=Sam POV=
"Aku tidak mengetahui apakah sekarang mereka sudah kembali pada tujuan utama dari dibentuknya pasukan pertahanan Negara atau masih dengan kepentingan pribadi karena aku tidak lagi mendapat kabar mengenai itu. Yang aku tahu, mereka masih bersikap kasar pada warga demi keuntungan dengan kedok 'kesejahteraan negara'. Apakah begitu?"
Aku mengangguk pelan, pemikiran pria ini sama dengan pemikiranku dan Ge. Kami yang geram dengan sikap para elit juga perlakuan kasar para Pasukan Hijau memutuskan untuk bergabung dengan tujuan mengetahui keadaan 'di dalam' sehingga kami menemukan celah untuk dapat mengalahkan mereka dan kembali membawa kesejahteraan untuk warga. Walau kami tahu itu sangat mustahil karena pasukan mereka lebih besar dengan relasi yang sangat kuat.
Seketika aku menyadari kalau gelangku sudah tidak lagi ku kenakan. Benda hitam yang merupakan jam tangan pintar itu selalu ku kenakan kapanpun dan dimanapun guna bertukar kabar dengan Ge jika sempat, atau setidaknya untuk mengetahui posisi dari masing-masing.
Aku menanyakan kepada Laksa, tetapi pria itu mengatakan aku tidak mengenakan apapun di lengan.
"Ku rasa itu masih berada di dalam hutan, karena tas perbekalanmu pun tidak ada di kami."
Aku hanya mengangguk pelan, ingin rasanya kembali masuk ke dalam hutan, tetapi tuuhku sedang tidak dapat diperlakukan seperti biasa.
"Pasukan berkuda, apakah itu bagian dari Pasukan Merah?" tanyaku kembali membahas entang Negara.
"Semua pasukan pertahanan Negara dapat menjadi pasukan berkuda. Hanya saja yang paling sering menaiki kuda adalah Pasukan Merah dan rekan elit Negara saat melakukan perjalanan survey pada bagian perbatasan Negara."
"Survey?"
Laksa mengangguk seraya meneguk minumannya, "Apa mereka menyerangmu?"
"Hemm, dan ku rasa tidak hanya tim ku yang menjadi korban mereka."
"Haha mungkin penyerangan terhadap Anak Anggota termasuk dalam kamus 'survey' dan 'melindungi negara' bagi mereka."
Aku mengernyitkan dahi tidak paham.
"Ah ku rasa aku harus menjelaskan semuanya padamu agar ekspresi bodoh itu tidak nampak lagi," ujar Laksa sedikit mencibirku. Pria berambut gondrong itu benar-benar mengintimidasi.
"Menurutmu, mengapa mereka melatih warga menjadi pasukan pertahanan Negara?"
Pertanyaan itu tertahan di otakku.
"Apa kamu yakin dapat menyelesaikan misi terakhir dari mereka? Lalu apa yang akan terjadi pada kalian jika berhasil melewati pelatihan terakhir?"
"Kami akan menjadi Pasukan Hijau dan melakukan tugas bela negara juga menjada pertahanan negara," jawabku polos.
"Bukankah mereka memperlakuka warga dengan kasar? Apa kamu ingin bergabung dan menjadi kasar seperti mereka?"
"Tidak," jawabku yang berhasil membuatnya kembali mengamatiku saat berbicara.
"Aku akan memperlakukan warga dengan baik, tetap tegas tanpa ada kekerasan. "
"Bagaimana kamu dapat melakukan itu? Maksudku, apa kalian dapat mengendalikan diri kalian dengan baik hingga tidak akan bersikap kasar?"
Aku kembali mengernyitkan dahi, berbincang dengan pria ini bukan ide bagus saat keadaan tubuh penat dan sakit.
"Bagaimana jika kalian tidak dapat menguasai diri kalian sendiri? Kalian berhasil menjadi Pasukan Hijau, maka seluruh jiwa dan kehidupan kalian pun akan menjadi milik negara."
Ekspresi spkntan berubah. Sebelum bergabung dengan Pasukan Hijau, aku pernah mebahas ini dengan Ge. Kami selalu mengira kalau beban yang dipikul ole Pasukan Hijau sangat berat, mereka bekerja dibawah tekanan hingga membuat mereka bersikap kasar kepada warga. Hal itu dapat menjadi bukti bahwa jiwa mereka telah menjadi milik negara.
"Kamu lihat ini?" paman Laksa memperlihatkan luka di pergelangan tangannya padaku. Jelas itu luka yang sudah sangat lama.
"Apa Paman telah mencoba untuk mengakhiri hidup?" tanyaku seadanya.
Pria itu menggeleng. "Aku mendapatkan luka ini saat aku masih menjadi Pasukan Merah. Saat itu aku bersama beberapa rekan sedang berada dalam ruangan pertemuan bersama para elit yang lain. Awalnya kami mengira itu adalah pertemuan bersama Presiden dan jajaran yang lain, tetapi ternyata kami dijebak oleh makhluk bengis yang haus darah."
"Haus darah?" tanpa ku sadari ekspresiku kembali menarik perhatian paman Laksa, dia berdecak kesal melihat tampang bodohku yang sangat alami.
"Mereka selalu membutuhkan darah segar saat gerhana bulan. Itu adalah rutinitas mereka yang telah menjadi isi kontrak dengan kegelapan."
Otakku mulai berkedut, aku belum pernah mendengar tentang hal ini sebelumnya.
"Apa yang mereka lakukan pada kalian?"
"Mereka mencuci otak kami dengan mengatakan kalau pertemuan itu adalah pertemuan rahasia guna melancarkan strategi baru dalam bela negara. Mereka juga mengajak kami untuk bergabung, yang faktanya itu hanya agar kami percaya dan menuruti permintaan mereka," ujarnya menjelaskan.
"Maaf paman, tapi siapakah 'mereka' yang anda maksud? Apa itu pasukan elit? Jajaran Presiden?"
"Bukan. Mereka sama denganku, hanya saja akal sehatnya telah digadaikan pada para iblis."
"Lalu, apa yang terjadi selanjutnya padamu juga rekanmu yang lain?"
"Ku rasa semua rekanku berakhir menyedihkan. Mereka menyerahkan darah kepada mereka yang artinya hidup mereka pun tidak lagi menjadi milik mereka lagi."
"Apa hanya paman yang selamat?"
"Apa kamu berpikir begitu?"
"Tidak. Ku harap, masih ada orang lain yang selamat dan menjadi sumber berita untuk mencari kelemahan para penjahat itu," jawabku lirih penuh harapan.
"Aku pun berharap demikian," jawab paman Laksa yang menyodorkan ubi goring terakhirnya padaku.
Aku menolak, gigi gerahamku ku rasa tidak akan baik-baik saja jika bertemu dengan makanan yang agak keras itu. Rahangku masih sangat nyeri karena lebam.
Laksa masih melanjutkan kisahnya, jelas sekali dia kesal terhadap para penjahat terkontrak dengan iblis itu. Aku yang belum begitu paham hanya mendengarkan dengan sesekali bertanya akan tujuan mereka melakukan itu semua.
Paman Laksa bilang, pimpinan kelompok itu menginginkan negara yang makmur dan Berjaya di bawah kepemimpinannya. Mereka menginginkan negara tanpa pemberontak yang semuanya nurut dengannya, mereka tidak ingin menua dengan keadaan yang masih memikirkan ketentraman negara yang tak berujung. Sehingga mereka akan menentramkan negara dengan cara mereka sendiri, dengan bantuan para iblis yang kehauran darah. Semakin banyak tujuan yang hendak dicapai, maka semakin besar jumlah darah yang dibutuhkan.
"Itu dari yang ku pahami selama berada di ruang pertemuan. Ku rasa masih banyak hal yang tidak ku ketahui karena aku telah berakhir di desa ini," tambahnya lagi.
Apa aku bias mempercayai omongan pria gondrong ini? Tiba-tiba aku merasa kalau dia sangat melebih-lebihkan ceritanya.
Pria itu merapikan tempat kerjanya yang masih berserakan serpihan kayu, aku tidak membantu karena memang tidak mampu banyak bergerak.
Masih kupandangi fisik paman Laksa yang nampak baik-baik saja, dia pun terlihat masih seusia denganku hanya sedikit terlihat lebih tua karena dia juga memelihara jambang. Tetapi bukankah dia bilang dia berhenti menjadi Pasukan Merah saat Demokrasi belum bergejolak? Bagaimana bias dia masih sangat muda.
"Paman, aku ingin mengajukan satu pertanyaan. Siapa pimpinan tim yang melakukan kontrak dengan iblis itu?" tanyaku mulai penasaran.
Laksa berhenti sejenak dari kesibukannya untuk mehela napas cukup panjang karena lelahnya. Dia menjawab dengan sangat santai dan seolah tidak ada beban, "Pramudya Hadiyaksa."
***