=Ge POV=
Tanpa luka sedikitpun, pria bertudung itu berhasil membuat kami keteteran dan lebam. Beberapa kali aku melepas anak panah ke arahnya tetapi semuanya meleset. Digo bahkan hingga terengah, wajahnya memerah karena amarah yang tertahan.
Siapa pria ini?
Inilah yang menjadi pertanyaan besar di kepalaku. Walau sangat familiar, aku tak begitu yakin karena gerakannya yang tak terkalahkan sangat tidak masuk akal jika dia juga merupakan Anak Anggota.
Darah segar mulai mengalir dari hidungku, tendangannya berhasil membuatku terjatuh hampir tak sadarkan diri.
Ku berusaha untuk tetap sadar dan bangun memastikan semua tim ku baik-baik saja. Pria berjubah telah menghilang saat aku berhasil bangun dengan kepala yang sangat pusing.
Tidak ada satu pun dari kami yang melihat kemana arah perginya.
Aku menghampiri Loudi yang terluka paling parah, lengannya terluka karena pedang sementara Topan masih terkapar belum sanggup untuk terbangun walau sudah sadsrkan diri.
Digo berjalan di sekitaran kami sambil mencari-cari sesuatu di antara rerumputan yang cukup tinggi.
"Apa yang kamu cari?" tanyaku.
"Belati perak milik pria berjubah. Aku sangat yakin tadi terjatih di sekitar sini." Digo masih mencari-cari.
Ah benar, belati perak. Ku rasa itu juga bukan senjata yang biasa digunakan oleh Anak Anggota untuk berlatih.
"Apa itu bahan yang sama dengan anak panah perak ini?" tanyaku sambil mengumpulkan anak panah yang berserakan tak guna.
"Entah." Jawab Digo singkat. "Aku hanya ingin memastikan identitasnya dan menghabisinya saat kembali bertemu dengan senjata miliknya sendiri," sambungnya dengan amarah.
Digo pergi meninggalkan kami yang masih kesakitan. Aku membantu Topan untuk duduk dan membalut luka Loudi dengan kain ikat kepala yang ada di dalam tas ku.
Saat kami masih beristirahat di bawah pohon, tiba-tiba Digo berlari menghampiri kami dan menyuruh kami untuk segera pergi berlindung. Dia bilang, dia mendengar suara pasukan berkuda yang berjumlah sangat banyak sedang menuju ke arah kami.
Jumlahnya sangat banyak, dia yakin. Karena terdengar seperti gemuruh.
Dengan sangat berhati-hati, aku membantu Loudi untuk pergi berlindung di bawah pohon besar di balik semak yang sangat lebat. Sementara Digo membantu Topan yang masih sangat lemah.
Masih dengan terengah, kami berempat sangat berusaha untuk menahan semua jenis suara atau apapun dari balik semak.
Benar saja, beberapa saat setwlah kami berlindung pasukan berkuda melintasi pohon tempat kami berlindung. Jumlah mereka sangat banyak, seperti saat kami sedang berlatih di arena berkuda. Seragam mereka tampak asing, ku rasa mereka adalah tim pengamanan dari sisi negera yang lain karena sangat mirip dengan milik pasukan hijau hanya berwarna merah.
"Pria bertudung tadi, ku rasa dia adalah penyusup," ujar Digo tiba-tiba memecah keheningan hari yang mulai gelap.
"Dia dan tim bahkan tidak meninggalkan jejak apapun setelah bertarung. Tim Anak Anggota di tengah hutan semuanya mati dengan luka dari senjata mereka sendiri. Anehnya, kenapa dia tidak membunuh kita "
Kami bertiga menatap ketua tim dengan bersamaan.
"Apa kamu ingin kita mati seperti tim lain?" tanya Topan dengan suara berat.
"Tentu saja tidak. Aku hanya penasaran dengan alasannya membiarkan kita tetap hidup padahal kita juga musuh."
Benar juga, aku sependapat dengan ketua tim ku ini. Jika dia memanglah mencari kemenangan, seharusnya dia menghabisi kami semua.
"Bukankah bang Arlan bilang kita harus menang dengan luka sedikitpun? Ku rasa, tim pria bertudung tadi berhasil melakukannya dengan baik. Mereka juga tidak ingin membunuh kita karena tujuannya adalah menang, bukan menghilangkan nyawa lawan." Suara berat Topan berhasil membuyarkan anganku.
"Dia memberi kita kesempatan untuk hidup, tetapi tidak untuk menang," tambahnya lagi dengan posisi tubuh yang masih tersandar lemah.
Segera ku ambilkan air di dalam tas untuk kami berempat. Dengan menghaluskan beberapa dedaunan obat, aku dan Digo kembali membalut luka Loudi dan Topan. Telah kami putuskan malam ini untuk tetap berlindung hingga tenaga pulih esok pagi.
Angin malam mulai berhembus, aroma hutan yang pengap sangat tidak nyaman di hidungku. Hal ini membuatku yakin kalau hutan ini sangatlah lebat dan luas.
Suara burung malam mulai terdengar samar saling bersahutan. Serangga pun mulai berderik menyerukan iramanya. Sesekali aku mendengar suara tokek yang sangat nyaring.
Buah pir dan sepotong roti cukup membuat perutku tenang malam ini. Ya, ini pertama kalinya aku tidur di luar ruangan. Cukup menyenangkan ternyata, hanya saja nyawaku sedikit terancam.
Sedikit mengambil posisi agak jauh, kembali ku cek gelangku. Tidak ada alarm apapun yang menunjukkan pergerakan. Kembali ku naik ke dahan pohon yang agak tinggi, kali ini aku membawa ranselku.
"Kamu ingin tidur di atas? Apa itu aman?" tanya Digo.
Aku hanya mengangguk dan meyakinkan ketua tim kalau aku akan baik-baik saja.
Ku posisikan tubuhku dengan nyaman di atas dahan yang cukup tinggi dan lebar. Segera ku keluarkan sebuah benda lebar nan tipis dari dalam tas dan menyalakannya.
Tablet kuno, begitulah aku menyebutnya tetapi walaupun demikian benda ini adalah benda ajaib yang mampu mengubah hidupku dan ku yakin sebentar lagi dapat mengubah hidup seluruhborang di negera ini.
Dengan mengesampingkan rasa kantuk, ku otak atik benda kesayanganku itu dengan penuh ke hati-hatian. Ku mulai membuka beberapa penyimpanan dan mencari informasi mengenai belati perak yang sejak tadi memenuhi kepalaku.
Tabletku tidak memberikan respon seperti yang ku harapkan. Bar signal tidak muncul sama sekali hingga membuatku geram. Terlalu jauh dari pusat kota membuat jangkauan jaringan internet menghilang sama sekali.
Aku harus naik ke dahan yang jauh lebih tinggi demi informasi penting yang akan ku dapatkan. Hanya satu bar saat aku telah merasa takut akan ketinggian.
Sudahlah, aku hanya akan membuat jantungku terus berdegub dan merasa mual ketika melihat ke bawah.
Ada pemberitahuan mengenai posisi gelang lain yang telah ku pasang alat pelacak. Jarak kami sangat jauh, membuatku tak yakin dengan akurasinya.
Walau tidak banyak mendapat informasi mengenai belati perak, setidaknya aku dapat meyakini kalau tebakanku mengenai ptia bertudung bukanlah Anak Anggota itu benar. Aku berhasil membaca informasi kalau senjata kecil itu adalah senjata milik tim khusus para elit negara yang hanya dimiliki oleh pengawal gedung kuning atau atasannya.
Kembali ku ingat sorot mata pria bertudung yang keemasan, memang tidak tampak seperti seorang Anak Anggota. Sangat tajam dan penuh strategi. Untuk sesaat aku berpikir aku perlu seorang pelatih bertarung seperti dia.
Ku buka penyimpanan demi penyimpanan, beberapa kali ku muat ulang peramban, tidak ada hasil apapun. Sangat aneh jika tidak ada aktivitas sama sekali di jaringan internet dalam satu hari penuh. Sebelumnya, aku selalu dapat melihat jejak di beberapa situs juga jalur transaksi data, tapi kali ini aku hanya bisa memuat ulangnya tanpa melihat apapun.
Ah, apa aku harus memanjat lebih tinggi lagi? Kaki ku sudah cukup lemas karena lelah.
***