=Ami POV=
Bruk! Aku terjatuh karena pukulan keras lawan tepat di mata kananku yang sudah dapat ku pastikan itu akan akan kembali membuat bekas lebam di tempat yang sama dari sebelumnya.
Segera bangkit dan ku serang pria itu dengan menggunakan pedang. Pedang kami saling berdenting nyaring sama sekali tidak ada tanda-tanda kemenangan antara kami. Aku merasa imbang.
Pria itu, ku rasa aku pernah mengobrol dengannya saat mabuk di ruang makan, tapi aku tidak begitu yakin.
"Aku tidak menyangka orang Barat pandai berkelahi," cletuknya sambil menyunggingkan senyum mengejek.
Seketika aku menyakini ingatanku mengenai pria itu, dia teman Ge, anak pengolah Lewine terkenal di daerah perbatasan Timur, Anthony.
Ku tendang betis kiri pria itu, lalu kembali ku tendang bagian pinggangnya hingga dia terjatuh kesakitan. Ku arahkan ujung pedangku tepat di depan wajahnya, dengan sedikit tersengal aku hanya menatap dalam-dalam matanya.
Pria itu membalas tatapanku tak bergeming, darah segar mengalir dari ujung bibirnya akibat luka dari tendanganku yang pertama. Ku lirik tipis tangan pria itu yang menggenggam erat pedangnya bersiap menyerang.
"Ami Awas!" teriak bang Athan nyaring.
Ku tendang tangan Anthony hingga pedangnya terlempar jauh, segera ku raih tubuhnya dan ku cekik lehernya, "Aku tidak ingin membunuhmu, jadi jangan coba-coba untuk membunuhku!" ucapku geram.
Entah kekuatan dari mana, aku bahkan dapat mengangkat tubuh pria itu hanya dengan cengkeramanku pada lehernya.
Setelah dia kesulitan bernapas, segera ku hempaskan tubuhnya di tanah dan ku tinggalkan menuju Kristo yang mengurus lukanya.
Zreepp!
Sangat jelas, aku mendengar sebuah anak panah terlepas dari busurnya. Bang Athan melepasnya tepat pada jantung Anthony yang terkapar. Hal itu membuatku langsung menoleh dan terperangah sejenak. Bidikan yang benar-benar bagus.
Seolah menjawab ekspresi bingungku, pria bermata indah itu segera mengatakan kalau pria dari kelompok D itu berbahaya untuk tim kami sehingga harus disingkirkan.
Jantungku kembali berdetak cepat, ini adalah pertama kalinya aku melihat pembunuhan secara langsung bahkan yang melakukannya adalah rekanku sendiri, sosok yang beberapa kali mencuri perhatianku karena ketampananannya.
"Apa kamu masih kuat?" tanya bang Athan pada Kristo yang kesakitan karena betisnya masih terus mengalirkan darah, juga tubuhnya mendapatkan banyak serangan fisik dari lawan barusan.
Aku masih berdiri memandangi sekitar, empat mayat dengan darah segar yang masih mengalir di tubuh mereka. Napasku tersengal, tangan kananku masih gemetar, aku mencoba menenangkan tubuhku yang benar-benar terkejut dengan kasus pertarungan liar ini.
Sing tengah membalut telapak tangan kanannya yang terkena sabetan pedang, sementara bang Athan membantu Kristo membalut betisnya.
Aku segera mencarikan tumbuhan untuk obat herbal kami. Sedikit daun muda tanaman Lew dan beberapa daun berry hutan yang pernah ku ketahui digunakan untuk obat ku haluskan hingga dapat menjadi olesan untuk luka yang masih basah.
Sensasi dinginnya sedikit menenangkan, walau tetap pedih saat proses penyembuhan berlangsung. Aku memberikan kepada Sing dan Kristo. Bang Athan tampak baik-baik saja, tetapi ada yang sedikit berbeda. Saat dia berdiri hendak mengumpulkan senjata kami yang masih berantakan, tampak baju bagian depannya berkibar karena terkena angin. Jelas terliat olehku bekas sabetan pedang di bagian perutnya.
"Bang Athan!" teriakku membuatnya berpaling tanpa ekspresi.
"Ini untukmu. Jangan biarkan luka itu infeksi dan tambah parah," ujarku seraya menyerahkan bagian terakhir ramuan yang awalnya hendak ku pakai untuk mengolesi lebam di mataku.
Dia hanya diam, mengambil ramuan itu tanpa ada ekspresi apapun dan kembali melanjutkan kegiatannya. Aku pun segera berbalik hendak membantu kedua rekanku yang terluka parah.
"Ami!"
Segera ku toleh ketua timku, dia tersenyum. "Terimakasih," ujarnya masih dengan senyum yang memukauku.
Aku hanya mengangguk tanpa ekspresi, untuk kesekian kalinya dia kembali berhasil membuat jantungku berdegup aneh.
Hari sudah menuju sore saat kami bertemu dengan sebuah rumah kecil nan tua di tengah hutan. Kami tidak yakin apakah tempat itu aman, tetapi sejauh kami melakukan pengecekan, tempat itu tidak berpenghuni dan sangat cocok untuk beristirahat saat keadaan lemah.
Sekitar rumah itu banyak terdapat sisa-sisa kayu yang terbakar, mungkin dulunya ada banyak rumah tetapi ada bencana alam berupa kebakan sehingga hanya tersisa satu rumah, ku rasa. Aku hanya menduga dari melihat puing yang tersisa.
"Huh … Aku belum pernah membayangkan jika usia dewasaku akan dipenuhi pertarungan seperti ini," gumam Kristo sambil merebahkan dirinya di lantai rumah.
Dia terus saja menggerutu. Dia bilang, walau dia sudah terlatih dengan perkelahian tetapi dia sangat tidak terlatih untuk mendapatkan sebuah kemenangan dengan bertumpah darah. Aku dan Sing hanya tertawa kecil mendengarkan pria itu menggerutu.
Kepalaku terasa pening karena terlalu banyak menerima pukulan keras, ku sandarkan pada dinding dekat Sing duduk dan mengelap pedangnya dengan kain pakaian.
Untuk beberapa saat kami melupakan ketua tim, tapi pria bermata indah itu segera bergabung dengan kami setelah mendapatkan beberapa daun muda tanaman Lew dan daun berry.
"Kita harus tetap baik-baik saja apapun yang terjadi," ujarnya saat kami memperhatikannya menghaluskan dedaunan.
Kami masih menduga-duga dimana kiranya pedang emas itu disimpan. Kami bahkan tidak mengetahui seberapa luas hutan yang harus kami lewati dan terlusuri untuk memenangkan latihan akhir ini.
"Apa kamu ingat ayahmu pernah bercerita dimana beliau mendapatkan anak panah emas leluhur?" tanyaku pada Athan yang sedang mengoleskan ramuan herbal pada luka di perutnya.
"Beliau hanya bilang kalau itu adalah pedang leluhur dan hanya satu-satunya. Aku tidak pernah tahu dimana beliau mendapatkannya," sahutnya.
"Apakah ada anak panah emas juga? Wahh … ku rasa itu senjata spesial. Kamu masih menyimpannya?" tanya Sing antusias.
"Tidak, aku lupa menyimpannya dimana. Saat itu kami pindah rumah."
"Saat usia berapa?" tanya Sing lagi.
"Entahlah, mungkin saat seusia kalian. Eh maksudku saat seusia kalian bermain dan masih ceroboh, sebelas tahun mungkin? Karena aku benar-benar lupa kapan terakhir menjadikannya mainan."
"Yah sayang sekali, padahal aku yakin itu memiliki kekuatan yang luar biasa terlebih itu adalah milik leluhur kan?"
"Iya," jawab Athan singkat.
"Apa kamu asli berasal dari daerah ini?" tanyaku yang mulai penasaran juga.
"Tentu, aku terlahir dan tumbuh di Timur."
Aku terdiam sejenak. "Timur bagian mana?"
"Timur paling timur," ujarnya terdengar main-main. Tetapi otakku menangkap bahwa jawaban pria itu tidak sedang bercanda.
Aku melukiskan garis pada lantai rumah yang terbuat dari kayu itu dengan menggunakan kerikil tajam. Aku memetakan wilayah Timur dibantu oleh Kristo dan bang Athan, Sing adalah warga Selatan hingga dia tidak begitu mengenal wilayah Timur, sama denganku.
"Timur paling timur, apa kamu berasal dari Distrik tambahan? Distrik 45?" tanyaku pada Athan yang langsung dijawab dengan anggukan.
"Menurutmu, saat ini kita sedang berada di Distrik berapa?" tanyaku yang seketika membuat semua pria berfikir.
"Entahlah, tapi suasana disini tidak tampak seperti kampung halamanku," jawab Athan.
Usia sebelas tahun, itu sudh cukup lama jadi akan sangat mungkin jika dia sudah melupakannya. Aku mehela napas panjang, "Ku rasa kita sudah dekat."
***