webnovel

Chapter 40 : Bubur Ayam dan Fesyen

Waktu untuk tiba di hotel lebih dari satu jam lebih lambat dari perkiraan Pak Imron, dan hampir pukul 1:30 pagi sebelum tiba di kota.

Pak Imron berkomunikasi dengan pemilik hotel bermata mengantuk dengan senyuman di wajahnya, dan kemudian kembali dengan gembira dan berkata: "Sudah beres, kami akan membuka empat kamar tidur ganda untuk kami, tetapi hanya mengenakan biaya 300 ribu."

Setelah memasuki hotel, meskipun anak-anak penuh dengan rasa ingin tahu tentang jalan-jalan kota dan toko-toko di kedua sisi jalan, mereka tidak bisa menahan kelelahan fisik akibat duduk di mobil sepanjang jalan.

Keesokan paginya, Handi bangun kurang dari jam tujuh. Setelah membangunkan kedua anak di kamarnya, dia berencana mengetuk pintu satu per satu untuk membangunkan yang lain. Tadi malam dia, Pak Rusli dan Pak Imron masing-masing dan dua anak laki-laki Tidur di satu kamar, dan empat gadis tidur dalam satu kamar bersama.

Akibatnya, begitu meninggalkan pintu, dia melihat Pak Rusli berjongkok di depan kamarnya dan menghisap sebatang rokoknya. Dia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia bahkan tidak mendengar Handi yang membuka pintu dengan keras.

"Pak Rusli, mengapa kamu bangun pagi-pagi sekali?"

"Yah, saya sudah terbiasa, saya tidak bisa tidur setelah jam lima jadi keluarlah untuk mengambil nafas dan merokok." Pak Rusli menoleh untuk melihat ke arah Handi.

"Mari kita bangunkan anak-anak dan pergi sarapan." Handi berkata, "Sudah waktunya untuk sarapan. Kemarin Pak Imron berkata bahwa bus pertama yang keluar dari kota akan datang pukul setengah delapan, dan kami harus menunggu bus pada pukul delapan.."

"Oke." Pak Rusli buru-buru menghisap batang rokoknya lalu mematikannya, bangkit dan membangunkan anak-anak di kamarnya.

Setelah semua anak bangun, Handi mengajak semua orang ke warung terbuka di sebelah hotel untuk sarapan.

"bos!"

Handi membawa Pak Rusli, Pak Imron, dan sepuluh anak ke warung. Bos terkejut ketika dia melihat situasinya, dan dia melihatnya dan tidak berbicara.

"Tiga belas mangkuk bubur ayam!" Handi berkata dengan penuh semangat.

"Tiga belas… Tiga belas mangkuk?" Pemilik warung sarapan menyentuh kepalanya. Ini keuntungan besar.

"Ya benar tiga belas mangkuk."

"Oke, porsi besar atau porsi kecil?" Tanya bos lagi.

"Berapa harga porsi besar dan kecil?"

"8 ribu untuk porsi besar, 5 ribu untuk porsi kecil dan untuk ..."

Sebelum bos menyelesaikan perkataannya, Handi berkata, "Pesan saja 13 porsi besar."

Sepuluh tahun yang lalu harganya masih murah, Sepuluh tahun kemudian, porsi kecil bubur ayam akan dijual mulai dari 8 ribu.

Tiga belas mangkuk bubur ayam disediakan satu demi satu. Anak-anak meneteskan air liur sambil melihat mangkuk bubur ayam, lalu mereka dengan cepat mengambil sendok dan memasukkannya ke dalam mulut mereka tidak peduli dengan panas atau tidaknya bubur itu, mereka hanya ingin menghabiskan seluruh mangkuk dalam satu suapan.

Akibatnya, satu per satu anak mulai kepanasan dan udara panas dihembuskan keluar dari mulut mereka.

"Kalian makan perlahan, hati-hati membakar lidahmu, tenang saja tidak akan ada yang merebut makananmu," kata Pak Rusli dengan lembut.

Saat menonton kejadian ini, Pak Imron tertawa terbahak-bahak, lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menghisapnya dengan santuy.

"Guru, jika kami belum kenyang, bisakah kami meminta semangkuk lagi."

"Guru, aku juga ingin makan semangkuk lagi."

Handi mengangkat kepalanya dan menatap anak-anak dengan tatapan kosong, dia belum menghabiskan setengah dari mangkuk ini.

Dan beberapa anak sudah menghabiskan satu mangkuk, dan bahkan sisa dari bubur itu pun habis tanpa setetes pun.

"Kamu makan pelan-pelan, panas kan?" Kata Pak Rusli dengan sedih sambil memandangi anak-anak itu.

"Panas, tapi enak," kata Andi sambil menyeringai.

"Apakah kalian berenam menginginkan semangkuk lagi?"

"Ya." Keenam anak laki-laki itu mengangguk serempak.

"Oke, bos ..." Handi belum selesai berbicara.

"Guru, kami juga!" Keempat gadis itu mengangkat tangannya dan berteriak.

"Baiklah, bos, sepuluh mangkuk lagi!"

"Apa? Sepuluh mangkuk lagi?" Tanya bos tidak percaya, "masih porsi besar?"

"Ya, pesan lagi… sepuluh mangkok." Handi ragu-ragu untuk memesan sepuluh mangkok keraguan itu bukan karena tidak ada uang, tetapi karena takut anak-anak ini akan tidak bisa menghabiskan makanannya.

"Cegukan ... Guru, bolehkah aku minta semangkuk lagi ..." Andi bertanya dengan bodoh saat dia menghentikan makanannya.

"Tidak!" Handi menolak dengan tegas kali ini. Bukankah bocah konyol ini tahu dia telah kenyang? Dia bersendawa dan ingin makan lagi.

Setelah beberapa saat, kesepuluh anak itu memakan bubur ayam lagi, semuanya bersendawa, tetapi tidak ada setetes pun yang tersisa di mangkuk bubur mereka. Handi merasa sedikit takjub.

Setelah selesai makan, Handi pergi ke bos untuk membayar, dan bos berkata, "Total ribu 150 ribu saja, apakah kalian datang dari pegunungan?"

"Ya." Handi menjawabnya, dan kemudian memberikan uang 200 ribu kepada bosnya.

Bos hanya mengambil 100 ribu , dan tidak menerima 100 ribu lainnya. Dia menghela nafas dan berkata, "Sungguh, anak-anak ini terlihat gemas dan menyedihkan. Saya hanya akan menerima 100 ribu saja. "

Handi tersenyum dan membungkuk dan berkata "Terima kasih", dan kemudian menyerahkan kembali 100 ribu ke tangan bosnya: "Ini akan merugikan daganganmu. Terimakasih atas kebaikannya bos, saya dan anak-anak menerimanya dengan senang hati, tetapi uang ini kami tidak dapat menerimanya. Kamu juga mencari uang dari pagi hingga sore akan sangat tidak enak bagi saya untuk merepotkanmu, terima kasih. "

Handi membawa anak-anak dan berbalik untuk pergi setelah berbicara, tidak memberikan kesempatan lain kepada pemilik warung untuk memberikan kembali uangnya.

Setelah meninggalkan warung, Handi dan rombongannya pergi ke tempat tunggu bus yang menuju ke arah kota.

"Ondel-ondel ..."

Tiba-tiba, sebuah lagu keras terdengar dari kejauhan diiringi suara gemuruh.

Ada semburan debu, dan mereka melihat sebuah boneka besar keluar dari lapangan. Ondel-ondel ini memiliki warna merah dan putih. Ada dua speaker besar diatas gerobak yang mengikutinya di belakangnya. Nyanyian berisik "Ondel-ondel" muncul dari stereo murahan ini.

Melihat dua ondel-ondel, Handi sedikit nostalgia dengan kehidupannya yang lalu, dulu dikota B pun sama mempunyai karnaval tradisional yaitu barongsai tradisional dan Handi sangat menyukai karnaval itu..

Berpaling untuk melihat kesepuluh anak itu lagi, melihat punggung ondel-ondel, yang perlahan-lahan tidak terlihat karena debu beterbangan, muncul lagi seseorang yang memiliki rambut runcing keatas. Melihat hal ini anak-anak sangat terkejut.

" Skeerrr ahh ..."

Orang itu pun berjoget-joget mengikuti alunan musik yang keluar dari stereo murahan itu, mungkin karena musiknya terdengar seru dan ada orang yang mendahului untuk berjoget, banyak orang pun ikut bergabung.

" Orang yang rambutnya runcing keatas itu memiliki warna rambut yang warna-warni! "Andi berteriak, menunjuk orang itu di yang sedang berjoget.

Orang yang sedang berjoget itu sepertinya mendengar teriakan Andi, dan menghentikan tariannya lalu berdiri di depan Handi dan anak-anak.

Orang dengan gaya rambut runcing warna-warni keatas menggelengkan kepalanya dengan keras, tetapi gaya rambutnya yang keras seperti besi tidak bergerak sama sekali.

"Teman kecil," kata anak punk itu dengan nada serius dan ekspresi serius, "Rambut ini adalah style zaman sekarang, mengerti?"

Di belakang gerobak stereo pun yang memiliki gaya rambut dan riasan yang sama dengan orang didepan anak-anak dan Handi juga berkata dengan nada unik: "Kami adalah pria dengan style keren, jangan mengolok-olok gaya kami? Ah, Kalian sekumpulan anak miskin yang baru keluar dari pengunungan kan? Apa maksudmu dengan memiliki rambut runcing di kepalaku? Ini namanya fashion, fashion, fashion, oke? "

Handi dan yang lainnya melihat keduanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, terutama karena mereka tidak tahu bagaimana harus berbicara dengan mereka.

"Ya," kata anak punk rambut berwarna biru dengan bangga, "Iamfesyenman."

Bahasa Inggris kedua orang ini membuat kulit kepala Handi mati rasa, terutama kata-kata fesyennya, yang memberinya perasaan yang sangat istimewa.

Keduanya menggelengkan kepala dengan bangga, lalu berbalik sambil berjoget lagi. Mengeraskan suaranya lagi, dan mereka terus menyanyikan lagu tadi, lalu mereka berjalan pergi.

Dari kejauhan, dia melontarkan kalimat kepada Handi: "Sekelompok orang ndeso yang tidak mengerti fesyen."

Next chapter