webnovel

Bab 16

"Kak, Ken," panggilnya dengan suara lirih.

"Kamu butuh sesuatu?" tanya Kenan menatap serius Qia.

Qia menggelengkan kepalanya pertanda tidak. Ia masih terus memandangi Kenan membuat sang empunya merasa risih. "Ada apa, kamu perlu sesuatu?" tanyanya lagi karena sudah risih di tatap terus oleh Qia.

"Makasih, Kak," ucapnya dengan suara lirih.

"Untuk apa?" tanyanya bingung.

"Udah nemenin aku, walau di sekolah Kakak sering cuek sama aku," ucapnya kemudian ia pun tersenyum.

Kenan tersenyum paksa, kemudian ia mengangkat tangan Qia dan mencium punggung tangannya membuat Qia tersenyum.

Emosi Qia yang naik turun membuat Kenan sudah beberapa hari ini tidak masuk kerja. Ketika Qia bangun ia kembali mencoba untuk bunuh diri, membuat Kenan mau tidak mau selalu ada untuk Qia supaya ia tidak terus-terusan mencoba untuk bunuh diri.

Empat hari sudah ia berada di rumah sakit tanpa pulang ke rumah atau appartement. Bahkan ia tidak mempedulikan Raka yang terus menghubunginya. Ia sudah meminta sekretarisnya untuk membatalkan semua jadwal yang sudah di siapkan sampai batas waktu yang tidak bisa di tentukan.

Saat ini Kenan sedang menyuapi Qia makan. Qia terus menatap ke arah dirinya dengan senyuman manisnya. "Jangan di lihat terus, aku enggak akan kemana-mana?"

"Seharusnya kakak sudah berangkat ke Jerman, tapi karena aku yang cengeng ini, Kakak harus menunda keberangkatannya."

"Habisin makan, kamu, hum," ucap Kenan yang kembali menyuapi Qia ia sengaja tidak mau menanggapi perkataan Qia. Dengan semangat ia membuka mulutnya dan memakan makanannya. Selesai makan, Qia pun meminum obat. Ia pun mulai mengantuk dan akhirnya tertidur.

Kenan bangun dari duduknya ia berjalan ke arah sofa kemudian mengambil pakaian baru dan pergi ke kamar mandi. Qia sudah di pindahkan ke ruangan VIP sehingga tidak ada orang lain di sana, selain itu juga kamar mandi ada di dalam ruangan.

Ia berjalan ke luar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah. Ia duduk di sofa dan meletakkan handukknya di sandaran sofa. Ia membuka rantang yang di bawakan supir kakeknya. Hanya asisten rumah tangga dan supir kakeknya saja yang mengetahui keberadaannya saat ini.

Ia mulai menyantap sarapan paginya, setelah selasai sarapan ia memilih membuka e-mail yang di kirim sekretarisnya. Ia memang meminta semua jadwalnya di atur ulang tapi tidak dengan surat-surat atau dokument yang harus ia tanda tangani. Selesai membaca semua e-mail ia pun melihat tubuh Qia yang mulai menggeliat, dengan cepat ia segara bangun dan menghampiri Qia. Ia menggenggam satu tangan Qia sambil duduk di kursi sebelah tempat tidur Qia. Kaki Kenan pun sudah bisa berjalan tanpa kruk lagi, karena keseleonya tidak begitu parah.

"Kak," panggil Qia dengan suara lirihnya.

"Iya, kenapa?" tanya begitu lembut.

"Mama, Papa dan Kak Nathan meninggal. Semua ... " ucapan Qia terhenti saat jari telunjuk Kenan menutup bibirnya.

"Udah, ya, jangan salahin diri kamu. Ini semua udah takdirnya," ucap Kenan kemudian mengusap lembut kepala Qia.

Qia memejamkan matanya, setetes air mata terjatuh dari sudut matanya dan suara isak tangisnya mulai terdengar. Kenan berdiri kemudian ia sedikit mengangkat bahu Qia dan memeluknya. "Udah, jangan nagis, hum. Aku enggak suka melihat wanita yang menjadi kekasihku menangis," ucap Kenan sambil mengusap-usap pundak Qia. Qia masih menangis dan Kenan hanya memeluknya sambil mengusap-usap pundaknya.

Saat ini ingatan Qia hanya sampai di kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa keluarganya. Dia tidak ingat jika tahun-tahun sudah berlalu dan kini ia hanya hidup sebatang kara. Dari data medis yang di terima oleh rumah sakit, keadaan Qia memang sudah membaik, hanya saja hal-hal yang sangat memicu kenangan masalalu akan membuat dirinya seperti ini. Trauma berat menyebabkan ingatannya terganggu.

Qia sudah jauh lebih tenang, Kenan mengambil kursi roda dan mengajak jalan-jalan Qia. Sepanjang perjalanan menyusuri lorong rumah sakit tidak ada pembicaraan di antara mereka. Kenan mengajak Qia ke taman rumah sakit. Di sana banyak orang yang sedang menikmati semilir angin di bawah pohon. Ada beberapa anak yang sedang bermain bahkan beberapa dari mereka memakai pakaian rumah sakit.

"Mau bermain bersama mereka?" tanya Kenan yang berjongkok di samping kursi Qia.

Qia langsung menatap Kenan dengan pandangan tidak percaya. "Ada apa?" tanya Kenan karena merasa ada yang salah dengan ucapannya hingga Qia menatapnya seperti itu.

"Bukankah Kak Ken membenci anak kecil?" tanya Qia dengan raut wajah tidak terbaca.

Kenan tersenyum kikuk, bahkan ingatan Qia masih sangat baik tentang dirinya yang tidak menyukai anak kecil. Ia meraih ke dua tangan Qia kemudian mengecupnya, "Kalau kamu mau, aku tidak masalah," ucapnya seraya tersenyum.

Qia pun ikut tersenyum, ia berdiri dan duduk di kursi taman. "Sini, kak," ucap Qia sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya.

Kenan berdiri dari jongkoknya kemudian ia duduk di sebelah Qia. "Boleh aku bersandar di lengan kakak?" tanyanya tersenyum lembut pada Kenan.

"Hum," jawab Kenan singkat. Qia memeluk lengan Kenan dengan ke dua tangannya kemudian ia menyandarkan kepalanya di lengan Kenan. Ia menatap anak-anak yang sedang bermain di taman itu dengan ceria. Bahkan anak yang memakai pakaian rumah sakit itu senyumannya begitu lebar.

Satu tangan Kenan memeluk pundak Qia sambil menepuk-nepuknya. Qia hanya diam saja tanpa ada perkataan lagi. Mereka berdua kini sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing.

Hari-hari berlalu Qia sudah di perbolehkan pulang ke rumah. Ingatan Qia masih belum pulih. Kenan membawa Qia ke appartement miliknya, hanya ini satu-satunya tempat yang dia pikirkan. Ia tidak mungkin membiarkan Qia tinggal di kontrakannya sampai ke adaan Qia benar-benar pulih.

"Ini appartement siapa, Kak?" tanyanya sambil menatap keseluruh ruangan.

"Milikku," jawab Kenan sambil membawa beberapa barang Qia dan ia letakkan di kamar yang sudah ia siapkan untuk Qia.

Qia mengikuti Kenan dari belakang. "Apa aku akan tinggal di sini? Kenapa tidak tinggal di rumah orang tuaku saja, Kak?" tanyanya sambil melihat suasana kamar yang ia masuki.

"Aku tidak mau jauh dari kamu, jadi mulai hari ini kita akan tinggal bersama," jawab Qia.

"Kita belum menikah. Selain itu, bukankah kakak harus pergi kuliah ke Jerman?" tanya Qia.

Kenan membalikkan tubuhnya untuk menatap Qia yang menatapnya dengan tatapan polos. Rasanya ia ingin berteriak pada Qia jika semua kejadian yang ia alami sudah terjadi beberapa tahun lalu. Sayang, lidahnya keluh tidak sanggup untuk mengatakannya. "Aku kuliah di Indonesia," jawabnya pada akhirnya.

"Karena aku ya, Kak? Maaf," lirih Qia dan menundukkan kepalanya."

"Ini kemauanku, jadi jangan meminta maaf," ucap Kenan yang sudah berdiri di hadapan Qia. Ia memegang ke dua pundak Qia membuat sang empunya kini mendongak untuk menatapnya.

"Jangan menjadi lemah dan cengeng, aku tidak meyukainya!" tegasnya menatap serius Qia.

"Iya," jawab Qia susah payah.

Kenan tersenyum, kemudian jari telunjuknya mengangkat dagu Qia. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Hanya saja ia tergiur dengan bibir pucat milik Qia. Saat bibirnya akan menyentuh bibir Qia dengan cepat Qia mendorong tubuhnya.

"Enggak boleh, Kak. Apa kakak lupa, almarhum kak Nathan pernah menghajar Kakak?" tanya Qia serius tetapi entah kenapa tatapan Qia terlihat lucu di matanya.

Kenan tersenyum, senyum yang menjadi tawa yang begitu besar hingga suaranya memenuhi kamar itu. Qia hanya menatap bingung kekakasihnya itu. Apa ada yang salah pada perkataannya, karena memang itu terjadi pada Kenan.

Saat itu Aurora sedang memarahinya di belakang sekolah dengan alasan jika kehadirannya itu sangat menganggu Kenan. Menurut mereka Kenan berubah semenjak bersama dirinya dan Kenan hampir saja tidak menjadi juara, itu semua menurut mereka karena Qia. Kenan tiba-tiba saja datang menolongnya, saat itulah Kenan yang tidak terlalu suka berdebat dengan masalah-masalah tidak jelas malah mencium Qia. Hanya sebentar tapi dapat membungkam semua wanita yang ada di sana termasuk Qia yang langsung terdiam seperti patung.

Nathan yang tahu adiknya sedang di ganggu langsung menemui adiknya. Tapi, sampai di tempat adiknya berada, ia malah melihat Kenan sedang mencium adiknya. Nathan semakin marah dan ia pun segera menghajar Kenan. Jika tidak di hentikan teman-temannya juga adiknya mungkin Kenan bisa masuk rumah sakit.

Next chapter