webnovel

Merantau

Masih terngiang di telinga anak muda itu, hinaan dan makian yang diberikan Pak Marwan kepadanya dan Ibunya.

Kejadian yang tidak mudah untuk melupakannya, sehingga membuat tidurnya tidak nyenyak malam itu.

Keesokan harinya dia dekati Ibunya yang tengah menjahit kain sarungnya yang sobek, "Emak, sudah dua bulan lamanya saya menamatkan kitab saya di pesantren, ingin rasanya saya merantau keluar daerah untuk mengajarkan ilmu yang saya dapatkan di pondok,"kata Ahmad pelan.

"Hendak kemana rencananya kamu pergi nak, " jawab Buk Fatimah sambil melihat ke arah putranya.

"Saya mau mengadu nasib ke Kota Medan, kabarnya banyak di sana para alumni yang dapat menjadi tempat saya menumpang untuk sementara waktu, sebelum mendapatkan pekerjaan," jawab pemuda itu.

Ibu Fatimah termenung sejenak, dia takut kalau-kalau anaknya sengsara dan tidak makan di Kota Metropolitan itu, tetapi melihat kesungguhan yang dimiliki putranya, dia tidak sampai hati untuk mematahkan keinginannya, ditambah lagi dengan keperihan hati anaknya itu ketika diusir paksa oleh Bapak dari orang yang sangat ia cintai.

Seolah-olah dia tidak rela terhadap ucapan laki-laki berbadan tegap yang mengatakan kalau"Penghafal Al Qur'an itu tidak akan bisa menjadi orang kaya, dan hidupnya selalu melarat. "

Sebuah ucapan yang membuat dirinya sangat terpukul dan bangkit dari kesedihan yang menerpa.

"Nak, Ayah dan Emak sudah tua serta tidak memiliki apa-apa, alangkah baiknya kalau kamu mencari kerja disini saja, tidak usah memikirkan untuk kuliah, kamu kan bisa mengajar mengaji di rumah Kiyai Kholid tempat kamu mengaji dulu waktu masih kecil.

Dan beliau pun pernah berpesan kepada Emak agar kamu sudi kiranya membantunya mengajar, karena murid-muridnya sudah sangat banyak, sehingga kiyai itu kewalahan untuk mengajar sendirian."

"Maaf Mak, hati saya berkata bahwa saya harus melangkahkan kaki saya untuk merantau ke Medan,"jawab Ahmad meyakinkan.

"Baiklah nak, kalau memang sudah begitu keputusanmu, tetapi Emak hanya punya uang 160.000 rupiah, itupun uang yang sudah Emak kumpulkan selama tiga bulan ini nak,"sambil mengambil uang yang disimpannya di dalam sarung bantal.

" Ahmad,"panggil Ayahnya dengan melambaikan tangan.

"Ia Ayah," jawab Ahmad sembari menuju ke pembaringan lelaki tua itu.

"Ini adalah harta satu-satunya yang kita miliki nak, tolong dijaga baik-baik ya...!

Manakala kamu terdesak tidak ada lagi uang untuk makan, jual lah bara g ini untuk tuk menambah biaya mu di sana.

Kata pria paruh baya itu seraya mengulurkan tangannya memberikan sebuah arloji kepada putranya.

" Terimakasih Ayah,"jawab Ahmad sambil menangis melihat mata Bapak tua itu yang semakin hari semakin cekung saja karena menahankan penyakitnya.

Serasa tersapu siang itu menggantikan malam, bintang-bintang terang bertaburan di langit gelap, ditemani oleh sang rembulan sehingga menjadikan suasana malam itu semakin ramai.

Ahmad yang ditemani Ibunya segera bergegas ke tepi jalan untuk menunggu Bus"ALS"(Antar Lintas Sumatera) yang menuju ke Medan.

Untuk menghemat biaya, anak muda itu tidak berangkat dari loket, dia hanya menunggu bus di tepi jalan agar uangnya bersisa untuk biaya makan agak 3 hari di sana, karena ongkos dari Padang Sidempuan ke Kota Medan 80.000 rupiah.

Di tengah jalan Ahmad berhenti sejenak melihat rumah mewah berpagar hitam itu, untuk melihat kekasihnya agak sedetik pun jadilah, namun rumah itu kelihatannya sepi karena lampu terasnya tidak menyala.

Akhirnya pemuda itu melanjutkan langkahnya, sekali-kali dia melihat ke belakang dengan pengharapan bahwa kekasihnya ikut mengantarkannya.

Setelah sampai di pinggir jalan, Ahmad kelihatan gelisah, entah apa yang ada dalam benaknya ketika itu, Latifah ataukah mobil yang dia tunggu.

Tak lama berselang waktu terdengar lah suara wanita cantik yang berdiri di belakangnya,"Ahmad...!

Suara lembut itu memanggil namanya.

"Ifah, kamulah itu...?

Jawabnya sambil menoleh ke belakang, " Ia, ini aku Ifah kekasihmu, "jawab wanita berjilbab itu.

" Apakah kamu akan pergi malam ini, meninggalkanku dalam kesendirian? "lanjut Latifah.

" Ia kekasihku, aku akan pergi agak setahun, dua tahun, bahkan lebih sampai aku berhasil untuk mengangkat harga diri keluargaku.

Aku tak kuat melihat terlalu banyak air mata seorang ibu tercurah karena memikirkan peliknya hidup.

Aku tidak sanggup memikirkan kondisi seperti itu, sementara aku sebagai anaknya hanya berada di sampingnya dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk meringankan bebannya."Jelas Ahmad dengan wajah sedih.

"Sungguh mulia benar hatimu kekasihku, semoga Allah memberikan kemudahan dalam perjalananmu dan dapat meraih cita-citamu.

Malam sudah semakin larut, mungkin saya tidak bisa mengantarkanmu sampai ke tujuan, namun saya yakin bahwa hatiku selalu kamu bawa kemanapun dikau pergi, bawalah ini sebagai temanmu dikala duka, dan obat bagimu di kala sakit.

Kata gadis cantik itu sambil memberikan sepucuk surat dan sebuah photo kepada kekasihnya.

Kemudian melangkah menuju ke wanita tua dan menyalaminya barulah ia beranjak pulang meninggalkan kekasihnya.

Tak berapa lama kemudian lewatlah sebuah bus berwarna hijau bertuliskan" ALS".

"Medan..., Medan..., Medan....

Kata stokarnya sambil berhenti di depan Ahmad.

" Saya pergi dulu ya Mak, jaga kesehatan dan jangan selalu bersedih hati, sampaikan kirim salam saya kepada Ayah,"kata Ahmad.

"Ia nak, kamu juga hati-hati di jalan, jangan pernah merasa sendiri disaat kamu tidak punya apa-apa dan siapa-siapa, ingatlah bahwa kita punya " Allah... Nak..., "kita punya Allah..."

Jawab Buk Fatimah dengan bercucuran air mata sambil melepaskan rangkulan anaknya.

"Pergilah...!

Gapai cita-citamu doa Emak senantiasa menyertai dan mengiringi langkahmu. "

Kemudian anak muda itu naik ke mobil dan mengambil tempat duduk di bangku nomor 16, sebelah kiri sopir.

Mobil pun mulai berjalan meninggalkan seorang Ibu yang terus melambaikan tangan kepada anaknya.

Di dalam bus itu Ahmad tidak dapat memejamkan matanya, resah dan gelisah menghampirinya, entah apa sebabnya...!

Dia buka tasnya untuk mencari obat dari kegelisahannya namun tidak ditemukan, kemudian dia meraba kantongnya terasa ada sebuah benda tipis di dalamnya, dia mengeluarkan sepucuk surat yang merupakan sebab dari kegelisahan dan kekacauan pikirannya itu.

Dia membuka surat itu dengan hati-hati sekali, takut kalau surat itu akan sobek.

Dalam keadaan remang-remang, dan disertai Lagu Mandailing sebagai pengantar tidur para penumpang,

Sian najolo leleng hita mardongan

Marsipaturutan, sahata saholongan

Dapot ma caritona ho na giot manyunduti

Gotap ditongan dalan baya sudena hu haropkon

Simatobangmu do naso paloasna

Mar janji hita nagiot marlipe

Harana au alak na suada

Ho dohot au baya songon tor tu rura 2X

(Dari dulu kita berteman, saling turut menuruti se ia dan sekata

Dapatlah kabarnya engkau mau menikah

Putus di tengah jalan, semua yang aku harapkan

Orang tuamu tidak membolehkan

Kita berjanji mau menikah

Karena aku orang yang tak punya

Kau dan aku dinda seperti bukit dan lembah) .

Pemuda itu mulai menyandarkan badannya ke bahu kursi dan membaca surat yang sedari tadi di tangannya dengan penuh penghayatan sekali:

Kekasihku....

Terkejut rasanya mendengar berita yang disampaikan oleh satpam di rumah kami tadi pagi yang mengabarkan bahwa kamu akan pergi ke Kota Medan yang jaraknya terpaut sangat jauh dari kampung kita.

Tidak siap rasanya untuk berpisah denganmu, serasa ingin saya tumpahkan air mata ini untuk menahan agar kamu tidak jadi pergi berlayar ke Ibu Kota, akan tetapi apalah kepandaianku sebagai seorang wanita kecuali menangis.

Kekasihku....

Di sini aku minta maaf kepadamu atas sikap Papaku yang memaki-maki dirimu dengan habis-habisan serta mengusir kamu dan Ibumu dengan kejamnya tanpa peri kemanusiaan, bahkan bukan itu saja, Papaku melarang agar aku tidak pernah untuk menemuimu lagi.

Ahmad kekasihku....

Pergilah berlayar, dayung perahumu, cari rizki untuk bekal masa depan kita dan jemputlah aku ke kampung bila mana kamu sudah berhasil dirantau, saya akan sabar menunggu kedatanganmu wahai kekasihku sampai kapanpun, sekalipun rambutku akan berubah warna menjadi putih.

Aku akan setia menanti kedatangan mu duhai pujaanku, simpanlah surat ini sebagai penyemangat bagimu ketika dalam keadaan malas, sebagai pengobat rindu yang kerap kali melanda.

Selamat jalan kekasihku....

Wanita yang selalu menantimu

Ifah...."

Tak terasa air mata pemuda itu jatuh menetes di atas surat yang baru dia baca, teringat dengan kekasih yang amat dicintainya itu.

Ahmad lalu tertidur dengan mendekap surat dari sang kekasih di dadanya, tak lama setelah itu terdengar stokar bus bersorak,

"Medan..., Medan..., " mengisyaratkan bahwa penumpang sudah sampai di Ibu Kota Sumatera Utara dan sudah berada di terminal.

Semua penumpang turun dari dalam bus dan beranjak ke tempat tujuan mereka masing-masing, karena sanak saudara sudah menunggu mereka semenjak subuh.

Lain halnya dengan Ahmad, ia kebingungan kemana kakinya harus melangkah, karena tidak ada famili ataupun kerabat yang ditemui, baik dari pihak Ayah ataupun dari pihak Ibu.

Anak muda itu termenung memikirkan kemana dia harus pergi, lalu dia membuka tasnya, dia melihat selembar kertas bertuliskan alamat seniornya yang setiap tahun datang ke pesantren untuk sosialisasi kampus bagi adik-adik juniornya yang berkeinginan melanjutkan kuliah di Kota Medan.

"Pak, jalan ke Masjid Istiqomah Jalan Dr. Mansyur dimana Pak?"

Tanya Ahmad kepada seorang tukang becak yang lagi nongkrong mencari sewa.

"Oh...Lumayan jauh nak, tapi kalau mau naik angkot warnanya kuning ya nak, kasi aja ongkosnya 2000 rupiah, " kata tukang becak itu.

"Terimakasih Pak," jawab Ahmad.

Sesampainya Ahmad di masjid yang berwarna putih itu, dia pun menemui seniornya Abbas yang merupakan imam di masjid besar itu.

"Assalamu'alaikum, ucap anak muda berbadan kurus itu sambil membuka pintu kamar masjid.

"Wa'alaikumsalam, terdengar jawaban dari dalam kamar, kemudian pintu dibukakan oleh seniornya Abbas.

Rupanya dua orang teman Ahmad satu kelas sewaktu di pesantren sudah berada di dalam, yaitu Tofa dan Taon, mereka sudah dua hari menginap di situ.

"Silahkan masuk," kata Abbas.

"Ia bang," jawab Ahmad.

"Kapan sampai,? (Abbas).

" Baru pagi tadi bang.

"Kamu disini aja tinggal, besok kita baru pergi mendaftar ke Pondok Tahfiz" Abdurrahman Bin Auf" Di Titi Kuning."Kata Abbas.

Pondok Tahfiz "Abdurrahman Bin Auf" Merupakan sebuah pondok yang sudah banyak melahirkan para Hafizh Al Qur'an yang sudah menyebar di berbagai daerah.

Kemudian Ahmad pun mengambil tempat untuk beristirahat setelah semalaman tidurnya terganggu.

               🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫

Next chapter