webnovel

Semangat, Mika!

Lomba Paskibra telah terlaksana dengan sempurna. Sekolah kami, Smasa Amerta, mendapatkan banyak kemenangan mulai dari Lomba Formasi, Lomba Ketangkasan, Cerdas Cermat, dan Ensiklopedia Umum. Aku, Yohan, dan Al, tentu saja termasuk dalam daftar siswa yang memperoleh penghargaan khusus dari Kepsek. Tentu saja, hal ini berdampak positif bagi nama baik sekolah.

Senin pagi, setelah upacara bendera, kami berdelapan maju ke tengah lapangan, disaksikan seluruh siswa mulai kelas 1 hingga kelas 3, dan juga semua guru hadir. Kepsek memberikan amplop berisi uang pembinaan dan sertifikat penghargaan masing-masing untuk kami. Begitu bangga karena membayangkan tahun depan kami berdelapan akan diikutkan seleksi Paskibra Provinsi. Bagiku, itu adalah seleksi ku yang kedua, setelah tahun kemarin gagal di tes akhir, dan terdapat sedikit konflik dengan Rio.

Dua hari lagi memasuki bulan Ramadhan. Itu artinya sekolah hanya masuk seminggu di awal bulan puasa dan sisanya kita libur hingga hari Raya Idul Fitri. Dapat dipastikan, aku akan merasa bosan di rumah. Tak bisa bertemu Boy, tak bertemu pak Malik yang killer tapi menarik minat siswa saat membahas sistem reproduksi manusia, tak bisa duduk di kantin mengobrol dengan June sambil menyaksikan tingkah genk roxette.

Akhirnya aku dan ketiga sahabatku menyusun rencana bakti sosial untuk membuat kerajinan tangan yang bisa kita jual untuk kemudian disumbangkan pada kaum dhuafa. Rencana kami kemudian didengar oleh ketua kelas, dan kita bersama-sama hendak membuka lapak bazar di pinggir jalan depan sekolah saat kegiatan Pondok Ramadhan nanti.

**

BULAN RAMADHAN TERSISA DUA HARI

Erika meneriaki aku dari teras rumahnya.

"Siiisss.. Mikaaa! Keluar cepetan!"

Kebetulan rumah kami bersebelahan. Sehingga selama libur sekolah, aku kerap bertemu Erika dan bertukar cerita dengannya. Dengan langkah malas, aku berjalan ke teras menemui Erika.

"Ya Non, aku ngantuk, apaan?" Rambutku acak-acakan karena aku daritadi hanya berguling-guling di kamar menahan lapar.

"Mik, kamu kan deket ya sama Boy. Denger-denger, Boy nembak si Dian, yang anak 3 IPS 2 itu. Kenapa bisa ya? Bukannya Boy selama ini deket sama kamu, Mik."

Erika berkata sepanjang itu, dalam satu helaian nafas. Luar biasa. Aku termangu menatapnya. Erika menyampaikan suatu hal yang terdengar mustahil menurutku.

Bagaimana tidak, Boy bukannya tengah dekat denganku? Masa libur sekolah ini pun, nyaris tiap hari Boy meneleponku. Sekitar pukul 9 pagi, Boy kerap menanyakan apa yang akan aku lakukan hari ini, nonton video lagi kah, atau hendak jalan-jalan ke luar rumah kah. Terkadang Boy juga meneleponku pukul 8 malam, selepas sholat teraweh, sekedar bertanya apakah sudah buka puasa atau belum. Kami juga bertukar cerita lain karena tak pernah bertemu selama nyaris sebulan sekolah diliburkan. Selama berkomunikasi via telepon, tak ada yang aneh dari nada bicara Boy. Dia masih sering membuatku tertawa dengan candaannya. Dan siang ini aku mendengar berita yang kurang menyenangkan bagiku.

"Sumpah lo Er, kata siapa?" Aku masi terkejut.

"Kata Radit cowokku lah, waktu buka bersama kemarin, Boy dateng sama Dian tau! Boncengan. Trus si Dian pake acara pegangan pinggang segala."

(Radit, pacarnya Erika adalah teman seangkatan dengan Boy dan Dian, tapi berbeda kelas. Radit dari kelas 3 IPA 1, Boy dari kelas 3 IPS 1, dan Dian dari kelas 3 IPS 2)

"Mm, masak sih Er. Boy masih sering telponan denganku lho. Malah semalem juga telponan. Ya biasa, dia ceritain ibunya, adiknya."

Aku berusaha mengingat apa saja yang menjadi topik pembicaraan semalam antara aku dan Boy. Intonasi bicaraku sudah tak bisa santai seperti tadi. Napasku mulai menggebu. Sayang sekali tombol teleponku di kunci oleh Papa sehingga aku tak bisa menelepon Boy saat itu juga.

"Cari info ke temennya aja, Mik." Erika memberikan saran padaku.

"Siapa ya? Aku gak kenal siapa temennya itu. Palingan waktu ketemu di sekolah rame-rame itu doang. Kalo tiba-tiba tanya tentang Boy.. malu lah aku, Er."

"Gini aja, aku coba tanya cowokku, no.HP salah satu temen deketnya Boy, gimana?"

"Umm. Ya..ya..Boleh deh, boleh. Kabari aku ntar ya."

Aku kembali masuk ke kamar, melanjutkan rebahan. Berangan-angan sendirian di kamarku. Boy? Seperti apa dia sebenarnya. Aku mengenalnya, aku sering bersamanya, namun kenapa aku seperti tak tahu isi hatinya, ratapku.

***

MALAM SETELAH SHOLAT TERAWIH

Tumbenan Boy belum meneleponku seharian ini. Barangkali, dia betul-betul sudah jadian dengan Dian. Dan sekarang, dia sibuk bercanda dengan Dian. Aku mulai merasa cemburu. Selama ini perhatian Boy hanya padaku, kenapa secepat itu dia berpaling pada yang lain?

Aku teringat pertama kali Boy memboncengku, mengantarku pulang ke rumah setelah menyaksikan pertandingan Smasa Cup malam itu. Aku duduk sedikit mundur, nyaris mengenai stang belakang jok motornya. Gaya menyetir Boy sangat kalem dan halus saat memindah gigi. Jaket jins kuletakkan di tengah di antara kami, ku dekap sehingga aku tak perlu berpegangan pada Boy. Boy pun tak memintaku untuk berpegangan padanya. Perjalanan pulang terasa singkat saat dibonceng Boy. Dia tak pernah mendiamkan ku. Selalu ada saja humor yang terlontar begitu saja, bahkan dia tiba-tiba memberiku tebakan lucu yang sudah pasti jawabannya ngawur.

"Mik, aku dapet. Ini coba kamu SMS deh, temennya Boy."

Erika berjalan menyusulku seusai sholat terawih di mushola dekat rumah. Dia menyodorkan ponselnya, menunjukkan urutan angka tertera di layar. Aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku. Mukena sudah terlipat rapi berbalut sajadah ungu kesayanganku. Kami duduk menepi di pos kamling depan kompleks rumah kami.

"081330xxxxxx."

Di atas deretan angka tersebut, tertera nama yang tidak lagi asing bagiku.

DONI 3 IPA 1

Deg! Kepalaku seperti terketuk palu dengan keras. Erika bilang, ini adalah nomer teman Boy, teman yang paling akrab dengan Boy, anak genk roxette juga. Berarti ini nomer HP Mas yang waktu itu meminjami aku jaket hijau tua nan kebesaran saat aku selesai latihan untuk lomba paskibra. Jadi, namanya Doni, toh. Batinku.

Seketika semangatku muncul. Aku segera mengetik huruf demi huruf, disaksikan Erika di sampingku. Sejenak aku menoleh pada Erika, lalu ku tekan tombol Enter.

"HAI, MAS DONI YA INI?"

-Message Sent-

Hampir 30 menit berlalu, dan belum ada balasan. Aku beranjak dari bangku plester semen di poskamling, pantatku kesemutan rasanya.

"Yah, Er.. gak punya pulsa nih cowok. Gak dibales loh daritadi, Er. Masak harus aku telpon sih."

Aku mulai kesal dan tak sabar. Ditambah lagi, Boy tidak meneleponku seharian ini. Di luar yang biasanya dia lakukan. Aku mendadak takut kehilangan Boy. Aku tak terima jika Boy jadian dengan Dian. Bukannya Dian itu anak sombong dan manja, suka berdandan kecentilan di sekolah.

"Ya kamu sih! Ngetik kok gitu doang. Itu sisa karakter masih banyak, kenapa gak ngetik lengkap, Halo aku Mika, gitu.. supaya jelas!"

Erika adalah typical cewek cerewet. Dia tak bisa jika harus berkata singkat dan perlahan. Sudah menjadi sifatnya, berbicara dengan cepat, banyak kata, dan terdengar seperti dengungan lebah.

"Iya juga, tapi kan telanjur kepencet Send, Er."

Nadaku mulai merendah. Pasrah apapun jalannya. Memang bukan salah Boy jika memang Dian yang dipilihnya. Sejak lama antara aku dan Boy menjalin kedekatan, namun aku merasa belum benar-benar siap jika naik status dengan Boy.

"Tauklah, tunggu aja. Lagian mustahil kalo Doni gak punya pulsa. Bapaknya dia tuh, kerjanya di provider telekomunikasi. Nomernya ini aja aku yakin gak pake pulsa, Mik. Tapi ini nomer pascabayar." Erika menjelaskan padaku, dan aku hanya menggangguk.

***

Aku masih menunggu balasan.

Namanya Mas Doni. Siswa 3 IPA 1.

Cowok yang siang itu pertama kali kita bertatap muka karena aku menabrak dia di tengah lapangan basket. Cowok yang badannya tinggi besar, rambut gondrong, seragam acak-acakan dan warna seragamnya mulai bias. Dia memiliki senyum yang manis dan mata teduh. Tidak terlalu banyak bicara meski dia salah satu anggota genk yang suka keributan. Cowok yang tiba-tiba datang sore hari membawakan aku jaket miliknya, dan aku masih belum mengerti, bagaimana bisa. Cowok itu salah satu siswa jurusan IPA, tentu lumayan encer otaknya.

***

Ting.. Ting.. Ting..

1 MESSAGE RECEIVED

Pukul 23.20, dan aku sudah terlelap.

***

Thank You, for reading until this chapter.

Please leave comment below and

don't forget to rate my novel.

Give me some stars!

Love you, my readers

Qiy_van_Wilerycreators' thoughts
Next chapter