webnovel

ATLAS AND ADDAIR

Beberapa saat yang lalu.

Sirine alarm berbunyi, alat penunjuk tanda vital pada tubuh yang terbujur kaku di dalam tabung kaca menyala. Pergerakan diagramnya tidak normal, menunjukkan penurunan tanda kehidupan.

"Addair!! ADDAIR!!" Sang pria bertudung memanggil Addair namun ia tak mendapati adanya jawaban.

Cepat-cepat ia menuruni anak tangga, turun tangan sendiri. Dengan langkah tergopoh-gopoh pria itu mendekati mesin operasi tabung, menekan beberapa tombol agar beberapa macam cairan obat tersuntik masuk. Sekejap kemudian diagram pada layar monitor kembali normal, kehidupan di dalam tabung kembali stabil.

Pria betudung hitam itu menghela napasnya lega. Ia menatap lamat-lamat ke arah tabung, tampak jelas bayangan sosok manusia di dalamnya. Tubuhnya hancur sebagian. Manusia itu menatap kosong dengan matanya yang merah menyala.

"Aku tak akan membiarkanmu mati, Ali. Tidak sampai kau menyerahkan kekuatanmu padaku." Pria itu menyeringai ke arah tabung.

"Yah, aku tahu, aku tahu, Ali, kau pasti tersiksa. Kau pasti ingin mati saja di dalam sana. Tapi hidupmu kini bukan lagi milikmu. Kau tahu kan sejak menjadi seorang True Alpha hidupmu sudah menjadi milik seluruh kaum kita." Pria itu duduk, ia menekan-nekan beberapa tombol pada mesin operasional di bawah tabung. Keluarlah sebuah ampul berisi cairan serum hijau kekuningan.

"Aku akan membuat seluruh manusia di dunia ini menjadi werewolf, Ali. Dengan kekuatanmu, dengan kemampuanmu mengubah mereka. Aku akan membalaskan dendam kaum kita yang dibantai 50 tahun yang lalu, menghidupkan lagi kejayaan bangsa kita." Pria itu bangkit, mengusap cincin delima merah dengan lambang pack Merkez, kepala serigala hitam.

"Setelah semua berubah menjadi werewolf, baru saat itu aku akan membunuhmu, Ali. Aku akan menyerap jiwamu. Melalui wanita itu, melalui kemampuan penyembuhan miliknya, tubuhku akan mampu menerima kekutanmu yang besar." Pria itu berjalan ke luar, ia menatap sosok wanita di tabung yang lainnya.

"Si cantik yang malang," ucapnya seraya meninggalkan rubana.

Jemari di dalam tabung mulai bergerak perlahan. Merespon ucapan pria bertudung hitam itu. Dirinya benar-benar gadis cantik yang malang.

ooooOoooo

Pria bertudung menyelusuri selasar menuju ke sayap selatan mension, mencari Addair. Wanita itu harusnya bertugas menjaga laboratorium, tapi ia malah meninggalkan tempatnya dan pergi entah ke mana.

"Addair!!" serunya dengan keras.

"Lord?! Ada apa? Kenapa Anda ke mari malam-malam?" Atlas melihat Tuannya yang sedang marah dengan heran.

"Di mana matemu, Atlas?" Pria bertudung hitam bertanya pada Atlas, mate dari Addair.

"Bukankah Addair bersama Zennith di laboratorium?" Atlas malah balik bertanya, ia juga nampak bingung, Addair tak pernah meninggalkan laboratorium selain kembali ke kediaman mereka.

"Kalau dia di sana aku tak akan mencarinya!!" seru sang pria bertudung. "Sekarang matemu semakin suka berkeliaran, apa dia mencoba mengabaikan perintahku?"

"Tidak, Lord. Mana mungkin kami berani. Tolong jangan hukum Addair. Dia tidak mungkin mengkhianati Anda."

"Tapi Addair membiarkan Ali meregang nyawa. Seluruh rencana yang kubangun akan gagal total bila Ali sampai mati. Dan kalian, sudah pasti juga akan mati." Pria bertudung hitam itu mengeluarkan kuku-kuku tajamnya. Tangan yang kurus dan pucat itu tiba-tiba saja menyahut leher Altas. Secepat kilat.

"Lord!" Atlas tercekik.

"Aku harus menyalurkan kekesalanku, Altlas!!"

"Maka hukum saja aku, Lord! Jangan Addair. Tolong, hukum saja aku, Addair tak akan mampu bertahan bila Anda menghukumnya." Atlas menundukkan kepala, bersiap menerima cekikan atau pun cabikan atau jenis serangan lainnya dari Tuannya itu.

"Bagus, memang seperti itulah seharusnya seorang mate. Bersedia mati antara satu dengan lainnya." Pria bertudung hitam itu mencekik leher Atlas, pria berrambut keemasan itu tak melawan meski punya kekuatan yang hebat. Ia menahan begitu saja perlakuan menyakitkan itu.

BRAK!!

Lengan kurus pucat membanting Atlas sampai membentur dinding. Dinding batu kokoh itu bergetar, lampu gantung ikut bergoyang karena dentuman itu. Sang pria bertudung hitam kembali mendekat. Lalu mencabik-cabik punggung Atlas dan mengkoyak dagingnya beberapa kali.

Ia melampiaskan semua kekesalannya pada Addair ke Atlas. Atlas tak bergeming, meski darah bercucuran dari sekujur punggungnya Atlas tak bergerak, ia harus menahan diri sampai emosi Tuannya mereda, atau Tuannya akan mencari Addair dan menghukumnya juga. Atlas tak akan mampu melihat Addair tersakiti, karena bagi werewolf mate adalah hidup mereka, belahan jiwa.

Lagi pula bagi Atlas, serangan Tuannya tidaklah menakutkan. Sesakit apapun cabikkan itu, Atlas akan pulih bila ada Addair di dekatnya.

"Uhuk!!" Atlas memuntahkan darah segar.

Pria bertudung hitam menghapus darah yang menempel pada kuku-kuku tajamnya dengan pakaian Atlas. Ia berjongkok dan memberi peringatan kembali pada serigala itu.

"Suru Addair menemuiku setelah ia pulang. Dan jangan coba-coba lagi keluar dari massion tanpa seizinku." Sang pria bertudung mengecup dahi Atlas.

"Baik, Lord," jawab Atlas.

Pria bertudung hitam berjalan kembali ke bagian utama mension. Ia bertemu dengan Regal yang juga kebingungan mencari Zennith.

"Addair mengajak Zennith pergi, Regal. Temukan mereka, bawa pulang. Aku baru saja mencabik Atlas karena kesalahan Addair."

"Baik, Lord." Regal langsung berangkat. Pantas saja hatinya merasa tidak nyaman. Ternyata Zennith dan Addair sedang mencari gara-gara.

Dan begitulah, Regal pergi mencari Zennith sampai akhirnya tertancap anak panah beracun milik Nakula.

ooooOoooo

Addair tiba di manssion, ia bergegas mencari keberadaan Atlas. Tak lupa ia menyuruh Zennith menemukan penawar racun wolfsbane di laboratoriumnya untuk Regal.

"Atlas!!" seru Addair, ia melihat matenya tergeletak tak berdaya, bersandar lemas pada dinding batu. Luka-luka Atlas telah menutup sebagian, ada yang sangat dalam sampai mengkoyak organ. Membuat Atlas kesusahan memulihkan diri.

"Addair, kau pulang." Atlas mengelus wajah cantik Addair, wanita itu menangis. Karenanya Atlas terluka sangat parah. Tuan mereka pasti menghukumnya sangat keras.

"'Maaf, maaf, Atlas. Aku hanya ingin melihat sendiri bagaimana kondisi ciptaanku. Melihat sendiri bagaimana anakku berubah, apa dia kuat, apa dia pintar, apa dia lincah." Addair menaruh dahinya pada dahi Atlas, mereka sedang menyalurkan jiwa, berbagi kekuatan.

"Yang penting kau baik-baik saja, Sayang." Atlas mengecup bibir Addair, sisa darah membekas merah pada kulit mereka yang pucat.

"Kenapa Tuan begitu kejam?!" Addair menangis, tapi Atlas menaruh telunjuk di depan mulutnya.

"Ada banyak telinga, Addair. Kecilkan suaramu." Atlas memeluk Addair, Addair mengangguk. Ia mencium lagi bibir Atlas, kali ini lebih dalam dan penuh gairah. Perlahan-lahan luka Atlas menutup. Jiwa Addair merasuk dalam jiwa Atlas, memberinya kekuatan, memberinya kesembuhan.

"Jangan tinggalkan aku lagi, Adda."

"Iya, aku tak akan meninggalkanmu, Atlas. Maafkan aku," lirih Addair.

oooooOooooo

Jangan lupa vote ya 💋💋

Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️

Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana

Next chapter