"Yakin kamu mau pulang? Nggak mau lanjut pegang perusahaan ini?" tanya Prasetyo pada anak sulungnya.
"Yakin Pa, udah nggak tahan nih di sini. Meeting Mulu!" dumel Bara sambil mengendorkan dasinya.
"Gimana sih Bar? Kamu kan calon pemilik perusahaan ini!"
"Kan baru calon, Pah. Kemarin dua Minggu sudah belajar kan?"
Pras hanya menggeleng perlahan, sungguh ia tidak mengerti jalan pikiran Bara. Kenapa ia selalu keras kepala seperti ini?
"Tok ... tok ... tok ..."
"Masuk!" teriak Pras sambil membetulkan jas nya.
"Mohon maaf, Bapak. Ini ada undangan meeting." Nisrina masuk sambil membawa sebuah amplop.
"Nah kan meeting lagi!" gerutu Bara kesal.
"Hanifa mana, kenapa jadi kamu yang urus hal seperti ini, Nis?" tanya Pras sambil menyobek amplop itu.
"Dia mengundurkan diri, Pak. Sudah seminggu ini." jawab Nisrina sambil menunduk.
"Baru dua Minggu pegang perusahaan, sekretaris pribadi sampai mundur, kamu apakan dia, Bara?" desis Pras sambil geleng-geleng kepala.
'Aku apakan? Sudah aku tiduri berkali-kali, Pah. Dan ia malah memilih pergi daripada aku nikahi.' guman Bara dalam hati sambil mendengus.
"Pah aku mau balik Madiun, kedaiku sudah lama aku tinggal." guman Bara setengah merajuk.
"Berapa harga semua kedaimu itu? Papa beli!" tanya Pras kesal.
"Kedaiku tidak dijual Pah, yang dijual hidangannya." jawab Bara santai.
Pras hanya menghela nafas panjang, ia pun tidak banyak lagi berkata-kata ketika sosok itu kemudian bangkit dan melangkah keluar dari ruangan itu.
***
Bara langsung pulang ke Tari, ia tidak pulang kerumahnya sendiri. Rasanya pulang ke sini lebih menenangkan paska ia ditinggal untuk kedua kalinya.
"Assalamualaikum ...."
"Waalaikumsalam ...." Tari muncul, ia tampak terkejut dengan kehadiran Bara setelah beberapa Minggu Bara tidak nampak.
"Dari mana saja kenapa baru nampak, Bar?" Tari mengulurkan tangannya, membiarkan cucu kesayangannya itu mencium punggung tangannya.
"Disuruh pegang perusahaan yang di Jogja, Oma." guman Bara lalu melangkah ke dalam.
"Syukurlah kalau begitu, Oma sangat khawatir dengan kondisimu." Bara habis ditinggal menikah secara dadakan oleh pacarnya, bagaimana Tari tidak khawatir coba?
"Apa yang Oma khawatirkan? Bara baik-baik saja, Oma." Bara membaringkan tubuhnya di sofa.
"Bara, ingat Oma Sri?" tanya Tari ketika ia kemudian duduk di samping kepala Bara yang sedang berbaring itu.
"Ingat, yang Oma sering minta Bara antar ke sana bukan?" tebak Bara sambil membuka matanya.
"Betul! Cucunya baru saja selesai pendidikan dokter, cantik lagi. Kamu mau nggak semisal ...."
"Nggak mau, Bara nggak mau!" Bara buru-buru memotong pembicaraan Tari.
"Dia cantik, dokter, dan baik, apa salahnya sih?" Tari benar-benar kesal, hanya karena Kirana sampai-sampai Bara seperti ini!
"Bara belum mau serius sama cewek dulu, Oma!" desah Bara lirih.
"Setidaknya kenalan dulu, dijamin kamu pasti suka!" bujuk Tari tak mau menyerah.
"Tapi Oma ...."
"Namanya Nindi, lulusan fakultas kedokteran UNS, dia sudah balik ke Madiun, besok kamu kesana, kenalan dulu!" perintah Tari tidak mau di bantah.
"Oma, tapi ...."
"Oma tidak mau dibantah, Bara!"
Bara mendengus kesal. Apaan sih sudah moderen kok masih main jodoh-jodohan? Apa karena Bara ditinggal nikah kemudian ia masuk dalam kategori tidak laku? Tapi ia ditinggal nikah karena pacarnya tergoda titel calon mertuanya, presiden! Bukan karena Bara tidak potensial, benar bukan?
"Pokoknya besok kamu harus kesana ya, jangan lupa!" teriak Tari ketika Bara hendak masuk ke dalam kamarnya.
"Iya ... iya ... besok Bara kesana!"
***
"Oma sangat berharap kamu bisa cocok sama Nindi, Bar!" guman Tari ketika ia makan malam berdua dengan Bara.
"Bara belum bisa secepat ini memutuskan untuk dekat sama wanita lagi, Oma. Bara butuh waktu."
"Iya, Oma mengerti, setidaknya kamu sambil PDKT dulu juga sama Nindi, kebetulan dia juga masih sendiri."
"Katanya cantik, kok jomblo?" tanya Bara sambil mencibir.
"Kamu pikir sekolah kedokteran bisa disambi main-main? Sekolah mereka susah, jadi fokus pada kuliah nggak mikir pacaran."
"Halah alibi, jangan-jangan orangnya jelek lagi!" Bara memanyunkan bibirnya.
"Hust! Lihat dulu besok orangnya! Jangan. asal menilai sebelum lihat orangnya." Tari mencubit gemas lengan kekar Bara.
"Iya-iya, tapi Bara pokoknya nggak janji apa-apa lho ya, jadi jangan terlalu banyak berharap sama Bara." Bara masih benar-benar belum mau membuka hati, apalagi setelah kemarin Hanifa pergi.
Tari menghela nafas panjang, ia hanya mengangguk pelan sambil menatap iba cucunya itu. Kurang apa sih Bara di mata Kirana itu? Apa karena anaknya, Pras bukan presiden? Dasar perempuan gila pangkat!
"Besok Oma ikut kesana?" tanya Bara seraya meneguk air dalam gelasnya.
"Ikut kemana?" Tari mengerutkan dahinya.
"Kerumah Oma Sri dong, katanya besok Bara suruh kesana." Bara memutar bola matanya dengan sebal, gimana sih, masa gitu aja sudah lupa?
"Kamu kesana sendiri nggak berani memangnya?" Tari menatap lekat mata Bara.
"Jadi Bara harus kesana sendiri?" Bara melotot tidak percaya.
"Iyalah, yang mau kenalan kan kamu, bukan Oma." jawab Tari santai.
"Okelah oke, besok Bara kesana!" guman Bara lalu bangkit dan melangkah ke kamarnya.
Nindi, nama gadis itu Nindi? Lulusan fakultas kedokteran. Keren juga sih, pasti sosoknya cerdas dan berwawasan luas. Tapi yakin memang dia mau sama Bara yang cuma bakul kopi? Secara dia dokter! Kirana yang cuma sarjana ekonomi saja ngacir pergi, apalagi dia yang dokter.
Bara sontak tersenyum kecut. Sampai kapan ia hanya akan ditinggalkan terus? Sudah dua kali ini. Dan rasanya bikin dadanya sesak!
Bara memeluk gulingnya, ia berusaha memejamkan matanya. Besok ia harus mewujudkan permintaan Omanya untuk menemui gadis itu.
***
Pagi ini Bara sudah siap dengan kemeja dan celana jeans-nya. Meskipun tidak berharap dengan perjodohan ini, ia tidak mau datang dengan penampilan asal-asalan. Karena bagi Bara penampilan adalah cerminan dirinya.
"Kamu nggak bawa apa-apa gitu?" tanya Tari ketika melihat Bara sudah begitu siap dan rapi.
"Nanti Bara mampir lah, bawa apa gitu." guman Bara lalu mencium tangan Tari.
"Sukses ya!" guman Tari sambil tersenyum.
"Kayak mau apa aja lho, Bara jalan dulu, Oma!"
"Iya hati-hati!" guman Tari sambil tersenyum menatap kepergian cucunya itu. Ia sangat berharap bahwa mereka saling cocok. Siapa sih yang nggak mau punya cucu menantu seorang dokter?