Setelah berpamitan dengan Kakek, yang akhirnya aku tahu bernama Wijaya, aku keluar ruangan itu.
"Meeting itu diadakan di lantai 40," ujar lelaki yang aku ikuti. "Kamu salah lantai."
"Iya, saya pikir di sini."
"Saya Andra." Lelaki itu mengulurkan tangan. Wajahnya bening sekali. Kalau di korea di sebut oppa ganteng, kalau dia itu pantas di sebut kakak tamvan. Astaga! Aku mikir apa sih.
"Saya Rea." Aku menjabat tangannya. Ya ampun, telapak tangannya hangat dan empuk. Aku buru-buru melepas jabatannya, takut terlena.
"Ayo kita turun."
Selain tampan, ternyata Andra itu ramah. Dia tidak hentinya mengumbar senyum. Aku yang notabenenya supel menjadi merasa bertemu lawan yang pas.
Sesampainya di lantai 40 aku melihat Om Rahar. Dia asisten papa di kantor. Dia lantas segera menghampiriku.
"Mbak Rea akhirnya datang juga. Pak Firman khawatir Mbak nggak datang," katanya.
"Iya, maaf telat, Om. Ini dokumennya."
Sejenak Om Rahar mengecek dokumen yang aku bawa, dia mengangguk. "Iya bener, Mbak. Terima kasih sudah dianterin. Eh ada Pak Andra juga?"
Andra tersenyum. "Kebetulan tadi saya bertemu Rea. Apa meeting sudah dimulai?"
"Baru akan dimulai, Pak. Kalau begitu mari kita masuk saja, Pak."
"Rea, kamu pulangnya hati-hati ya," ucap Andra menatapku. MasyaAllah! Tatapannya bikin aku melting.
"I-iya. Kalau gitu saya permisi dulu."
Di dalam lift aku nggak berhentinya tersenyum sendiri persis orang gila yang lagi kumat. Mengingat betapa gantengnya Andra dan baiknya dia. Meskipun dia seorang eksekutif, dia nggak sombong sama sekali. Beruntungnya aku bisa berkenalan dengannya.
***
Pagi yang sibuk. Hari ini adalah akad nikah Kak Reni. Dan prosesinya akan diadakan di Masjid agung At-tin di TMII.
Aku juga sudah berdandan cantik untuk mengikuti acara itu. Mematut diri di cermin sambil membenarkan sanggul kecilku. Aku mengenakan kebaya modern sama dengan mama dan tante-tanteku yang lain.
Aku sedang membenarkan lipstikku saat kehebohan itu terjadi. Mama tiba-tiba membuka pintu kamarku.
"Rea, apa kakakmu ada di sini?"
"Nggak ada, Ma."
"Astaga! Di mana sebenarnya dia?"
"Kak Reni bukannya di kamar?"
"Nggak ada! Kakakmu itu menghilang."
What?!!
Mataku melotot sampai mataku terasa hendak keluar dari tempatnya. Bagaimana bisa calon pengantin menghilang?
"Papa dan paman-pamanmu sedang berusaha mencarinya." Air mata mama menganak sungai.
Aku segera meraih pundak mama dan mendudukannya di ranjang. Aku ingin mama tenang. Karena sepertinya mama nampak syok.
"Apa udah ditelepon Kak Reninya."
"Dia nggak membawa ponsel."
"Rea coba hubungin teman-temannya ya."
Mama mengangguk membiarkanku menghubungi teman-temannya yang aku tahu. Nihil, mereka nggak ada yang tahu keberadaan Kak Reni. Malah mereka pada mau ke Masjid untuk melihat Kak Reni ijab qobul.
Mau tidak mau aku ikut pusing. Kok bisa sih Kak Reni main petak umpet di acara pentingnya. Beberapa jam lagi acara bakal dimulai. Semua orang panik. Mama terus menangis. Papa dan paman-pamanku juga tidak berhasil menemukan Kak Reni. Fix dia kabur.
"Kenapa dia tega melakukan ini pada kami? Tidak seharusnya dia melakukan ini di jam-jam mendekati pernikahannya." Papa nampak menahan amarahnya.
Bukannya Kak Reni sangat mencintai Kak Geo. Kenapa dia malah kabur di hari pernikahannya? Sumpah, aku bingung deh.
"Anak itu membohongi kami. Kurang ajar sekali. Dia sama sekali tidak kasian dengan orang tuanya. Kalau tidak setuju menikah, harusnya tidak seperti ini caranya."
Adik-adik ayah berusaha menenangkan ayah. Aku bertambah bingung. Sebenarnya ada apa? Apa Kak Reni menikah karena terpaksa? Itu kan nggak mungkin. Kak Reni terlihat baik-baik saja kemarin. Tidak ada tanda-tanda kalau dia bersedih karena terpaksa menikah.
***
Kebingunganku terjawab sudah. Kami mengadakan rapat keluarga setelahnya. Papa menghubungi pihak mempelai lelaki untuk mengundur beberapa jam acara itu. Ternyata, Kak Reni bukan akan menikah dengan pacarnya. Tapi dia dijodohkan. Dan yang lebih membuatku syok, sekarang aku duduk diam terpaku di sini menatap mama yang terus meraung memohon kerelaan hatiku untuk menggantikan posisi Kak Reni.
Bagaimana bisa aku melakukannya? Menggantikan posisi apa aja aku pasti dengan senang hati menerima. Tapi menikah? Astaga! Ini bukan permainan.
Pihak mempelai laki-laki tidak mau acara diundur. Mereka kekeh ingin melangsungkan pernikahan. Dan yang memmmbuatku terguncang saat mereka diberitahu kalau Kak Reni menghilang, mereka malah memintaku untuk menikah menggantikan Kak Reni.
"Papa juga bingung, Nak. Papa beneran nggak mau mengorbankan kalian. Papa melakukan ini juga atas persetujuan Reni. Dia sudah setuju, tapi ternyata dia malah menghilang di hari pernikahannya. Seandainya papa tidak memiliki sangkut paut hutang dengan mereka. Papa juga tidak mau melakukan ini. Tapi yang papa nggak nyangka, mereka bisa tahu kalau papa memiliki anak perempuan lain selain kakakmu."
Perusahaan papa terancam bangkrut. Pernikahan ini adalah usaha papa untuk menyelamatkan perusahaan. Seandainya tidak ada puluhan ribu karyawan yang bergantung hidup pada perusahaan, papa tidak mau melakukan pernikahan bersyarat ini.
Aku tidak tega melihat wajah sedih papa. Orang yang sentiasa bijaksana dan kuat itu sekarang rapuh. Papa seolah tidak berdaya dengan takdir yang menimpa keluarga kami. Jika tidak ada tragedi ini, papa dan mama pasti tidak akan memberitahuku kalau mereka sedang mengalami masa sulit.
Aku terlahir penuh dengan limpahan kasih sayang orang tua. Segala keinginanku tidak pernah tidak dituruti oleh mereka. Bahkan saat aku memutuskan kuliah ke Yogyakarta, papa dengan berat hati mengijinkannya. Papa dan mama sosok orang tua baik dan penyayang. Melihat mereka putus asa seperti ini, aku benar-benar terluka. Usaha yang papa bangun berpuluh-puluh tahun dengan usaha kerasnya selama ini diambang kehancuran. Itu pukulan berat untuk papa.
Baiklah, ini darurat. Sebagai anak yang mungkin bisa menolongnya, tidak mungkin aku membiarkan orang tuaku sendiri terpuruk.
"Papa, Mama, Rea mau menikah menggantikan Kak Rea," putusku akhirnya. Papa langsung menatapku tak percaya.
"Rea, papa tidak memaksamu melakukan ini. Kalau kamu nggak setuju, papa nggak akan pernah memaksamu."
Pengorbanan yang aku lakukan, tidak sebanding dengan pengorbanan yanh sudah mama dan papa lakukan selama ini.
"Tidak, Papa. Rea beneran nggak pa-pa."
"Rea, Mama minta maaf. Sekarang malah kamu yang jadi korban kelalaian kami." Mama menangis lagi.
"Mama papa jangan begitu. Anggap saja ini bakti Rea sebagai anak kepada orang tua yang selama ini menyanyangi Rea."
Aku tidak tahan. Air mataku jatuh luruh bersamaan dengan mama yang memelukku erat.
"Maafkan kami, Nak. Maafkan kami."
Papa menengadahkan kepala melihat kami berpelukan erat. Aku yakin papa sangat terpukul. Tapi memang tidak ada pilihan lain. Aku yakin Kak Reni juga berat waktu menyetujui menikah dengan orang yang tidak dia cintai. Aku tidak seperti Kak Reni yang memiliki seseorang. Aku bebas menentukan jalanku sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.