja kembali, dan aku mengingatnya... dia sudah kembali."
"Dia?! Jangan-jangan yang kau maksud itu..."
"Ya kau benar Rocka, dialah sang penghancur, dialah sang penghenti waktu, dialah yang menyebabkan para dewa turun dari surga untuk menghentikannya. Dia sudah bangkit di zaman ini."
Akhirnya dia muncul, penantianku selama bertahun-tahun akhirnya terwujud juga. Dengan begini tujuanku bisa segera tercapai.
"Jadi, apa kau sudah tau siapa orang yang menampung soulnya professor?"
Professor memberikan kepada kami foto orang itu, dan seketika aku terpaku melihat wajahnya. Aku... benar-benar... tidak percaya ini, jadi selama ini dia adalah orang yang kami cari.
***
Kurang lebih selama 1 minggu aku dirawat oleh Tree di ruang kesehatan ini, keadaanku seluruhnya baik-baik saja. Hanya saja...
"Seperti yang kuduga."
"Ada apa Tree?"
"Mata kananmu, itu sudah bukan matamu lagi."
"Aku tidak begitu paham."
"Coba lihat ke cermin yang ada disana."
Ketika di depan cermin, aku melihat mata kananku sudah berubah. Warna mataku yang sebelumnya kuning kecoklatan, sekarang berwarna biru cerah. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Sepertinya matamu mengalami anomali, dan sepertinya itu akan menjadi anomali permanen."
"Apa ini buruk?"
"Tergantung, bagaimana perasaanmu?"
"Rasanya sama seperti biasanya, aku tidak merasakan perbedaan."
"Aku masih belum tau jenis anomali apa itu, untuk sementara kau pakai penutup mata ini dulu."
Tree memberikanku sebuah penutup mata yang bentuknya hampir sama dengan miliknya Night.
"Tidak perlu, aku akan baik-baik saja begini."
"Apa kau yakin?"
"Yah, nanti aku pakai kacamata saja. Kalau aku memakai penutup mata ini, bukankah aku akan terlihat mencurigakan."
"Ya, kau ada benarnya juga. Karena sekarang keadaanmu sudah membaik, kau kuizinkan pulang."
"Terimkasih Tree, kalau begitu aku pamit dulu."
"Ya, hati-hati Snow."
***
Sepanjang perjalanan pulang, banyak sekali orang yang menatapku. Ya, sudah pasti karena mata ini. Aku sendiri tidak terlalu peduli dengan tatapan mereka, yang terpenting sekarang aku harus mampir ke optik kacamata.
"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu tuan?"
"Oh, aku sedang mencari kacamata normal."
"Eh?"
"Ah maaf, kamu pasti bingung ya. Sebenarnya aku mencari kacamata untuk menutupi kornea mataku yang berbeda warnanya ini."
"Wah! Anda punya mata yang unik, baiklah mari ikuti saya."
Pelayan ini memanduku ke sudut ruangan optik, disana ada banyak sekali pilihan kacamata. Jujur saja, saat ini aku sangat bingung mau pilih yang mana.
"Bagaimana tuan, apa anda sudah menemukan kacamata yang cocok?"
"Hem... mungkin yang satu ini."
Aku memilih kacamata normal dengan frame berwarna hitam, kacamata ini terlihat lebih bagus dan simpel daripada yang lain.
"Kalau begitu silahkan mecobanya di cermin yang ada di sana, kalau sudah cocok silahkan menuju kasir."
"Terimakasih."
Saat aku ingin berkaca, ada orang lain yang juga ingin berkaca. Aku memintanya untuk berkaca duluan, tapi dia menolaknya.
"Anda tidak perlu begitu, yang sampai disini duluan adalah anda."
Saat aku mengangkat wajah, dia berteriak histeris.
"Ah! Bukankah kau ini Snow?!"
"Eh? Maaf, apa saya mengenal anda?"
"Ya ampun, apa kau sudah lupa padaku? Ini aku wali kelasmu."
"Ibu Aoki?!"
"Ya ampun, kenapa kau sampai terkejut seperti itu?"
Bagaimana aku tidak terkejut, dia terlihat sangat berbeda saat di luar kelas. Dia terlihat lebih muda, tidak bisa dipercaya.
"Tidak, saya hanya heran saja. Bagaimana bisa ibu terlihat 10 tahun lebih muda diluar kelas?"
"Berarti saat aku sedang mengajar, wajahku terlihat 10 tahun lebih tua begitu?!"
Gawat sepertinya aku menginjak ranjau.
"Tidak! Maksud saya bukan seperti itu bu!"
Seketika telingaku ditarik olehnya, rasa sakit ini sama saat hari pertamaku di sekolah waktu itu. Tak lama, dia melepas telingaku dan memegang wajahku, dia mengarahkan wajahku ke wajahnya. Dekat sekali wajahnya!
"Snow, apa yang terjadi dengan matamu?"
"Ah! Hahaha..."
Sepertinya aku harus berbohong lagi.
***
"Anomali?!"
"Ya, ini terjadi sekitar seminggu yang lalu. Saat saya bangun, tiba-tiba saja mata kanan ini mengeluarkan banyak sekali darah, adik saya sampai panik karenanya. Lalu saat diperiksa, dokter mengatakan kalau mata ini mengalami anomali aneh yang membuat warna korneanya berubah."
"Bukannya itu gawat?"
"Ya, mungkin saja. Tapi, saya tidak merasakan sedikitpun perubahan."
"Jadi, apa tujuanmu membeli kacamata itu?"
"Saya hanya tidak ingin terlihat mencolok saja bu."
"Ya, kau tidak terlihat mencolok saat menggunakannya. Kacamata ini juga membuatmu terlihat lebih dewasa."
Kami berakhir didalam sebuah cafe di pusat perbelanjaan district C, tempat ini cukup terkenal dikalangan anak muda. Sejauh mata memandang hanya ada pasangan-pasangan muda disini, bagaimana ibu Aoki bisa tau tempat ini?
"Jadi itu alasanmu tidak masuk ke kelas selama seminggu."
"Ya, mau bagaimana lagi. Dokter melarang saya ke sekolah."
"Oh."
Obrolan canggung macam apa ini, dan lagi kenapa aku mau saja diajaknya kesini! Aku terlihat seperti cowok gampangan kalau begini. Banyak orang yang berbisik-bisik, dan sepertinya mereka membicarakan kami. Sial, ini sangat memalukan. Pokoknya aku harus cari topik!
"Anu... sebenarnya berapa umur ibu?"
"Apa kau ingin berkelahi disini?!"
Ah, sepertinya aku menginjak ranjau lagi.
"Bukan bu! Saya hanya penasaran saja."
"Apa kau tidak tau?! Menanyakan umur perempuan itu adalah bom bunuh diri?!"
Baik, habis sudah aku.
"Maafkan saya bu."
Aku meminta maaf sambil menunduk didepannya, dan semua pandangan orang di cafe tertuju pada kami. Saat kulirik, wajah ibu Aoki justru terlihat memerah dan raut wajahnya terlihat sangat kesal. Apa aku membuat kesalahan lagi?
"2... 6"
"Eh?"
"Aku bilang, umurku 26".
Wah, diluar dugaan ibu Aoki mau menjawab pertanyaan tadi. 26 ya, masih sangat muda untuk ukuran seorang guru sekolah menengah. Apa dengan begini nyawaku sudah diampuni?
"Apa kau sudah puas sekarang Snow?"
"Maafkan saya."
"Tidak perlu meminta maaf, lagipula ibu tidak keberatan... memberitahumu..."
"Eh? Maksud ibu?"
"Sudah lupakan saja!"
"Aduh!"
Keningku sedikit disentil olehnya, rasanya lumayan sakit. Tapi setelah itu ibu Aoki terus-terusan membuang muka saat bertatapan denganku, ada apa dengannya?
***
Hari sudah semakin sore, aku harus segera pulang. Lilith akan marah kalau aku terlambat pulang, bisa bahaya kalau dia marah.
"Terimakasih kopinya bu, tapi saya harus pulang sekarang."
"Ya."
Jawaban ibu Aoki sangat datar, apa mungkin dia masih marah? Aku harus menghiburnya sedikit, aku tiak mau nilaiku jadi jelek karena masalah sepele seperti ini.
"Anu... ibu Aoki."
"Apa lagi? Bukannya tadi kau bilang mau pulang."
"Ya, hanya saja... ibu terlihat sangat cantik memakai kacamata itu, saya sangat suka."
"Hah?!!"
"Kalau begitu sampai jumpa di kelas bu."
"Hei Snow!"
Baiklah, sepertinya nilaiku aman sekarang. Semoga dengan begini ibu Aoki tidak marah lagi padaku.
***
"Ya ampun, apa maksudnya tadi itu! Dasar! Padahal dia hanya anak kecil. Ah! Apa yang harus kulakukan sekarang?! Kenapa wajahku sangat merah!"
Dia itu muridku!
***
"Frame warna biru yang indah"