"Ayssa," aku membangunkannya pelan, "ayo kita sarapan."
Tubuhnya menggeliat lalu melihatku, ada senyuman simpul di ujung bibirnya.
"Sekarang pukul berapa?" Suaranya serak.
"Setengah tujuh." Jawabku.
"Apa sudah ada kabar lagi mengenai kakak?"
Aku terdiam sesaat. Menatap matanya yang tampak sendu penuh kesedihan.
Aku menggeleng pelan, "belum."
Dia menghela napas kemudian berusaha bangkit, aku mencoba membantunya.
Tubuhnya tampak lemas sekali. Ku raba dahinya, terasa panas. Aku segera membawakannya bubur dan air hangat. Untungnya, dia mau memakan itu, walaupun hanya sedikit.
Setelah selesai menyuapinya, kubaringkan lagi Ayssa di atas kasur. Namun dia enggan dan justru ingin duduk.
"Ada apa? Kamu kan sedang tak sehat." Kataku.
"Aku baik-baik saja Rein. Hanya sedikit pusing. Sebentar lagi juga sembuh."
"Tapi kamu demam, Ayssa. Istirahat saja di sini."
"Tidak, Rein. Kamu jangan khawatir. Aku kuat kok." Dia menyunggingkan senyum, "orang-orang pada kemana?"
"Kalau bibi dan paman sedang ke kantor."
"Kalau Alif?"
"Sepertinya masih di kontrakan."
Dia mengangguk pelan. Setelah itu, aku bangkit dan membereskan kamar yang nampak berantakan. Bedak, body lotion, parfum, sisir dan yang lain ku simpan sejajar agar terlihat rapi.
Di sisi lain, aku sangat mengkhawatirkan kondisi Ayssa. Apalagi keadaannya langsung drop ketika menemukan jas Hamzah kemarin. Mulutnya tak banyak bicara. Tapi matanya menyiratkan luka dan kepedihan yang mendalam.
Aku jadi ingat Alif pernah bilang, seorang adik akan melihat apa pun perilaku dari seorang kakak. Dan terkadang, jika sang adik sangat menyayangi kakaknya, dia akan berusaha menjadi sepertinya di setiap sisi dan sikap. Maka tak heran kalau kakaknya sedang berada di situasi genting, adiknya pun akan merasakan hal yang sama.
Yaa memang mereka berdua itu bukan saudara kandung. Tapi jalinan cinta kasih mereka melebihi ikatan darah. Tak perlu menilai seseorang dari caranya memanjakan adiknya. Karena kita tak tahu, bagaimana sulitnya seorang kakak membuat adiknya sadar bahwa hidup tak akan selalu mengiring mereka berdua untuk berjalan bersama.
Sebenarnya berat tugas seorang kakak. Apalagi jika harus dihadapkan pada dua pilihan berbeda yang salah satunya ditentang oleh sang adik.
Aku juga tahu betapa beratnya menjadi seorang adik yang tak mampu melakukan apa pun ketika kakaknya berada dalam kesulitan.
Dan hal ini, tengah dihadapi oleh Ayssa sendiri.
"Rein," panggilnya tiba-tiba, "apa benar darah itu milik kakak?" Lanjutnya lagi.
Aku menghampirinya dan ikut duduk di tepi kasur. "Kamu jangan khawatir," aku mengelus punggung tangannya, "kita berdoa semoga Hamzah baik-baik saja dan semoga darah itu, bukan milik kakakmu. Ya bisa jadi kan para penjahat itu sengaja melakukan semua sandiwara hanya karena ingin membuat kita takut?"
Ayssa menatapku.
"Jadi...." Aku mengelus kepalanya, "kamu jangan terlalu memikirkan itu semua. Yang harus kita lakukan saat ini adalah, bagaimana caranya untuk menguatkan diri sendiri. Kalau Hamzah kuat, kamu juga harus kuat. Oke?"
Dia tersenyum.
"Baiklah. Sekarang..., kamu mau apa?"
Dia mengerutkan dahi, "maksudnya mau apa?"
"Ya barang kali kamu mau cemilan, atau mungkin mau jalan-jalan untuk menyegarkan pikiran.
"Ohh..., aku tak mau apa pun rein," dia balik memegang tanganku, "aku hanya ingin satu permintaan saja."
"Apa?" Tanyaku penasaran.
"Aku hanya ingin kamu bersikap baik pada kakak. Walau memang sifatnya itu sering membuatmu kesal, tapi aku mewakili kakak untuk meminta maaf padamu. Maafkan kakakku ya." Katanya sambil memegang kedua telinganya.
"Kamu jangan melakukan itu," aku melepaskannya. " Justru aku yang selalu berpikiran buruk tentang Hamzah. Aku yang seharusnya meminta maaf padanya."
"Tapi,"
"Sudahlah," aku menyela ucapannya, "yang terpenting saat ini adalah, bagaimana caranya agar bisa menemukan Hamzah. Kamu jangan berpikir tentang apa pun lagi ya. Termasuk kejadian kemarin."
Ayssa mengangguk sembari matanya berkaca-kaca.
"Ya sudah, aku tinggal sebentar ya." Kataku sambil membawa mangkuk kotor bekas bubur dan gelas tadi untuk dibawa ke dapur.
Jujur. Ketika mendengar Ayssa mengatakan hal itu, hatiku rasanya tersayat sekali. Perih. Seperti ada luka menganga yang jika dibiarkan lukanya akan terus menimbulkan rasa sakit.
Apa benar, sikapku ini pada Hamzah terlalu keterlaluan hingga membuat Ayssa berkata seperti itu?
Aku geram. Ingin sekali memutarbalikan kenangan agar semua kesalahan yang telah aku perbuat bisa segera diselesaikan dengan baik.
Karena dalam hati kecilku selalu saja dibubuhi rasa takut. Takut jika penyesalanku nanti sepenuhnya tak diterima oleh Hamzah ataupun Ayssa.
Tapi aku harus kuat. Aku tak boleh menangis. Aku harus bisa mengendalikan emosi ku ketika berhadapan dengan Ayssa.
Karena Ayssa kali ini berbeda. Dia wanita yang begitu rapuh dan selalu memurungkan dirinya sendiri.
Aku sudah mencuci mangkuk bekas tadi lalu aku kembali ke kamar. Tapi ketika aku sudah sampai di ambang pintu, Ayssa tak ada di sana dan kudapati ia sudah duduk di ruang tamu sendirian. Tangannya mengelus-elus sofa dengan lembut. Saat aku tanyakan apa maksudnya, dia menjawab, "kakakku pernah duduk di sini saat itu."
Mendengar hal itu, seketika aku membalik badan dan mengusap air mataku. Aku semakin tak tega melihat kondisinya yang makin hari kian melemah ini.
Ya Allah, kapan semua ini segera berakhir? Aku tak mau melihat Ayssa selalu menerpuruki keadaan. Aku ingin semuanya kembali normal.
Tak berselang lama, sebuah mobil terparkir di depan rumah. Kulihat paman dan bibi sudah pulang. Aku segera menemuinya lalu mencium punggung tangannya.
Raut mereka tak seperti biasanya. Apalagi paman, setelah masuk ke rumah dia langsung pergi ke kamar tanpa mengucapkan apa pun. Hidungnya merah dan matanya sedikit sembab. Begitu pula dengan bibi. Dia tak banyak bicara.
Aku menghampirinya, sekadar ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Bi, ada apa?" Lirihku.
"Ada yang tidak beres dengan Hamzah."
Seketika aku tertegun mendengar ucapan bibi. Jantungku berdegup begitu kencang tak karuan. Sekilas aku menoleh Ayssa yang masih mengelus-elus sofa.
"Memangnya apa?" Kataku.
Bibi memberikan sebuah kertas kepadaku, "baca saja. Kertas ini hanya salinan, yang aslinya ada di kepolisian."
Aku mengambilnya lalu membukanya pelan. Rasa gemetar kian menyergap tubuh hingga membuat punggungku memanas.
Aku memandang bibi. Tanpa ekspresi apa pun bibi hanya berkata, "bukalah."
Sejenak aku menutup mata ketika kertas sudah dibuka, berharap semoga apa yang tertulis berbeda dengan apa yang aku pikirkan saat ini.
'Kalian semua tak usah mencari Hamzah. Karena kemanapun kalian mencari, Hamzah tak akan pernah ditemukan. Jangan sekali-kali juga kalian ingin tahu keberadaannya. Karena saya sudah mengirimkan jas itu di belakang gedung. Yang itu artinya, kondisi Hamzah kurang lebih sama seperti keadaan jas hitam miliknya saat kalian temukan di sana.
Teruslah mencari. Karena semakin kalian mencari, semakin senang kami membuat Hamzah tersiksa.
Tunggulah dalam waktu tujuh hari, karena akan ada hadiah mengejutkan yang kalian temukan di depan rumah Hamzah.
Dan oh! Satu lagi, segerakan saja carikan tempat penguburan sekaligus tukang galinya. Agar prosesi nantinya lebih cepat. Hahaha.'
Seketika aku menutup mulut dan tak sengaja menjatuhkan kertas itu. Lutut tiba-tiba lemas hingga membuatku duduk bersimpuh. Aku masih tertegun, tak percaya dengan apa yang baru saja aku baca tadi.
Kalau tak ada Ayssa, aku akan menjerit keras meratapi nasibku dan Hamzah yang malang ini. Di sisi lain dia menderita, di sisi lain juga aku memiliki dosa padanya yang belum tentu termaafkan.
Aku harus bisa menguatkan diri. Sementara jantung masih berdegup kencang, darah berdesir tak karuan yang membuat hati bergejolak untuk ingin melampiaskan rasa ini.
Masih tak percaya, bibi berusaha menguatkanku. Katanya, kita tak boleh menyerah. Karena ini bukan akhir dari segalanya.
"Rein, ada apa?" Seketika aku mengambil kertas itu dan menyembunyikannya di belakang punggung.
"Apa ada kabar mengenai kakak?"
Aku memandang bibi.
"Bi, apa ada kabar mengenai kakak?" Ayssa menghujani kami dengan pertanyaan yang sama.
Bibi tersenyum lalu mengelus kepala Ayssa, "tidak ada, ay."
"Lalu ada apa dengan Reine?"
"Entahlah. Sepertinya dia kurang sehat."
Kulihat Ayssa nampak khawatir dan memegang dahiku, "kamu sakit? Kenapa tak bilang. Aku bisa membawamu ke kamar." Dalam penderitaannya itu, Ayssa masih sempat cemas dan membopongku ke kamar.
"Aku baik-baik saja, Ayssa." ucapku ketika dia akan membaringkanku.
"Sekarang, giliran aku yang harus merawat mu, ya."
Tanpa sengaja, aku melihat matanya yang bengkak sekali. Sembab. Menyiratkan penuh luka dan kesedihan. Karena itu, aku tak bisa menatapnya lama-lama. Hatiku begitu teriris melihatnya menderita seperti itu.
"Kamu yang harus di sini, Ayssa. Aku baik-baik saja. Lihat," aku memegang dahinya, "kamu yang demam. Kamu yang seharusnya istirahat." Aku bangun dan kembali membaringkannya ke atas kasur.
"Tapi,"
"Sudah. Kamu di sini saja, ya." Aku ada urusan sebentar.
"Kamu akan ke mana?"
"Aku akan menemui Alif dulu sebentar."
"Mau mencari kakak?"
Aku menatapnya sebentar lalu mengangguk pelan.
"Aku ingin ikut." Dia akan bangun tapi aku menghentikannya.
"Tidak, Ayssa. Kamu di sini saja. Kamu masih sakit."
"Tap-"
"Aku mohon, Ayssa." Pintaku memelas.
"Ya sudah," rautnya terlihat pasrah,"kamu hati-hati ya. Kalau ada kabar mengenai kakak, segera hubungi aku."
Aku mengiyakannya lalu segera beranjak dari kamar. Aku juga meminta izin pada bibi untuk menemui Alif.
Baru saja aku keluar dari pintu, Alif sudah ada di depanku.
Tanpa bertanya apa pun lagi, dia seperti sudah tahu apa yang sedang terjadi.
"Kamu mau kemana?" Tampaknya dia begitu khawatir. Sementara aku hanya diam sembari duduk di kursi dan tak tahu harus memulai dari mana.
"Katakan Reine, apa kamu sudah tahu semuanya?"
Mataku mulai memanas dan tak berselang lama tangisku pecah. Ingin aku menjerit dan melemparkan semua benda yang ada di sekitar. Meluapkan segala emosi yang selama ini dipendam di hadapan Ayssa.
Aku tahu harus bagaimana. Baru kali ini aku bisa serapuh, selemah, se tak berdaya ini. Aku terus memukul-mukulkan tangan pada kursi. Kesal, marah, takut, semua tercampur aduk menjadi satu.
Bagaimana aku harus mengatakannya pada Ayssa? Karena pada akhirnya dia harus tahu dan mengetahui keadaan yang sebenarnya juga.
"Tenanglah, rein. Tenang." Aku masih mendengar Alif yang mencoba menghiburku, "aku juga sudah tahu dari bibi."
Aku menatapnya yang ikut menangis juga. "Kamu sudah tahu?"
"Iya, sebelum kemari bibi menemuiku dulu."
Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Jantungku rasanya begitu sesak sekali. Perih sekaligus patah semuanya aku rasakan.
"Alif, bagaimana ini? Aku belum mengubah sikapku padanya dan dia-" suaraku tercekat tatkala sosok Hamzah menghantui pikiran.
"Kamu harus sabar, Reine. Aku yakin dia akan memaafkanmu. Aku juga yakin dia baik-baik saja."
"Bagaimana mau baik-baik saja? Sementara dalam surat itu," aku tak bisa mengatakan apa pun lagi. Hatiku diliputi kecemasan dan ketakutan yang luar biasa.
"Ini bukanlah akhir dari segalanya. Masih ada waktu sebelum tujuh hari itu, kita harus membawa Hamzah kembali dalam kondisi sehat."
"Tapi bagaimana caranya?"
"Kita serahkan semua hasilnya pada Allah. Yang terpenting kita harus berusaha terlebih dulu. Mari," dia bangkit lalu mengusap air matanya.
"Kemana?"
"Usap dulu air matamu," dia memberiku tisu, "kita harus segera mencari Hamzah."
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!