webnovel

Chapter 4: Fire and Ice

Sementara Naema bersiap-siap, kedua keluarga besar dari Genka dan Iska tengah rapih berbaris, dengan pemimpin mereka saling berhadapan satu dengan yang lainnya. Bendera merah dan sian berkibar-kibar, meronta-ronta di Angkasa, mengagungkan satu sama lain. Fannar dan Hakan lalu melangkahkan kaki kiri mereka, maju dari barisan, mewakili keluarga mereka.

Hakan menyeru pada Fannar dari depan barisan tentara api yang membara. "Sore ini adalah sore yang indah saudaraku, kita bertemu di pelarianmu meninggalkan kaum yang tersesat! Kini bersama kita hidup di bawah naungan Pohon Kehidupan dan berjanji setia untuk melindunginya." Rambut merahnya bergelora tertiup angin, sementara pakaian oranye rapih yang ia kenakan tak sedikitpun tergoyahkan olehnya.

Fannar membalas seruan Hakan, bersama rambut sian yang senantiasa menari, menyebarkan hawa sejuk di tengah panasnya Maksallatan, "Waktu telah berputar 18 tahun lamanya, dan takdir meminta kita tuk mempererat tali yang tak pernah tersambung sebelumnya, api dan es, dua hal yang tak mungkin bersatu layaknya hitam dan putih, namun sekarang keduanya kan bersama, membawa suhu sebagai putri mereka. Dan atas dasar itu, tunjukanlah wakilmu wahai api!" Bersamanya berbaris tentara berpakaian biru cerah dari negri yang terbalut es.

"Lihatlah! Dengan pakaian hitam ia berjalan di muka Bumi, bersamanya ia membawa api di ujung tombaknya dan Neraka mengalir di darahnya. Di sampingya takdir mengukir sejarah akan seorang penguasa, kebanggaan Sang Mentari, Amartya!"

Bocah api yang telah dewasa kini berjalan, berpakaikan kian rapih. Jas dan celananya hitam pekat, dasinya lembayung menggantung di leher, sepatunya gelap mengkilap, dan rambutnya tertata rapih dihiasi warna merah membara. Ia berdiri dibarisan terdepan para Genka, membawa tombak dengan api menyala di tangan kanannya. Seluruh Genka bersorak sembari menghentakkan senjata mereka, menyambut karismanya.

"Ahahaha, aku tak yakin mereka boleh bersorak di upacara adat, tapi karena ini pernikahan antar suku, tak apa lah." Hakan mengeluarkan tawa kecil, ia tak kuasa menahannya.

"Ayah, di mana DiVarri? Pernikahan ini tak akan bisa berjalan tanpa seorang penghulu, dan dia serta istirnya satu-satunya musisi yang belum datang." Amartya begitu gelisah, hingga terlihat keringatnya menguap dari sela jemari dan tombaknya.

"Dia kedatangan tamu tak di undang di perjalanannya. Tenang anakku, DiVarri tak pernah punya masalah dengan…"

"WAKTU" Suara lonceng seakan berdentang keras membayangi kata itu.

*

Di sisi lain, DiVarri tengah menikmati perjalanannya bersama Karissa, melewati perbatasan antara Ratmuju dan Maksallatan. Namun seperti apa yang dikatakan Hakan, mereka kedatangan tamu yang menyambut mereka.

"Selamat sore Profisa DiVarri, lama tak berjumpa."

Seorang pria dengan rambut dan bola mata berwarnakan violet hadir berdiri di hadapannya. Ia memakai sebuah baju formal yang kaku dengan lambang Provisa pada lengan kirinya. Di belakangnya ratusan penyihir dengan tubuh yang dirayapi sengatan listrik berjejer bersama tongkat-tongkat mereka. Aku bisa melihat badai seakan berkumpul di atas sana.

"Ah, Profisa Dyaus, jika dirimu tak keberatan aku sedang… buru-buru." Balas DiVarri yang sudah jelas tak senang dengan gangguan yang ia terima.

"Tak perlu sedingin itu padaku, DiVarri. Beginikah cara penghuni Surga menyambut kawan lama?" Tersenyum penyihir itu angkuh.

"Aku tak pernah menganggapmu sebagai teman, pendosa… sebut saja apa maumu, membawa satu batalyon hanya untuk menghadapku." Sesuatu yang gelap memancar dari DiVarri, moodnya terus memburuk semakin lama mereka berdiri di sana.

"Jahatnya…" Dyaus bisa merasakan ketakutan mulai merangkak di tubuhnya, namun raut wajahnya tetap tak tergoyah.

"Begini DiVarri, aku selalu bertanya-tanya soal dirimu, ketujuh kepala keluarga adalah raja dari satu hal, dan kamu, kamu bahkan tidak lebih kuat dari kepala keluarga Gloria."

"Aku…? Panggil saja aku Conductor, aku yang menyatukan dan memimpin setiap musisi di Ratmuju."

"Terdengar seperti jawaban orang lemah." Ia seakan ingin tertawa merendahkan DiVarri, tetapi tubuhnya terlalu takut untuk melakukannya.

"Jangan bercanda Dyaus, kita berdua tahu siapa yang lebih lemah di sini."

"HAHAHAHA!" Namun kini, tawa penyihir itu lepas begitu keras, petir pun menyambar ke tengah-tengah mereka.

"Bagaimana kalau kita buktikan, Conductor!" Dyaus seketika mengangkat tongkatnya tinggi ke Angkasa. Sayap violetnya terbentang lebar, memancarkan cahaya dan petir ke segala arah.

Seluruh penyihir listrik pun menyalakan sihir mereka, dan udara mulai terhiasi cahaya keunguan yang mengkilat.

"Huft… biar kuberitahu mengapa mereka memanggil diriku Conductor, Dyaus." DiVarri tetap berdiri tegak, tak terkesan dengan tantangan sang Profisa.

"Sudah terlambat untuk itu, DIVARRI!"

Ratusan petir dan misil serentak melesat, menghampiri DiVarri secepat kedipan mata.

♪ Largo! ♪

Mendadak seisi medan hampir tak bergerak, petir-petir dan misil sihir yang menerjang kini merambat layaknya seekor siput di jendela.

"Jawabannya, karena akulah yang mengatur waktu."

DiVarri melangkah perlahan melewati semua serangan yang tertuju ke arahnya, tentu dengan harapan tak ada yang mengotori pakaian hitamnya. Ia mendekati Profisa Dyaus, lalu mengeluarkan batonnya. Tongkat kecil itu ia todongkan ke dagu Dyaus, seraya menaikkan kepalanya.

"Dengarkan aku wahai pendosa!" Ia berbicara begitu lantang seakan ingin seisi Dunia untuk mendengarnya.

"Inilah perbedaan kekuatan antara kami Penguni Surga, dan kalian anak-anak busuk Neraka… aku bisa saja menusukkan tongkat ini ke lehermu detik ini juga!"

♪ Moderato! ♪

Sebuah lonceng hitam raksasa berdentang keras, suaranya seakan memecah udara menjadi kepingan kaca. Waktu pun kembali berjalan seperti sedia kala, tiap-tiap serangan yang tertuju pada DiVarri akhirnya meleset membentur tanah. Setiap penyihir listrik di sana terjatuh tersengal-sengal karena kesulitan bernafas ketika waktu kian melamban.

"Tapi aku tak akan melakukannya, ada orang yang lebih pantas untuk menebas lehermu ketimbang diriku."

"K-kau ini… a-apa-apaan…" Profisa Dyaus masih berusaha memulihkan nafasnya. Tangannya hendak menggapai DiVarri, tapi ia tak cukup kuat untuk menggerakkanya lebih lanjut.

"Ngomong-ngomong Dyaus, antara Indra dan Parjanya, siapa yang akan meneruskanmu sebagai Profisa?" Tanya DiVarri yang masih berdiri di depannya.

"Indra telah kehilangan kehormatannya… atau sekiranya itu lah yang ia kira, ia… ia tak mungkin menjadi seorang Profisa."

"Begitu…?" DiVarri memalingkan pandangannya dari makhluk yang terlihat begitu hina di matanya.

"Is it done, my love? We got a ceremony to attend to." Karissa yang seakan tidak peduli akan apa yang terjadi di hadapannya, memanggil DiVarri dari kejauhan.

"Ah, of course. It is indeed a disgrace for a Champion of Time to be late like this."

DiVarri dan Karissa kemudian pergi meninggalkan para penyihir listrik, menuju pernikahan Sang Penguasa.

*

Kembali ke Afaarit, Naema hampir selesai berdandan dan bersiap untuk mengambil perannya dalam pernikahan.

"Kamu sudah siap, Tuan Putri?" Nitara menyahut dari luar kamar riasnya.

"Tu-tu-tu-tunggu, sebentar lagi!" Naema berkicau panik dari balik pintu yang menutupi kehadirannya.

"Tenanglah, semua orang pasti merasa gugup di hari pernikahan mereka."

"Setidaknya orang-orang itu tahu kalau hari itu mereka akan menikah!" Nada tinggi yang ia keluarkan hampir membuat Nitara tertawa.

"Tenang… tenang, Tuan Putri. Ini seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupmu." Nitara membuka pintunya, menampakkan dirinya pada Naema yang masih sibuk berhias.

"Ya— ya, kamu mungkin benar soal itu…" Suaranya kembali memelan.

"Ayolah, dirimu terlihat begitu cantik dan mempesona, aku yakin Tuan Amartya akan sangat senang ketika melihatmu di upacara."

Hanya satu kata penting saja, dan semangat gadis itu tampak kembali bangkit.

"Kamu tahu Nitara? Mari! Mari kita jalankan upacaranya!" Ia mengepal telapak tangannya, seakan penuh determinasi.

"Begitu baru benar, sekarang masuklah ke dalam kamar mempelai wanita, Amartya akan datang ketika saatnya tiba."

Lalu pada sisi satunya, rombongan Amartya sudah hampir sampai ke rumah kecil tempat Inolatendo dan Naema berada, sembari membawa beberapa antaran berupa mas kawin, pangan dan sandang. Mereka siap menjemput Naema dan membawanya ke pelaminan.

"Perlu kau tahu, nak. Penjemputan ini agak berbeda dari biasanya, seharusnya yang menyambut kita nanti adalah keluarga mempelai wanita, tapi khusus untuk Naema…" Hakan berusaha menjelaskan di tengah langkah mereka.

"Aku harap gadis-gadis Inolatendo tidak melakukan hal aneh kepada anak itu." Amartya terlampau gugup, namun kegugupannya membuat dirinya terlihat begitu garang.

"Tentu saja tidak, kita menaruh kehormatan adat kita pada mereka, Naema akan baik-baik saja."

Mereka akhirnya sampai di rumah yang di maksud, salah seorang dari kalangan Amartya lalu mendatangi pintu rumah itu dan mengetuknya. Tiga kali ketuk hingga akhirnya seorang gadis Inolatendo membukakan pintu untuk mereka.

Wali Amartya dan si gadis Inolatendo pun melakukan percakapan yang aku sama sekali tidak mengerti mereka berbicara apa, sepertinya menggunakan bahasa suku Api, tapi intinya mereka memintakan izin untuk keluarga Amartya masuk dan mempersilahkan Amartya mendatangi mempelai wanita.

*Tok* *tok* *tok*

Amartya pun berjalan ke pintu kamar Naema dan mengetuknya. Namun karena panik dan bingung, Naema tak menghampiri panggilan tersebut selagi terdiam menggigil di dalamnya.

"???"

Pemuda yang sudah berdandan rapi itu bingung karena tak mendapat jawaban dari gadis di dalam. Ia pun kembali mengetuk kamar Naema.

*Tok* *tok* *tok*

Namun masih juga tak ada satupun jawaban yang keluar darinya.

Pihak keluarga dan Inolatendo mulai menarik perhatian mereka ke arah Amartya karena mempelai wanita tak kunjung keluar dari kamarnya. Amartya menjadi sedikit kesal dan mulai memperkeras ketukan pintunya.

*Tok!* *tok!* *tok!*

"Si Naema tahu gak sih kalo pintu diketuk itu harus di jawab!?" Si mempelai pria akhirnya menggerutu dengan mulut berapi-api.

Dan akhirnya, terdengarlah suara gagang pintu yang ditarik. Pintu pun terbuka, dan terlihatlah helaian rambut sian menutupi kulit putih yang tersipu malu bertabur rona. Gadis manis di hadapannya melihat ke arah Amartya yang kini jauh lebih tinggi darinya. Iris sian pekatnya menggemakan gemerlap yang kian berkaca-kaca. Sementara pupilnya menjadi begitu besar, Amartya bisa melihat bayangan dirinya pada mata sang Putri.

Gaun putih ia kenakan, menghiasi tubuh mungilnya dari leher hingga ujung kaki, diakhiri oleh sepatu putih terbuat dari kaca. Wajahnya terias dengan berbagai macam sari pati tanaman yang membuatnya tampak teramat gemilang bersama mata siannya. Rambutnya bergelombang namun tertata rapih dengan bunga lili tertancap padanya.

Amartya membeku tak mampu berkata-kata dengan mulutnya sedikit terbuka, aku tak pernah melihat wajahnya sedemikian merah sepanjang hayatku. Ia pun memberikan serangkai bunga pada Naema tanpa menggerakkan satupun urat wajahnya.

Bunga itu berjumlah 9 tangkai, 9 mekar dan 9 kuncup, bunga ini diberikan sebagai tanda kasih sayang dan penghormatan, sementara angka 9 memiliki arti tersendiri bagi Genka.

Naema menerima bunga itu dengan senyuman gugup yang terpampang begitu manisnya. Hatinya serasa teramat senang melihat reaksi Amartya saat pertama kali memandangnya setelah 6 tahun lamanya.

"Sial, dan mereka bilang seharusnya Genka tak memiliki nafsu di masa-masa ini." Isi pikiran Amartya tak sengaja terceplos dari mulutnya.

"Hah!? Maksudnya bagaimana!?" Naema seketika matang mendengar ucapan pemuda itu.

"Jalankan saja upacaranya, Tuan Putri."

Setelahnya kedua keluarga menikmati jamuan yang disajikan oleh Inolatendo. Mereka kemudian bersiap-siap untuk beranjak menuju Panggung Istana yang sudah dipersiapkan untuk upacara pernikahan kedua mempelai.

ตอนถัดไป