"Isauraaaa, Isauraaaa." Liana memanggil kucingnya dengan membawa makanan untuk kucing kesayangannya tersebut.
"Kemana Isaura? biasanya jam segini dia sudah muncul dan minta makan." Liana bermonolog sebal. Ia harus pergi kerja hari ini, dan sebelum itu tentunya 'majikannya' alias kucingnya itu harus kenyang terlebih dahulu.
Lalu sebuah tangan berbulu yang halus menyentuh dahinya, diikuti suara ngeongan kucing yang menggemaskan.
"Astaga! kenapa kau bisa tiba-tiba ada di atas kepalaku?" pekik Liana, lalu ia menurunkan Isaura dari kepalanya.
Isaura bermanja-manja pada Liana, setelah Liana meletakkan piting berisi makanan untuk Isaura. Liana lalu meninggalkan Isaura yang sedang sarapan. Tentunya ia perlu sarapan juga, jadi ia langsung bergabung ke meja makan bersama Nenek Louvinna, Lysander, dan Lyosha.
"Kau itu selalu mendahulukan kucing pemalas itu dibanding dirimu sendiri. Aku jadi sebal melihatnya," ujar Lyosha, dia cemburu pada Isaura yang mendapat perhatian lebih besar dari Liana.
Oh ayolah Lyosha, jangan cemburuan begitu. Lagi pula kau tidak bisa menjadi kekasih Liana karena kalian sama-sama perempuan.
"Jangan apa-apakan Isaura!" seru Liana memasang ekspresi marah, namun yang dihasilkan malah wajah yang imut menggemaskan.
"Oke, oke, aku tidak akan melakukan apa-apa pada kucing pemalas yang menyebalkan itu," jawab Lyosha malas. Dalam hatinya ia ingin sekali membuang kucing menyebalkan itu jauh-jauh.
"Hari ini Nenek ingin berkebun dengan Aurel," ujar Nenek Louvinna dengan riang.
"A-Aurel?...siapa Aurel?" tanya Liana heran.
"Nek, Lysander, bukan Aurel." Lysander memegang pundak Nenek Louvinna.
"Pfft...hahahaha. Tapi kurasa kau memang cocok dipanggil begitu," ledek Lyosha denfan semangat.
Lysander hanya berwajah datar. Ia sudah terbiasa. Lagipula kenyataan bahwa banyak orang mengira Lysander itu perempuan juga tak dapat ditapis. Wajah cantik, rambut panjang nan lurus, dan mata yang lancip seperti rubah membuat dia anggun namun berwibawa.
Tapi kalau untuk ukuran cantik bagi Lysander, Liana lah yang paling ideal menurutnya. Rambut pendek hitam se-leher, dengan poni yang menutup mata kirinya, wajahnya tirus plus pipinya yang chubby, lalu diberi sentuhan manis dengan hidung mancung dan lesung pada pipunya. Tubuh ramping ditambah tinggi sekitar 168 senti membuat Liana terlihat sangat menawan dan mempesona. Apalagi Liana itu cute and innocent person, pastinya Liana sangat menggemaskan dan menarik di hati.
Beralih dari soal visualisasi, kini Liana sudah pergi ke tempat kerja. Lysander dan Nenek Louvinna sedang berkebun di rumah. Kalau Lyosha, ia memilih untuk pergi ke daerah pantai. Kebetulan di sana ada pantai yang dapat di tempuh dalam waktu satu jam. Kata Lyosha, ia akan menjadi buruh bantu dalam memilah ikan dan mengepak nya. Walaupun musim dingin tetap saja industri perikanan tetap berjalan sebelum malam natal. Dan Lyosha biasa-biasa saja. Toh dia tidak akan kedinginan walau hanya memakai pakaian tipis.
Awalnya Lysander juga ingin bekerja, namun Liana meminta Lysander untuk tetap di Coil Cottage bersama Nenek Louvinna. Setidaknya kini Nenek Louvinna tak lagi sendirian di rumahnya.
"Dah Nek, Liana berangkat kerja dulu." Liana melambai dan dibalas lambaian oleh Nenek Louvinna.
Liana mengeratkan jaketnya, andai ia dan Lyosha satu arah mungkin ia bisa menghangatkan diri di samping Lyosha sekarang. Dia membayangkan bagaimana para nelayan dan para pekerja lain yang kedinginan lalu mendekati Lyosha untuk mendapatkan kehangatan.
'Kau mirip pemanggang barbeque Lyosha emm.'
'Berikan aku kehangatan huwaaa.'
'MENJAUH DARIKU MAHLUK BAU BADAN! APA KALIAN TIDAK MALU PADA BULU DADA KALIAN SENDIRI?!'
Liana sampai terpingkal-pingkal membayangkan kalau itu memang terjadi. Liana harus menghentikan tawanya sekarang kalau tidak mau dicap sebagai orang tidak waras.
Setelah sampai di kedai milik Tuan Hurrold, Liana langsung berganti pakaian menjadi seragam pelayan kedai. Pekerjaan hari ini lumayan banyak karena semalam kedai mendapat pesanan untuk membuatkan cattering. Jadi selain harus melayani pelanggan di kedai, Liana juga membantu pengemasan makanan pesanan cattering tersebut.
Liana sempat bertemu Alwhin dan Alphonso. Liana hendak menanyakan tentang pengobatan yang mereka berdua jalani waktu kemarin, namun ia mengurungkan niatnya begitu melihat belum ada perkembangan pada kesembuhan Alwhim dan Alphonso.
"Liana, kau nampak sibuk sekali hari ini," sapa Alwhin.
"Iya, hari ini banyak pesanan dan pelanggan yang datang cukup ramai," balas Liana.
Alphonso menepuk bahu Liana dan menyodorkan kaus tangan, "Banyak makanan yang masih panas, pakailah ini."
"Terima kasih Alphonso," ujar Liana.
"Sama-sama," balas Alphonso. "Tapi ngomong-ngomong aku baru teringat."
"Iya? apa?" tanya Liana. Meski sedang berbicara dengan orang lain, tangannya tetap telaten melakukan pekerjaannya.
"Beberapa hari belakangan aku dengar ada orang yang sering datang tiba-tiba dengan maksud yang tidak jelas ke sini." Alphonso sedikit menggantung perkataanya.
Liana berhenti sebentar lalu mengerutkan keningnya, "Lalu?"
"Aku hanya ingin kau lebih berhati-hati Liana. Seseorang bisa saja sedang mengincarmu." Alphonso nampak khawatir.
"Sepertinya orang itu tidak berniat apa-apa padaku. Mungkin saja dia mencari orang lain. Lagi pula buat apa orang jahat mengincarku? aku hanyalah seorang Orph. Bukanlah anak dari keturunan bangsawan ataupun orang kaya," ujar Liana santai.
"Justru itu Liana," sahut Alwhin. "Kami berdua merasa orang itu sedang mengawasimu. Bahkan ayah kami juga berfikiran begitu. Maka dari itu sebisa mungkin ayah akan memberi jam pagi untukmu, agar kau tidak pulang malam."
Liana tersenyum lalu mengangguk paham, "Terima kasih banyak. Maaf aku selalu merepotkan kalian."
Di saat hari sudah menunjukkan pukul empat sore, Liana mengganti seragamnya menjadi pakaian biasa. Lalu ia mengambil kantong sampah untuk membuangnya. Jadi sekalian pulang saja membawanya. Kasian yang kena jam malam kalau harus buang sampah lagi.
Namun Liana dikejutkan dengan seekor mahluk berbulu yang dengan manjanya bermain-main di samping kaki Liana.
"Isaura?...bagaimana bisa?" Liana menganga tak percaya. "Oh iya, aku selalu lupa kalau kau itu hewan magis."
Liana lalu menggendong Isaura. Dia mengelus-ngelus Isaura dengan lembut. Namun saat hampir keluar dari gerbang pusat kota tiba-tiba Isaura nampak gelisah. Isaura mendadak jadi agresif. Lalu dia masuk ke dalam tas selempang yang Liana bawa.
"Ada apa hm? apa kau kedinginan? astaga, kalau kau memang ingin di dalam situ aku tidak akan melarangmu." Liana mengelus kepala Isaura lalu mengeratkan tali selempang tasnya.
Meski sedang musim dingin, Liana tidak merasa kedinginan. Syal yang Nenek Louvinna buatkan sudah Lyosha lapisi dengan kekuatan magis apinya. Tidak, syal itu tidak mengeluarkan api kok. Syal itu bisa menjadi lebih hangat dan menyesuaikan perubahan suhunya, jadi Liana tidak akan kedinginan saat musim dingin ataupun kepanasan di saat musim panas. Tapi apa Liana akan tetap memakai syal saat musim panas?
Isaura nampak tenang dan diam. Tapi ini bukan sekedar diam. Tidak bergerak sama sekali, Liana menoel-noel punggung Isaura. Isaura bergerak menandakan ia bangun dan tidak apa-apa. Tapi kenapa Isaura jadi aneh begini?
Firasat Liana tidak enak, ia mempercepat langkahnya. Lama kelamaan dia merasa seperti sedang diikuti dari belakang. Ia berusaha tetap tenang seolah-olah tidak menyadari situasi.
Dan secara tiba-tiba ada tangan yang berusaha meraih leher Liana. Liana berkelit, untung saja ia tidak apa-apa. Setelah ia menoleh rupanya tidak ada siapa-siapa. Tapi tidak mungkin kalau Liana berkhayal. Liana ingat dengan jelas kalau sesuatu yang hendak menggapai lehernya merupakan sebuah tangan asli.
"Grrr..."
Isaura menggeram, Liana berusaha menenangkan Isaura. Namun nampaknya Liana lah yang perlu ditenangkan sekarang. Liana bersiaga, tenang saja. Sekali sentuh maka mahluk itu akan berubah jadi weapon.
Kebetulan di sekitaran situ sedang sepi. Jadi Liana bisa lebih mudah menajamkan indra pendengaran dan kepekaannya.
Sedetik saja Liana lengah hampir saja serangan kedua mengenai Liana. Ada tangan lagi, tidak salah lagi kalau itu memang perbuatan manusia. Tapi untuk apa dia menyerang Liana?
Liana POV
Aku bingung sekarang, aku benar-benar tidak mengerti situasi ini. Untuk apa orang ini menyerangku. Dan aku tidak tahu model serangannya seperti apa. Aku harus membagi konsentrasi menjadi dua. Pertama untuk menganalisa bentuk serangan orang itu, kedua untuk berjaga agar aku tak kecolongan diserang tangan-tangan aneh tersebut. Aku berlari, terus berlari menjauh, mencoba menghindari tempat sempit, dan tentunya tidak mepet ke dekat bangunan atau suatu benda. Aku berasumsi kalau tangan misterius itu bisa saja menangkapku ketika aku bersender atau mendekati dinding. Nampaknya tangan itu sudah tidak mengejarku. Aku berhenti, aku berlari lumayan jauh. Lalu aku meraup udara sebanyak-banyaknya. Biasanya aku tidak mudah merasa sesak setelah berlari. Apa karena aku sedang gugup? bisa saja karena itu.
Oke, aku sudah menjauhi tempat sempit dan dinding. Pastinya aku bisa mengetahui dari mana arah tangan itu kalau tangan-tangan itu mendekatiku lagi.
Tunggu, kesunyian ini terasa janggal. Seperti ada yang mendekat. Aku lebih waspada. Tetap berjalan pelan sambil melihat sekeliling. Tiba-tiba aku teringat, aku sedang berpijak di tanah. Iya, aku tidak terbang.
"Uwaaaaaaa." Aku terangkat dan terjatuh ke belakang. Dengan posisi tidak elit tentunya. Untung saja aku gadis yang tidak suka pakai rok.
Aku terjatuh karena kaki ku didorong dari belakang. Aku harus menyentuh tangan misterius itu agar tangan itu berubah jadi weapon, itulah kunci kekuatanku. Kebetulan tangan itu ada di sebelahku, aku menjangkaunya namun dia lebih cepat dariku. Tangan itu buru-buru melayang lagi.
Kesabaran ku sudah habis. Apa-apaan maksudnya itu? apa dia ingin mengerjaiku? tapi bicara soal itu, aku juga agak heran karena aku biasa saja melihat tangan melayang-layang tanpa tubuh begitu. Ya, jangan lupa kalau ini adalah dunia penuh hal-hal gaib.
Tunggu, dimana Isaura? tidak mungkin kan kalau dia diambil tangan misterius itu?
Aku jadi semakin pusing, keadaan sekarang begitu rancu. Aku mencari isaura di dalam tas, dalam kantung jaketku (kebetulan kantung di dalam jaketku cukup besar). Saat aku sedang lengah rupanya tangan itu mencoba membuka syal milikku dan untungnya berkat kekuatan magis Lyosha yang ada di syal itu, tangan itu langsung kepasanan dan melepuh.
"Argh! kenapa susah sekali sih untuk menyentuhnya?!" pekikku kesal. Tangan itu terlalu cepat pergerakannya. Padahal sedikit lagi aku bisa menggapainya.
Tangan itu tiba-tiba menghilang, aku terkejut. Tapi aku tetap waspada kalau-kalau itu hanya jebakan kalau aku lengah lagi. Tapi dia sempat menyentuh syal ku. Buat apa dia mengambil syal ku? pasti bukan syal ku yang dia incar. Sepertinya dia mengincar sesuaru yang ada di leherku. Atau jangan-jangan...tangan itu mengincar kalungku?
"Meong..."
"Isaura, astaga dari mana saja kau?"
Isaura tiba-tiba ada di belakang ku, aku sangat takut kalau dia diculik. Aku segera mengangkat Isaura dan berjalan pulang. Rupanya apa yang dibilang Alwhin dan Alphonso bukan sekedar kekhawatiran belaka. Benar-benar ada orang yang berniat tidak baik padaku. Aku terus fokus berjalan pulang. Tapi untuk sementara aku akan merahasiakan hal ini dulu. Aku tidak ingin membuat yang lainnya khawatir, lagi pula bisa saja orang itu memang ingin mengusili aku saja seperti orang-orang lain di sekitaran sini.
Liana POV end.
Isaura nampak senang, dia tersenyum. Nampaknya ia senang karena sudah melakukan sesuatu. Sebenarnya Liana lah di sini yang belum mengetahui suatu hubungan antara dia, kalungnya, Isaura, dan orang yang misterius tersebut.
"Argh! bangun orang payah!" hardik seorang pria sambil menendang tubuh orang yang sedang tersungkur di tanah.
"Sudahlah, dia terkena pengaruh ilmu magis. Dan salah kita telah membayar orang lemah dalam misi kali ini." Seorang pria lainnya menepuk pundak temannya tersebut.
Dua orang pria itu nampaknya bukan dari kalangan Orph, rambut berwarna hazel dan ikal. Lesung di dagunya (dagu belah) dengan jenggot pendek yang tipis. Matanya berwarna ungu pekat dengan alis yang tipis. Sulit mendeskripsikan berapa umur dari pria ini. Sedangkan temannya berkulit gelap dengan rambut panjang yang dikuncir ke belakang. alisnya tebal dengan iris mata berwarna cokelat. Tubuh mereka sama-sama tegap, tingginya lebih kurang 180 senti. Kalau dibilang muda, penampilan mereka seperti pria tua yang berumur tiga puluh tahun. Tapi kalau dibilang tua sebenarnya umur mereka baru saja menginjak dua puluh tahun.
"Orland, bukankah lebih baik kalau kita saja yang langsung mengambilnya?"
"Hahh, ini hanya main-main saja. Malah lebih bagus kalau dia terperangkap dulu di sana. Dan tuan kita juga sudah bergerak mendekatinya. Jadi bersabarlah dulu Port. Lagi pula aku hanya ingin memastikan kalau dia yang benar-benar memakai kalung itu," ujar Orland pada temannya. Rupanya temannya Orland itu bernama Port.
Orland dan Port bukanlah tokoh utama dari kejahatan di sini. Ada seseorang yang menjadi otak dari kejahatan ini. Dan kebetulan Liana sedang mendekati tokoh utama kejahatan tersebut. Ya bahkan Liana sangat senang apabila bisa mendekatinya. Semoga saja Liana bisa secepatnya tahu bahaya yang sedang mengincarnya nanti.