Ketika tersadar bahwa Ametsa sudah keluar dari dunia mimpi, kini gadis tersebut secara perlahan mulai membuka kedua matanya bersamaan dengan mendengar suara seseorang yang sudah tidak asing lagi baginya.
"Ametsa, apa kamu baik-baik saja?" tanya seseorang dengan raut wajah yang terlihat sedang mencemaskannya. "Aku benar-benar mengkhawatirkanmu."
Kini di hadapannya berdiri seorang laki-laki yang begitu dikenalinya tersebut sedang menatapnya dengan penuh rasa takut. Ametsa yang mengetahui hal itu pun langsung menghela nafas sebelum akhirnya memejamkan kedua matanya kembali dengan kening yang berkerut.
"Ametsa!" panggil Daniel kembali dengan kedua mata yang membelalak. "Buka matamu, aku mohon Ametsa!"
"Daniel," sahut Ametsa dengan suara seraknya. "Jangan berlebihan, aku baik-baik saja, jadi kumohon tenanglah."
"Maaf, aku hanya takut terjadi sesuatu kepadamu," ujar Daniel lalu menghela nafas dengan kepala yang sedikit menunduk. "Sekali lagi maafkan aku, Ametsa. Aku hanya ..."
Ametsa yang melihatnya pun langsung berkata, "Sudahlah, lupakan saja, aku sedang tidak ingin memikirkan apapun selain ..."
Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh seseorang yang berada di hadapannya saat ini membuat Daniel yang semula menundukkan kepala pun langsung mendongak untuk melihat wajah dari gadis itu dengan kening yang berkerut.
"Selain?" ulangnya dengan tatapan penuh tanya. "Apa yang akan kamu katakan?"
Ametsa langsung mengulum senyumnya sejenak, gadis itu hampir saja akan mengatakan sesuatu yang mungkin bisa membuatnya menjadi bertambah rumit. Maka dari itu, ia belum bisa berkata apapun tentang apa yang sudah dialaminya selama ini yang menjadikan dirinya benar-benar seperti orang yang tidak waras.
"Ah, tidak, bukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin memikirkan apapun selain kesehatanku saja saat ini, karena bagaimanapun juga aku harus tetap bekerja supaya bisa bertahan hidup."
"Ametsa," panggil Daniel yang kini mulai mendudukkan dirinya di tepi ranjang dengan kedua tangannya yang menggenggam pergelangan tangan milik gadis tersebut. "Sebenarnya ada yang ingin aku katakan kepadamu, tetapi aku selalu ragu untuk mengatakannya."
Karena itu membuat Ametsa langsung bangun dari baringannya, sedangkan Daniel yang mengetahui hal tersebut pun membantunya sehingga kini gadis itu duduk sembari bersandar.
"Memangnya ... apa yang akan kamu katakan padaku, Daniel?" ujar gadis itu dengan kedua alis yang terangkat. "Katakan saja, aku pasti mendengarkannya."
Meskipun begitu, ada rasa yang tidak bisa dijelaskan dengan sekadar kata-kata saja dan Daniel takut bahwa seseorang yang berada di hadapannya saat ini marah kepada dirinya. Jika sampai itu terjadi, mungkin ia takkan sanggup mengatakan apapun selain diam dan menunggunya kembali sampai waktu yang tepat itu datang.
Dan Daniel tidak tahu kapan waktu yang tepat itu akan tiba, sungguh laki-laki itu saat ini tidak bisa diam saja melihat keadaan sahabatnya yang seperti ini.
"Lupakan saja," ujarnya dengan senyum tipisnya tersebut. "Lagi pula aku tidak ingat apa yang ingin aku coba katakan kepadamu."
"Kenapa begitu?" tanya Ametsa dengan kening yang berkerut. "Apa kamu baik-baik saja?"
"Aku baik, hanya saja itu bukan sesuatu hal yang penting untukmu."
Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh laki-laki itu membuat Ametsa menjadi semakin memikirkannya.
"Untukku?" ulang gadis itu yang langsung diangguki oleh Daniel. "Kalau begitu, jika itu tidak penting untukku bukan berarti itu tidak penting untukmu, 'kan?"
Ametsa bisa melihat bagaimana seseorang yang berada di hadapannya itu terdiam dalam lamunan, seperti ada sesuatu yang memang ingin dikatakan olehnya tetapi sulit untuk diungkapkannya.
"Daniel," ujar gadis itu. "Ada apa? Katakan saja yang ingin kamu katakan kepadaku."
"Apa jika aku mengatakannya kamu akan menerimanya? Kamu pasti akan menolaknya kembali, Ametsa. Jadi rasanya akan sulit bagiku mengatakannya kembali."
Mendengar hal tersebut membuat Ametsa langsung terdiam dengan bibir yang tertutup rapat, lidahnya bahkan mendadak kelu dan hatinya merasakan sesak yang luar biasa setelah mendengar ucapan dari sahabatnya sendiri.
"Apa aku melukai perasaanmu?" tanya gadis itu dengan kedua mata yang memerah memandang seseorang yang berada di hadapannya. "Cepat katakan, Daniel! Apa aku kembali menyakiti hatimu?"
"Tidak," jawab Daniel dengan senyum palsunya itu. "Aku sama sekali tidak merasa telah disakiti olehmu."
"Apa kau yakin, Daniel?" tanya Ametsa sekali lagi dengan kedua alis yang terangkat. "Aku tidak ingin ada kebohongan di antara kita berdua, jangan sampai itu terjadi. Aku tidak memiliki siapapun lagi selain dirimu, Daniel. Jadi kumohon padamu, jika ada yang kamu sembunyikan dariku, maka aku tidak tahu lagi harus mempercayai siapa selain kepadamu."
Perkataan Ametsa membuat Daniel tidak bisa berkata apapun lagi selain diam dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Ini yang tidak bisa dilakukannya, apa setelah semua yang dikatakannya akan membuat gadis itu tetap memercayainya?
"Iya, tenanglah, aku pasti akan mengatakan semuanya kepadamu. Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, karena tidak mungkin jika aku membuatmu kecewa."
Tepat setelah mengatakan itu, Ametsa langsung menyunggingkan kedua sudut bibirnya. Gadis itu tersenyum lega karena memang pada akhirnya Daniel adalah orang yang tepat dan ia juga yakin jika laki-laki itu tidak akan pernah menyakiti perasaannya karena apapun yang tidak diinginkan dirinya selalu dimengerti oleh sahabatnya tersebut.
"Terima kasih banyak, Daniel. Kamu memang sahabat terbaikku, hanya dirimu yang mengerti aku, dan aku tidak tahu harus membalasnya dengan cara apa lagi selain berterima kasih kepadamu."
"Sama-sama, Ametsa," ujar Daniel yang kini sedang saling memandang dengan seorang gadis yang berada di hadapannya saat ini. Kemudian laki-laki itu tiba-tiba teringat dengan sesuatu lalu berkata, "Oh, iya, tadi aku sempat membuatkanmu makan. Kamu pasti belum makan malam, 'kan?"
Ametsa langsung menganggukkan kepalanya setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh sahabatnya tersebut. "Aku lapar."
"Oke, tunggu sebentar, ya." Laki-laki itu langsung berdiri dari duduknya dan berjalan menuju ke dekat meja yang berada di dalam kamar tersebut dimana tadi Daniel menyimpan makanannya sebelum akhirnya kembali mendekati Ametsa yang sedang memerhatikannya sedari tadi. "Ini dia makanannya, hm ... Ametsa."
"Wah, terima kasih Daniel. Ada apa?" Ametsa menerima makanan yang sengaja dibuat oleh Daniel lalu memandang seseorang yang berada di hadapannya itu dengan senyum terbaiknya. "Aku akan mencobanya."
"Katakan saja bagaimana rasanya dengan jujur, ya? Aku tidak apa-apa jika memang rasanya tidak enak, jadi tolong katakan yang sebenarnya saja, ya."
Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Daniel membuat Ametsa terdiam sejenak dengan senyum yang masih bertahan. Laki-laki itu sangat terlihat gelisah karena takut makanan buatannya itu tidak sesuai harapan hingga dimana ia melihat gadis itu yang baru saja mencicipi makanannya dan kini dirinya harus menerima jawabannya.
"Gimana?" tanya Daniel yang saat ini begitu terlihat cemas. "Apa rasanya tidak enak?"
Ametsa yang melihatnya pun masih diam dengan rasa yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Gadis itu kembali menyuapi makanannya tanpa menjawab pertanyaan dari Daniel yang membuat laki-laki itu cukup kebingungan dengan rasa makanannya.
"DANIEL, APA YANG KAU LAKUKAN?!" teriak gadis itu kesal. "APA KAU TIDAK MELIHAT KALAU AKU SEDANG MEMAKANNYA?"
"Aku ingin mencicipinya juga, Ametsa!" ujar Daniel dengan wajah yang memelas. "Satu suapan saja, oke? Kenapa kamu pelit sekali? Aku hanya minta sedikit itu pun tidak banyak."
Pada akhirnya gadis itu pun hanya diam dengan kedua tangan yang melipat di dada serta wajah yang ditekuk, sedangkan Daniel yang saat ini sedang mencicipi rasa makanan buatannya itu pun langsung mengulum bibirnya dikarenakan makanan tersebut sangatlah enak.
"Ametsa, apa aku boleh meminta satu suapan lagi?"
Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Daniel membuat gadis itu langsung memberikan tatapan tajamnya yang membuat laki-laki tersebut langsung kembali mengurungkan niatnya.
"Tidak perlu, untukmu saja semua."