webnovel

Friends

Bulan Ramadhan tahun ini segera tiba. Aku tiba-tiba teringat momen perkenalanku dengan Mas Doni setahun lalu. Saat itu aku tengah dekat dengan Boy. Namun tak disangka, selepas bulan Ramadhan, Mas Doni-lah yang justru menembakku. Tahun lalu hidupku bagaikan roll coaster, karena penuh dengan pengalaman dan sarat pembelajaran.

Aku memang bukan typical perempuan yang mudah move on. Karena sekali mencintai, maka akan sulit bagiku melupakan. Apalagi antara aku dan Mas Doni telah begitu dekat, meski aku terlambat menyayanginya.

Satu hal penting yang ku pelajari adalah, agar tidak terlalu meletakkan kepercayaan berlebih pada manusia. Kepercayaan pada manusia dapat menyebabkan timbulnya harapan semu. Dan seringkali jika harapan itu tak terwujud, maka kekecewaanlah yang datang.

Kekecewaan menyebabkan kita menyalahkan satu sama lain. Tak dapat menerima keputusan yang terjadi. Karena manusia biasanya hanya menginginkan apa yang dia mau, bukan yang dia butuhkan.

***

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Hidupku kembali pada masa dimana aku belum mengenal dan bersama dengan Mas Doni. Aku belajar dengan tekun. Lebih lama duduk dan membaca banyak buku di perpustakaan sekolah.

Di sela jam kosong, aku menghabiskan waktu dengan menggambar sketsa. Selalu kubawa buku gambar dan pensil di dalam tas ku. Aku menjadikan teman-temanku sebagai objek. Sebentar saja ku goreskan pensilku, sketsa itu selesai. Arya sempat melihat hasil karyaku dan memujinya.

"Wow, Mika. Ini bagus banget sih.. Kamu suka ngegambar?"

Saat itu aku berdiri di balkon depan kelas dan menggambar suasana hiruk pikuk di kantin saat jam istirahat. Rasanya aku menikmati kesendirianku dengan coretan sederhana itu.

"Iya, Ar. Coba rate, berapa ini nilainya menurutmu?"

Aku menyodorkan buku gambarku pada Arya. Dia membuka satu persatu lembarnya. Tak hentinya Arya berdecak kagum melihat apa yang kulukiskan pada kertas putih itu.

"Gak bisa dikasi nilai sih ini. Keren abis.." ucap Arya.

"Hehehe.. ada kritik dan saran mungkin?" tanyaku.

"Mm.. enggak sih.. ini perfect." Arya mengembalikan buku gambarku.

Aku melanjutkan pekerjaanku. Kemudian Arya bertanya, "Mau lanjut kuliah dimana, Mik?"

"Mm.. kayaknya di.. Malang aja. Kalo kamu?"

"Di Surabaya, mungkin."

"Jurusan apa, Ar?"

"Belum tau. Kamu sendiri?"

"Desain grafis, kayaknya."

"I see.. sekarang aja udah pinter gambar.."

Tak lama, Hadi telah berada diantara kami. Menyeruak dan memeluk bahuku dan Arya bersamaan.

"Aku juga di Malang, Mik.. kita main bareng lagi disana.." ucap Hadi.

"Oiya kah? Helen juga di Malang tuh," jawabku.

"Yah, berarti aku di Surabaya sendirian dong?" tampang Arya mulai sedih karena akan kehilangan teman-temannya.

"Gak papa.. kita bisa saling jenguk. Kalo Danisa dan June, gimana?" tanya Hadi.

"Tau.. panggil aja anaknya. Juunn.. Nissaa..!" aku memanggil keduanya mendekat.

"Kalian jadi di Amerta aja kuliahnya?" tanyaku.

June mengangguk. Dia akan meneruskan pendidikan di jurusan kedokteran seperti saudaranya. Sedangkan Danisa akan belajar modelling dan tata busana. Aku kagum dengan teman-temanku. Masing-masing dari kami memiliki minat dan bakat yang berbeda.

"Eh, ayo kita foto buat kenang-kenangan. Siapa yang bawa HP?" Arya mengemukakan idenya.

"Yah.. aku gak bawa.." jawab June.

"Yohan. Yohan bawa HP tuh!" seru Hadi.

"Ajakin foto sekalian. Yuk!" ucap Arya sembari mendekati Yohan.

Setelah mengatakan maksudnya, tampak Yohan mengangguk mengiyakan. Kemudian dia mendekati kami.

"Ayo kita foto-foto dulu, habis tu, kita bikin film pendek. Aku ada aplikasi baru di HP ku."

"Ahh serius, ayo ayoo..."

Aku dan semua teman-temanku begitu bersemangat. Kami berfoto dengan pose yang konyol berulang kali. Lalu tak lupa kami berfoto dengan pose formal, atas permintaan Helen agar mudah mengingat wajah masing-masing dari kami, beberapa tahun ke depan.

Setelah itu, Yohan mengajak kami beradegan dansa di lapangan basket. Bagaikan sutradara handal, dia merekam setiap gerakan kami yang telah diatur sebelumnya. Yohan mendokumentasikan tentang kami semua dalam bentuk film pendek.

***

31 DESEMBER 2005

"Ayo tahun baruan kemana kita?" ajak Arya.

"Macet ah. Males ikuutt.." jawab Danisa.

"Ih, manja ni anak. haha.." goda Arya.

"Ya udah gini aja, kita kumpul di rumah Mika aja. Trus yang cewek, kita bonceng. Bahaya juga kalo kalian bawa motor sendiri pas malam tahu baru." Hadi memberikan usulan.

"Boleh.. tapi kan ceweknya ada 4.. gimana pembagiannya? 1 motor bonceng 3, gitu? haha.." aku menyela Hadi.

"Gini aja.. Gini aja.. Helen sama Hadi, biar gak ada fitnah kalo dia bonceng Arya, haha.." kata Danisa.

"Trus, Danisa sama Arya, gitu?" tanya Hadi.

"Akuu.. sama Raka ya," seru June sembari berlari ke arah kami.

"Laahh.. aku? Sendiri? Diculik ntar! Haha.." aku menyeru pada teman-temanku.

"Ais, iya Mika sendirian. Yaa gimana ya, Mik?" Arya kebingungan.

"Gak papalah.. asalkan kita dalam satu konvoi kan ga masalah, gaes." Jawabku seraya tersenyum menghadap mereka.

"So, kumpul di rumah Mika, jam 7 malam ya."

"Siiaapp!"

Malam itu kami berkeliling kota Amerta merayakan malam pergantian tahun. Kami banyak menghabiskan waktu bersama karena waktu ujian nasional kian dekat. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, kemana-mana kami selalu bersama. Foto dan video tak lupa kami lakukan sebagai cara mendokumentasikan kebersamaan kami.

Ternyata, tanpa Mas Doni, hidupku tak terlalu menyedihkan. Berjalan semakin indah dan disempurnakan dengan kehadiran teman-temanku yang baik hati. Tak ada yang mengatur atau diatur, semua dapat saling dibicarakan dengan baik. Meski kadang sedikit rasa iri menghampiri ketika melihat June bersama gebetan barunya, Raka.

***

Sehari setelah perayaan malam tahun baru, Raka meneleponku.

"Mika, dirumah gak? I mau minta tolong you, nih. Please.."

"Tolong apaan, Ka?"

"I mau nembak June. Bantuin dong, Mik."

"Ha.. serius lo? Haha.. Oke.. Bantu apa?"

"I udah pesen buket bunga mawar besaarr banget. You bisa ambilin di florist gak? Trus anterin ke rumah June. I tunggu disana."

"Dih, ribet ya. Jam berapa emang?"

"Ya sekarang, Mika. Jam 11 ini. Bisa gak?"

"Iyeee.. meluncur florist aku sekarang. Haduuu..."

Aku menolong Raka dengan setulus hati, membawakan buket bunga mawar untuk June. Menjadi saksi bagaimana Raka menembak June di rumahnya. Hatiku turut bahagia. High quality jomblo, akhirnya punya pacar juga, batinku. Ketika mereka sedang sibuk berdua, dan aku duduk sendirian di teras rumah June, mama meneleponku.

"Ya, Ma? Mika lagi di rumah June."

"Mika, ini adikmu Leo kemana? Kok gak pulang-pulang dari pagi. Ini sudah jam 2 siang. Papa udah nyariin kemana-mana gak ketemu."

"Loh kan tadi Leo pamitan berenang sama temen-temennya di pemandian Tirta, Ma. Palingan dia disana.. "

"Papa udah dari sana. Pemandian Tirta itu tutup karena sekarang tanggal merah."

"Waduh, kemana Leo pergi, ya. Mika cari kemana, Ma?"

"Papa mendadak sakit kepala jadi sekarang langsung pulang. Tolong kamu cari adikmu, Mika.. terserah kemana, Mama bingung juga.."

"Ya.. ya.. Mama tenang dulu. Mika coba keliling cari Leo ya.."

Di saat yang bersamaan, hujan turun tiba-tiba begitu deras.

"Jun, Ka.. aku cabut dulu ya," pamitku pada mereka berdua dengan langsung mengenakan jaketku.

"Oi, Mik, ujan deres banget. Mau kemana?" sahut Raka.

"Cariin adikku nih. Ilang! Gak pulang-pulang katanya..!"

Seketika aku tancap gas, tak peduli teriakan mereka yang mencegahku. Aku segera menuju jalan raya dan menerobos lampu merah. Jalanan sepi. Hujan deras menghalangi jarak pandangku.

Berada di simpang empat, aku melihat traffic light menyala merah, dengan angka 30 detik di sampingnya. Aduh kelamaan kalo nunggu lampu hijau, batinku. Sempat berhenti sebentar, aku lajukan kembali motorku sekali lagi menerobos lampu merah. Aku tak tahu tujuan, yang pasti aku terus mengedarkan pandangan berharap kutemukan Leo di pinggir jalan.

Jarum spidometer motorku menunjukkan angka nyaris 60 km/h. Hingga tiba-tiba ku dengar bunyi klakson berulang kali dengan begitu kencangnya.

Tiiinn.. Tiinn.. Tiiinn...

Kenapa harus membunyikan klakson, apa salahku? Bukankah jalanan sedang sepi, silahkan menyalip sesuka hatimu. Lalu tergerak hatiku menengok spion.

Ah, aku tak harus bagaimana.

Mas Doni mengendarai megapro hitamnya tepat di belakangku.

***

Next chapter