Seminggu telah berlalu, selama seminggu ini Devian menjalani hidup tanpa seorang istri. Ingin sekali Devian datang ke rumah Nadine agar bisa bertemu dengannya. Namun karena ada urusan pekerjaan, pria beralis tebal itu harus mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan sang istri. Selama seminggu ini Devian berada di luar negeri, ia hanya bisa berkomunikasi lewat telepon.
Siang ini Devian baru tiba di bandara Jakarta, rasa rindu ingin bertemu dengan istrinya tidak bisa ia tahan lagi. Awalnya ia ingin langsung ke rumah Nadine, tetapi karena ada hal lain Devian urungkan niatnya. Pria beralis tebal itu akan pulang ke rumahnya terlebih dahulu, selepas itu baru ia akan datang ke rumah Nadine. Meskipun rasa rindunya sudah tak tertahankan lagi, tetapi ia harus sabar.
Kini Devian sudah sampai di rumah, pria berkemeja putih itu berjalan menuju ruang tengah di mana anak tangga rumahnya berada. Saat hendak naik ke atas, tiba-tiba bi Mirna datang, alhasil Devian mengurungkan niatnya. Pria berkemeja putih itu menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah bi Mirna. Terlihat jika perempuan setengah abad itu datang sembari membawa sebuah amplop.
"Ada apa, Bi?" tanya Devian.
"Ada surat, Tuan." Bi Mirna menyerahkan amplop tersebut pada majikannya.
Devian mengernyitkan keningnya. "Ok, Bibi boleh kembali bekerja."
"Baik, Tuan permisi." Bi Mirna membungkukkan tubuhnya, setelah itu ia beranjak ke kebelakang.
Setelah itu Devian bergegas naik ke lantai atas, setibanya di kamar pria beralis tebal itu segera meletakkan jasnya di atas ranjang. Devian menjatuhkan bobotnya, ia merasa penasaran dengan amplop yang bi Mirna berikan. Hatinya merasa cemas, Devian takut jika amplop itu ada hubungannya dengan sang istri. Agar rasa penasaran itu hilang pria berkemeja putih itu bergegas membuka amplop tersebut.
Mata Devian terbelalak saat melihat isi amplop itu. Sebuah surat gugatan cerai yang dilayangkan untuk dirinya. Devian meremas amplop yang masih ia pegang, ia benar-benar tidak menyangka jika kedua orang tua Nadine sungguh-sungguh menginginkan perceraian itu. Devian menghembuskan napasnya, ia mencoba menahan emosinya.
"Ini tidak bisa dibiarkan, mereka pikir aku akan diam saja. Enggak, aku akan melakukan apapun untuk mempertahankan Nadine." Devian melempar surat tersebut, setelah itu ia memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Devian ingin mendinginkan badan dan otaknya.
Dua puluh menit telah berlalu, kini Devian sudah selesai dengan ritual mandinya. Saat ini pria beralis tebal itu tengah duduk di sofa, ia tengah mencari cara untuk bisa menggagalkan perceraian tersebut. Devian benar-benar tidak rela jika harus berpisah dengan sang istri. Satu Minggu tidak melihat dan tidak bisa bertemu saja, rasanya seperti sudah bertahun-tahun. Tiba-tiba saja pintu kamar diketuk.
"Siapa?" tanya Devian dari dalam kamar.
"Ini bibi, Tuan," jawab bi Mirna.
Devian menghela napas, setelah itu ia bangkit dan bergegas membuka pintu kamarnya. "Ada apa, Bi."
"Di bawah ada tuan besar, Tuan," jawab bi Mirna.
"Ya sudah, sebentar lagi aku turun," ucap Devian.
"Baik, Tuan permisi." Bi Mirna beranjak dari hadapan Devian.
Dalam hati Devian bertanya-tanya, ada urusan apa tiba-tiba ayahnya datang. Karena tidak biasanya Gunawan datang. Devian berjalan menuruni anak tangga, setibanya di lantai bawah. Devian melihat jika ayahnya telah menunggunya, Gunawan tengah duduk di sofa ruang tengah. Pria beralis tebal itu melangkahkan kakinya menghampiri sang ayah.
"Sudah lama, Pa." Devian mencium punggung tangan Gunawan, lalu menjatuhkan bobotnya di sofa.
"Belum, bagaimana kabar kamu?" tanya Gunawan.
"Ya beginilah." Devian menghela napas.
"Kamu yang sabar ya, papa tahu ini sangat berat untuk dijalani. Tapi papa yakin, dari semua masalah yang datang pasti ada hikmahnya. Sekarang saatnya kamu berjuang, berjuang untuk mendapatkan Nadine. Kalau kamu benar-benar mencintainya dan ingin mempertahankan pernikahan ini, kamu harus bisa meyakinkan mereka." Gunawan menatap lekat putranya, ia merasa kasihan dengan nasib yang menimpa Devian.
"Iya, Pa. Devian akan berusaha untuk bisa meyakinkan mereka. Devian menyesal karena pernah menyia-nyiakan Nadine, ini memang salahku. Tapi aku ingin memperbaiki ini semua," ungkap Devian. Ia benar-benar menyesal karena telah menyia-nyiakan wanita seperti Nadine.
"Papa yakin, kamu pasti bisa." Gunawan memberikan semangat agar putranya tidak putus asa.
***
Sementara itu, di lain tempat Sarah dan Amara terlihat sedang membicarakan sesuatu yang sangat penting. Sarah berencana untuk mendesak Devian agar bersedia bercerai dengan Nadine, setelah itu menikah dengan Amara. Wanita yang sudah lama dijodohkan dengan Devian, hanya saja selama ini Devian menganggapnya sebagai teman.
"Tante yakin kalau, Devian bersedia bercerai dengan Nadine?" tanya Amara, ia merasa kurang yakin kalau Devian mau bercerai dengan istrinya.
"Tante yakin, kamu tenang saja. Tante akan buat, Devian mau menceraikan wanita berpenyakitan itu." Sarah berusaha meyakinkan Amara jika Devian bersedia untuk menceraikan Nadine.
"Baik, Tante. Amara percaya sama, Tante." Amara tersenyum puas. Keinginannya untuk menikah dengan Devian akan segera terwujud.
"Iya, Sayang. Sebenarnya, tante sudah menyuruh Devian menceraikan wanita itu sejak lama. Tapi kamu tahu sendiri kan, anak itu terlalu nurut sama papanya," ungkap Sarah.
"Iya, Tante. Tapi, Amara yakin, kali ini pasti akan berhasil. Secara orang tua Nadine juga menginginkan mereka bercerai," ucap Amara dengan penuh keyakinan.
"Iya, pokonya kamu tenang saja. Tante pastikan, Devian akan menikah dengan kamu." Sarah berucap dengan meyakinkan Amara, jika usahanya untuk kali ini akan berhasil.
Amara tersenyum, dalam hatinya ia sama sekali tidak terlalu bermimpi untuk menikah dengan Devian. Amara hanya ingin menguasai hartanya saja, wanita itu sudah terlanjur kecewa karena Devian pernah menolaknya. Itu sebabnya kenapa Amara ingin menikah dengan Devian, dengan begitu ia bisa membalas rasa sakit hatinya.
"Dasar bodoh, Tante pikir aku cinta sama Devian. Aku hanya ingin memanfaatkannya saja, setelah aku menguasai harta Devian, aku akan meninggalkannya." Amara berucap dalam hati. Ia tersenyum miring saat membayangkan jika rencananya berhasil.
"Cintaku untuk Devian sudah terkubur bersama rasa kecewaku. Dulu Devian pernah menolakku, jadi dia harus mendapat balasan atas perbuatannya." Amara kembali berucap dalam hati. Senyum liciknya menghiasi wajah cantiknya.
***
Waktu berjalan begitu cepat, pukul sembilan malam Devian sudah siap untuk pergi. Tujuannya adalah pergi ke rumah Nadine, rasa rindunya sudah tak dapat ia bendung lagi. Selama satu minggu tidak bertemu rasanya seperti sudah ada setahun. Devian sadar, kesalahan yang telah dibuatnya mempersulit dirinya untuk bisa bertemu dengan sang istri.
Hanya butuh satu jam kini Devian sudah tiba di rumah Nadine. Pria berkemeja putih itu sengaja memarkirkan mobilnya di tempat yang cukup jauh. Entah apa alasannya, yang jelas Devian tidak membawa mobilnya sampai ke pelataran rumah mertuanya. Setelah memarkirkan kendaraan roda empat miliknya, Devian melangkahkan kakinya untuk menuju rumah sang istri.
Kini Devian sudah berdiri di samping rumah Nadine, ia memandang ke atas di mana kamar Nadine berada. Tanpa menunggu lama, pria beralis tebal itu mulai melancarkan rencananya. Devian mulai memanjat pohon jambu yang letaknya tidak jauh dari balkon kamar istrinya. Beruntung juga posisi balkon tidak di depan, melainkan di samping.
Devian berhasil sampai ke atas, saat ini ia berdiri di balkon kamar Nadine. Rasanya tidak sabar ingin melihat wajah ayu sang istri. Devian mengetuk pintu kaca kamar Nadine, cukup lama ia harus menunggu. Karena sepertinya sang istri sudah mengarungi alam mimpi. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya usaha Devian membuahkan hasil.
"Mas Devian," ucap Nadine tak percaya, saat melihat suaminya sudah berada di balkon kamarnya.
"Iya ini aku," ucap Devian dari luar kamar.
Tanpa menunggu lama, Nadine segera membuka pintu kamarnya itu. Setelah pintu terbuka, Devian masuk ke dalam, bahkan pria berkemeja putih itu langsung menyambar tubuh istrinya. Devian memeluk tubuh Nadine dengan sangat erat. Sementara Nadine menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya. Rasa nyaman yang mereka rasakan untuk saat ini.
"Nadine, aku sangat merindukanmu." Devian mencium puncak kepala Nadine yang terbalut dengan jilbab.
"Aku juga, Mas." Nadine semakin menenggelamkan wajahnya. Bahkan bulir beninnga luruh begitu saja.
Devian yang merasakan jika tubuh Nadine bergetar lantaran menangis, dengan perlahan ia melepas pelukannya. Devian menangkup wajah istrinya, lalu menatapnya dengan lekat. Pria beralis tebal itu menyeka air mata Nadine yang sudah membasahi kedua pipi mulusnya. Devian mencium kening serta benda kenyal milik sang istri.
"Kenapa menangis, hem?" tanya Devian dengan lembut.
"Maaf, Mas," ucap Nadine dengan air mata yang kembali luruh.
Devian mengernyitkan keningnya." Maaf untuk apa."
Nadine mendongak, memberanikan diri untuk menatap wajah suaminya. "Maaf karena bunda tetap bersikeras untuk menceraikan kita. Aku tidak bisa mencegahnya, Mas."
Mendengar ungkapan sang istri, Devian kembali memeluk Nadine. "Kamu tidak perlu meminta maaf, karena ini bukan salahmu. Ini kesalahanku, tapi kamu tidak perlu khawatir, aku akan membuat mereka mengurungkan niatnya untuk menceraikan kita."
Nadine menyipitkan matanya. "Caranya bagaimana, Mas."
"Aku akan membuatmu hamil," bisik Devian. Seketika mata Nadine membulat sempurna.
"Tapi, Mas. Caranya?" tanya Nadine dengan wajah polosnya, hal itu membuat Devian tersenyum lalu mencubit hidung istrinya gemas.
"Caranya, kita lakukan kewajiban kita sebagai pasangan suami istri. Kamu tahu kan maksud aku." Devian menatap wajah istrinya yang sudah bersemu merah. Nadine menggigit bibir bawahnya, ia merasa seperti pasangan pengantin baru.
Nadine terdiam sejenak. "Tapi, Mas aku kan .... "
Devian meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibir Nadine. "Aku mohon jangan ungkit masalah itu lagi, aku minta maaf. Dan aku ingin memperbaiki ini semua, kamu mau kan."
Nadine menganggukkan kepalanya. "Iya, Mas."
Setelah itu, Devian membimbing Nadine untuk naik ke atas ranjang. Namun sebelum mereka memulai ibadah halalnya, keduanya akan bersuci terlebih dahulu. Setelah itu, Devian juga membacakan do'a sebelum ia menyentuh istrinya. Perlahan Devian mencium benda kenyal milik wanitanya itu. Sementara Nadine memilih untuk memejamkan matanya, merasakan kenikmatan dunia.
Nadine akan menyerahkan segalanya, meski ia sudah tak suci lagi. Namun ia masih bisa menjaga kehormatan sebagai seorang istri. Langit yang nampak mendung sejak sore tadi, kini telah menumpahkan airnya, hujan cukup deras. Membuat rasa kenikmatan tersendiri, Devian dan Nadine benar-benar menikmati malam ini dengan penuh cinta. Andai saja itu terjadi sejak awal menikah, mungkin sekarang mereka sudah diberi kepercayaan.
***
Adzan subuh berkumandang, kedua insan yang baru saja menunaikan ibadah halalnya kini masih tertidur pulas. Keduanya masih terkulai lemas, entah berapa kali bola yang Devian tendang masuk ke gawangnya. Samar-samar Nadine mendengar suara adzan, ia tersenyum saat mengingat kejadian semalam. Sekarang Nadine telah menjadi istri yang seutuhnya untuk sang suami.
Perlahan Nadine mendongakkan kepalanya, rambut hitam nan panjang itu tergerai bebas. Sementara tubuh polosnya kini berbalut kemeja putih milik suaminya. Nadine menatap wajah damai sang suami, ia juga meraba dada bidang Devian yang tak terbalut baju. Tiba-tiba saja mata Nadine membulat sempurna saat melihat Devian membuka matanya, bahkan tangan besar suaminya kini telah menegang tangan mungilnya.
"Kenapa, apa masih kurang, hem?" tanya Devian seraya menaikan satu alisnya. Sementara Nadine hanya diam dengan pipi yang sudah bersemu merah.
"Eng-enggak, Mas. Ini sudah subuh, kita shalat dulu. A-aku mandi .... "
"Kita mandi bareng." Tanpa menunggu jawaban dari Nadine, Devian langsung mengangkat tubuh mungil istrinya itu.
Dua puluh menit kemudian, keduanya sudah selesai membersihkan diri. Mereka juga sudah menunaikan ibadah sholat subuh. Nadine benar-benar merasa bahagia karena bisa shalat berjamaah dengan Devian. Kini Nadine dan Devian tengah duduk berdua di atas ranjang. Pria beralis tebal itu masih asyik memainkan khimar istrinya, sementara Nadine menyenderkan kepalanya di dada bidang suaminya.
Tiba-tiba saja, terdengar suara Widya yang memanggil nama Nadine, bahkan pintu kamar itu pun diketuk-ketuk dari luar. Seketika Devian kalang kabut, ia seperti maling yang ketahuan warga. Nadine pun tak kalah panik, ia tidak ingin orang tuanya tahu jika semalam Devian tidur bersamanya. Wanita berjilbab itu segera membuka pintu yang menuju balkon, lantas Devian segera memakai sepatunya.
"Mas buruan," ucap Nadine yang sudah berdiri di atas balkon.
"Iya sebentar." Selesai memakai sepatu, Devian bergegas keluar dari kamar istrinya.
"Sayang, aku pulang dulu ya." Devian mencium kening Nadine.
"Iya, Mas hati-hati." Nadine mencium punggung tangan suaminya.
Devian segera bersiap untuk turun ke bawah, sementara Nadine mengawasi sekitar takut ada yang melihatnya. Dari luar kamar suara Widya terus terdengar memanggilnya. Devian tiba di bawah, dengan cepat ia berlari keluar dari pelataran rumah mertuanya itu. Setelah Devian sudah tak terlihat, Nadine segera masuk ke dalam. Ia harus mencari alasan yang tepat agar ibunya tidak merasa curiga.