Lily tersentak saat mamanya membangunkannya.
"Mama, kenapa ma?"
"Kenapa apanya? Bangun! Sekolah ini hari senin. Angkasa dibangunin tuh." Lily melirik Angkasa yang ternyata masih tidur di pangkuannya. Jadi selama semalaman Lily tidur dengan posisi duduk? Pantas kakinya mati rasa.
"Lah katanya mama pulang hari ini? Yang nemenin nanti siapa?"
"Tuh tante Ida." Lily menoleh, melihat tante Ida yang baru saja masuk ruangan.
"Ini aku udah dapet surat pengantar. Tinggal ke bagian admin nanti jam delapan."
"Udah bangun Ly? Angkasa dibangunin tuh. Sana berangkat sekolah."
"Udah telat tan, udah siang."
"Ini baru jam enam, masih cukup buat siap-siap kesekolah."
Angkasa terbangun langsung menyapa tantenya dan mama Lily. Sungguh sangat sopan, mengabaikan kaki Lily yang mati rasa karena ulahnya.
"Sana berangkat sekolah." Lily dan Angkasa menurut, pulang untuk bersiap ke sekolah.
*
Lily menggendong tas ranselnya bersemangat menuju rumah Nyonya Ida untuk menemui Angkasa.
"Pagi om Aska."
"Pagi Ly. Hari ini mama kamu pulang ya?"
"Iya om. Angkasa mana om?"
"Didalem, om duluan ya, kalau udah mau berangkat suruh Angkasa kunci pintu."
"Siap om."
Lily membuka pintu dari kayu jati itu. Pandangan Lily langsung tertuju pada Angkasa yang tertidur sambil tengkurap di sofa ruang tamu, masih dengan pakaian yang semalam digunakannya.
"Angkasa bangun ih. Gak sekolah?"
"Aku libur Ly."
"Lah gak tanggal merah ini."
"Disuruh libur sama sekolah."
"Lah kok aku enggak sih."
"Kan aku habis pulang lomba kemaren."
"Ya udah deh, aku berangkat naik bis." Angkasa menahan tangan Lily.
"Tunggu bentar, aku anter. Aku cuci muka dulu."
Angkasa bangkit dan masuk kekamarnya, tak lama setelah itu Angkasa kembali dengan pakaian bersih dan wajah yang segar.
"Angkasa kok ganteng sih. Cupunya kok hilang."
"Biar cepet, dah yuk berangkat." Lily menilai penampilan Angkasa. Kaos polos hitam, celana jeans selutut dan bare facenya. Benar-benar sempurna.
Angkasa memakaikan helm di kepala Lily dan mengeluarkan motor maticnya dari bagasi.
Kemudian mengendarai motornya dengan ahli, meliuk-liukkan motor diantara ratusan kendaraan yang terjebak macet.
*
Baru saja Lily memasuki gerbang sekolah, banyak sekali anak perempuan yang menghampirinya.
"Ly, tadi kamu berangkat bareng siapa?"
"Ganteng banget."
"Pacar kamu bukan?"
"Kalau bukan aku gebet boleh gak Ly?"
"Kenalin ke aku dong."
"Ke aku aja Ly."
Lily tak berniat menjawab mereka, kenal juga enggak, sok akrab hanya karena masalah begini. Kalau saja mereka tahu, orang yang selama ini mereka abaikan adalah orang yang mereka impikan.
Seseorang hampir membuat Lily terjatuh karena saling berdesakan pada Lily.
"Lo semua bisa minggir gak sih?!!" Bentak Lily, semuapun terdiam. Tidak ingin mencari permasalahan dengan Lily.
"Apa?! Dia pacar gue. Kalian mau apa?" Semua orang yang mendapatkan kekecewaan segera memberi Lily jalan agar bisa lewat.
Padahal Lily sudah berjanji pada mamanya untuk tidak mudah marah, tapi sekarang dia sudah melanggarnya.
"Lihat tuh, udah dibuang sama bapaknya aja belagu."
"Udah gak punya penunjang ekonomi, sekarang mainnya sama cowok tajir dih."
"Jual diri pasti."
"Iya, palingan gara-gara broken home jadi kuper deh."
"Lihat aja tuh lehernya pake perban. Apa lagi kalau bukan bekas cipokan, ewwwh."
Lily berusaha menulikan pendengaran dari penilai yang tidak tahu apapun tentang kejadian yang Lily alami. Walaupun Lily sudah berjalan cepat, kerumunan itu masih tetap mengikuti Lily.
"Eh pak ketos." Sapa kerumunan gadis yang sedang mengikuti Lily pada Doni yang kebetulan lewat.
"Kita kasih tahu ya Lily itu anaknya gak bener lho. Gampangan."
Ingin sekali Lily berbalik dan menembakkan peluru jika membawa pistol.
"Jangan deketin Lily lagi deh ya. Mending sama aku."
"Kalian tahu darimana?" Doni mengernyit heran.
"Ya kita tahu aja."
"Aku gak percaya." Dari kejadian beberapa tempo lalu, Doni tahu Lily bukan cewek murahan. Sampai saat ini Doni masih menyesal melakukan hal tersebut, saat dirinya memaksa Lily.
"Ih pak ketos mah gitu dikasih tahu. Udah gak pernah dandan, gampang marah juga. Idih."
"Ya gak apa-apa wajah gampang ngerawatnya daripada hati yang terlanjur busuk." Semua orang langsung terdiam mendengarnya.
"Oh iya, satu lagi. Jangan suka menilai hidup orang kalau gak tahu sepenuhnya tentang mereka, apalagi Lily baru aja kena musibah. Kalian pasti juga udah denger beritanya."
Memang benar jika berita berjudul keluarga yang diserang oleh seorang ayah kandung telah menyebar.
"Harusnya kalian kasih dukungan."
"Iyadeh, kita salah Ly. Kita minta maaf."
Lily hanya memutar bola matanya malas dan segera pergi menjauh dari kerumunan, tanpa berniat berterima kasih pada Doni yang membelanya. Suasana hatinya sudah terlanjur buruk.
Baru saja Lily duduk dibangkunya dan ingin menempelkan headset ke telinga, Yuli datang membuat kehebohan.
"Cieee, yang akhirnya resmi dan bisa lepas dari bayangan trauma." Yuli menyikut Lily sambil menaik turunkan kedua alisnya.
"Lo kira kawin apa? Resmi-resmi."
"Hehehe, baru lihat gue cowok baru siapa namanya? Semoga gak kayak si Jason ya."
"Ya jelas bedalah. Si Jason mah penguntit kelas kakap."
"Namanya siapa ih? Kayak pernah lihat juga, gak asing aja gitu."
Lily memberi aba-aba agar Yuli mendekat.
"Lo pengen tahu?" Kata Lily berbisik. Yuli menganggukkan kepalanya semangat.
"Rahasia."
"Yah lo mah gitu, ditungguin juga. Izin sakit lama, masuk-masuk dianter cowok ganteng banget njir."
"Siapa sih Ly? Sumpah penasaran banget deh." Lily mengangkat bahunya acuh.
"Btw sorry gue belum sempet jenguk mama lo ya. Nanti pulang sekolah deh, bareng si Rena."
"Telat banget, astaga."
"Kok telat?"
"Hari ini mama gue pulang dari rs."
"Ya jangan pulang dulu dong."
"Gila apa? Lo bayar biayanya mau?" Yuli menampilkan senyum tak berdosanya.
"Tapi kasih tahu dong siapa cowok lo?"
"Gak."
Yuli mengalah dan beranjak diikuti Lily, karena bel tanda upacara bendera segera dimulai.
*
"Lily!" Yang merasa dipanggilpun menoleh. Rena berlari menghampiri Lily.
"Ly, lo mau kemana?"
"Ini jam pulang sekolah, ya pulanglah."
"Bukannya ada info di grub, kalau semua panitia disuruh kumpul mulai persiapan di aula?"
"Grub apaan? Gak ada masuk grub gue."
"Yang bener, grub ini loh." Tunjuk Rena pada layar hpnya. Lily mencoba mengingat namun tak menemukan memori apapun tentang grub itu.
"Enggak ada tuh. Lagian gue sama Angkasa disuruh kerja hari h aja sama Doni."
"Yah enak banget, gue juga mau kabur. Yuk kabur gue anter." Lily menggeleng kepalanya tak percaya. Bisa-bisanya Rena si sekretaris teladan melakukan hal diluar ekspetasinya.
Rena berjalan dengan memandang kesekitar, seakan dirinya sedang diawasi. Bodohnya Lily memilih mengikuti Rena menuju parkiran.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi Rena dan Lily dapat menggapai motor Rena, tapi Doni lebih cepat menangkap mereka.
"Kalian mau kemana?" Rena buru-buru berlari bersiap mengendarai motornya, namun Doni dengan sigap menarik kerah belakang Rena bagaikan membawa kucing.
"Ly, tolongin gue." Lily menghela nafas sabar, jika seperti ini Lily pasti pulang sendiri.
"Doni gue mau pulang."
"Gak boleh, lo sekretaris tau!"
"Kan cuma bersihin aula aja, gak butuh tenaga nulis kan." Rengek Rena.
Lily mengangkat bahunya acuh, segera keluar dari area sekolahnya. Membiarkan Rena menjalankan tugas dari Doni.
Lily tersenyum dikala ada seorang laki-laki tampan duduk diatas motor melambaikan tangan padanya. Tak perlu mengulur waktu Lily segera menghampirinya dan mematahkan puluhan siswi.