Hanifa melangkah menuruni apartmen itu, ia sudah rapi dengan celana jeans dan blouse kuningnya. Tak lupa ia memakai masker, Hanifa tidak mau ada yang mengenalinya ketika ia pergi ke apotik dan membeli barang-barang itu.
Hanifa tidak berani mengangkat telepon dari Regina, Silfi, dan Nisrina. Mereka pasti bertanya-tanya kenapa hari ini dia kembali tidak masuk. Ahh ... lelaki satu itu merusak semuanya!
Hanifa dengan santai melangkah ke apotek yang berada tidak jauh dari apartemen Bara. Ia bergegas masuk ke dalam, dan mencari barang yang ia cari di apotek itu.
"Mbak, punya testpack?" tanya Hanifa pada petugas apotik itu.
"Ada Mbak, mau berapa?"
"Lima sekalian deh." guman Hanifa lalu membuka tasnya. Ujung matanya menangkap sesuatu yang ada di rak dalam apotek itu, ia bergegas melangkah lalu memilah-milah benda itu.
Ia hampir tertawa membaca box yang berjejer disana, untung ia pakai masker, jadi tidak masalah ia berdiri lama-lama disana sambil memegang box itu. Setelah menentukan box mana yang akan ia beli, ia membawa box itu kepada petugas yang sudah menunggunya balik etalase
"Sama ini, Mbak!" ujar Hanifa sambil menyodorkan uangnya.
Rasanya Hanifa ingin segera kembali ke apartemen untuk mengetes urinnya, semoga saja perbuatan Bara tidak membuahkan hasil di rahimnya! Hanifa bergegas memasukkan plastik itu ke dalam tasnya, lalu melangkah pergi setelah menerima uang kembalian itu.
Bagaimana kalau ia terlanjur hamil? Siapkah ia menikah dengan sosok yang belum lama ia kenal itu? Belum lama kenal tapi sudah menidurinya! Astaga, apa-apaan ini? Ia merasa hidupnya terlalu gokil, terlalu edan.
Hanifa kembali naik ke apartmen Bara, setelah masuk ke dalam, ia bergegas melangkah ke kamar mandi, dengan membawa satu buah testpack yang tadi ia beli.
Tangannya bergetar ketika sudah memegang benda itu, hanya perlu membasahi ujungnya dengan urin, maka hasil sudah terlihat! Ahh ... jantungnya berdegup kencang, sangat kencang. Apa hasilnya?
Semenit
Dua menit
Dan tidak ada garis yang muncul! Artinya negatif! Akhirnya ... ia tidak hamil! Setelah ini ia harus benar-benar hati-hati! Dan ia sudah mempersiapkan apa yang akan ia lakukan.
Hanifa membuang testpack itu ke tempat sampah, lalu melangkah keluar dari kamar mandi. Perutnya sedikit lapar, ia bergegas melangkah ke dapur. Ia terkejut ketika membuka kulkas, sejak kapan isinya sebegitu penuh? Freezer pun penuh makanan beku, buah dan semuanya lengkap.
Hanifa merah sebuah apel, masa bodohlan mau dari mana, ia bergegas melangkah ke depan TV. Mumpung bosnya itu belum pulang, sepertinya santai sejenak tidak ada salahnya. Karena Hanifa berani taruhan, ketika ia pulang nanti maka ia akan habis dilumat seperti hari-hari sebelumnya. Dasar mesum!
Hanifa menyalakan televisi, hingga kemudian matanya tertegun pada sebuah bingkai foto yang tergeletak di bawah meja. Ia bergegas mengambil benda itu, dan tersentak ketika melihat foto siapa yang ada disana. Foto itu foto Bara dengan seorang wanita, dan wanita itu ....
Hanifa berharap ia salah lihat, namun tidak! Benar wanita itu adalah dia! Siapa lagi kalau bukan Kirana. Gadis yang dinikahi Yusrizal, putra bungsu presiden negara ini. Apa hubungan mereka berdua? Saudara, atau jangan-jangan ....
Hanifa bergegas meletakkan kembali bingkai itu ketika ia mendengar suara pintu tubuh di buka.
"Sayang, kau sudah makan?" hanya Bara sambil meletakkan plastik putih itu di meja depan TV.
"Belum, Mas sudah makan?" tanya Hanifa yang berusaha membuang jauh-jauh pertanyaan yang tadi memenuhi kepalanya.
"Belum, makanya aku pulang, mau mengajak mu makan." jawabnya sambil membuka plastik itu.
"Mas, aku masih pengen kerja." guman Hanifa ketika ia teringat surat yang tadi ditinggalkan Bara di dekat bantalnya.
"Wah, udah terlanjur aku bikinkan surat pengunduran diri padahal." jawab Bara enteng, ia membuka kotak Styrofoam itu.
"Mas ... kok nggak bilang-bilang dulu sih!" Hanifa benar-benar gemas dengan laki-laki itu.
"Ngapain sih, udah dirumah aja. Kalau sudah punya anak nanti juga sibuk." jawabnya sambil menyuapkan mie itu ke dalam mulutnya.
"Sudah pengen punya anak?" tanya Hanifa tak percaya.
"Kamu gimana? Kan harus sepersetujuan kamu juga yang hamil."
Hanifa benar-benar tidak mengerti dengan laki-laki itu. Kenapa bisa sesantai ini sih? Astaga!
"Kita belum menikah!" Hanifa mendengus, sebenarnya laki-laki ini kenapa?
"Kamu ku ajak nikah nggak jawab sih, mau kapan? Besok pun oke kok aku."
Hanifa menggebuk lengan laki-laki itu dengan kesal. Bisa-bisa nya sih ia sesantai ini? Bagas nikahan lho! Astaga, itu makin membuat Hanifa tidak yakin dengan laki-laki itu.
"Kenapa sih Sayang? Kamu mau membunuhku?" Bara terbatuk-batuk sejenak, lalu meraih cup es tehnya.
"Aku serius!"
"Sejak kemarin aku sudah bilang bahwa aku juga serius, Han!" Bara menatap Hanifa lekat-lekat. "Kenapa sih kamu selalu bertanya tentang hal itu?"
"Kamu tidak menyakinkan, Mas!"
"Dimana letak tidak meyakinkan ku?" Bara meletakkan kotak Styrofoam miliknya, lalu menatap Hanifa lekat-lekat.
"Kamu terlalu santai, seolah semuanya hanya main-main."
"Main-main kah aku kalau sudah sampai meniduri wanita?"
"Mana kutahu? Siapa saja, berapa saja wanita yang kamu tiduri kan aku tidak tahu." jawab Hanifa ketus.
"Seumur hidupku baru dua. Kamu yang kedua." jawabnya lalu kembali menyuapkan mie nya.
"Siapa yang pertama?" sungguh Hanifa penasaran, apakah gadis itu?
"Sudahlah, jangan dibahas. Yang jelas sekarang aku cuma mau kamu!"
"Secepat ini?" Hanifa benar-benar tidak bisa secepatnya percaya.
"Lantas mau bagaimana? Kamu mau cuma aku tiduri selama bertahun-tahun tanpa aku nikahi gitu?" Bara sudah tampak kesal.
"Bukan ... maksudku ...."
Bara meletakkan kotaknya, lalu menyenderkan tubuh itu di sofa. Hanifa yang mendapat serangan mendadak itu sontak terkejut, ia bahkan belum menyentuh makanan yang Bara bawakan, dan sekarang ia harus parah dimakan laki-laki itu?
"Mas, mau ngapain?" ia mencoba mendorong tubuh itu.
"Membuatmu mau aku nikahi." jawabnya dengan nafas memburu.
"Maksudnya? Mas ... lepas ih!" Hanifa masih berusaha melepaskan diri.
"Ya mungkin aku harus membuatmu hamil lebih dulu supaya mau aku nikahi!" Bara terus menindih tubuh itu.
"Mas ... tunggu dulu ... Mas ...." suara Hanifa kemudian terbungkam ketika bibir Bara mengulum bibirnya, Hanifa masih mencoba melawan, namun tangan Bara begitu kuat mencengkeram kedua tangannya.
"Jangan di sini!" pekik Hanifa ketika Bara sudah memulai permainannya.
Namun sayang Bara tidak peduli, ia tidak peduli lagi dimana mereka sekarang. Yang Bara pedulikan hanyalah bagaimana caranya supaya gadis itu mengatakan ya!
"Mas ...." Hanifa masih belum menyerah, kenapa sih laki-laki ini sebrutal ini?
Nafasnya mulai tersengal-sengal, Bara sama sekali tidak mengizinkan ia melawan. Ia melakukannya dengan cepat, dan ketika desahan panjang itu sudah keluar dari mulutnya, Hanifa masih mencoba melawan agar ia tidak menumpahkan cairan itu dalam rahimnya, namun sayang ia tidak bisa berbuat apa-apa. Desahan itu berubah jadi erangan panjang, dan sedetik kemudian cairan hangat itu sudah memenuhi rahimnya.
"Massssss ...." pekik Hanifa kesal, pria itu tetap tidak peduli, ia malah menjatuhkan tubuhnya diatas tubuh Hanifa. Rasanya begitu panas, lengket, karena tubuh mereka bersimbah peluh.
"Aku sayang kamu, Han."