(Jangan lupa siapkan tissue atau guling sebagai bahan kekesalanmu nanti. Karena ada beberapa hal mengejutkan ketika kamu membaca bab ini sampai akhir. Semoga suka!)
Happy reading
...
Semua sudah selesai dipersiapkan. Hiasan di dinding pun sudah aku tempel. Semuanya sudah rapi dan menarik, tinggal beberapa menit lagi paman pasti pulang. Aku pun segera bersiap-siap mandi, sholat, dan memakai jilbab.
Rasanya, aku ikut bahagia sekali bibi merencanakan semua ini. Apalagi kisah cinta mereka yang jarang dilanda masalah. Hanya karena pondasi saling percaya pada masing-masing, masalah seakan takut hinggap pada kehidupan mereka. Sempat aku berpikir, ingin sekali hidupku nanti seperti paman dan bibi. Saling menyayangi hingga hari tua.
Pernikahan paman dan bibi sudah 16 tahun. Tapi bagi bibi, perjalanan 16 tahun seperti tak terasa apalagi menjalaninya bersama paman. Suka dan duka sudah mereka jalani. Cacian dan cemoohan dari keluarga pun seakan makanan sehari-hari bagi mereka. Walau sebenarnya bibi sudah terbiasa mendengarnya sampai saat ini.
Tadi aku bertanya padanya, sedikit ragu, tapi karena penasaran, aku tanyakan saja padanya.
"Bibi, apa... Bibi sudah memeriksa ke dokter kondisi paman dan bibi? Apa mungkin ada masalah?"
Bibi terdiam namun tak lama kemudian tersenyum.
"Sudah Rein. Bahkan sudah beberapa kali. Dan tidak ada masalah pada kami berdua. Semuanya baik-baik saja. Bibi juga sudah meminum banyak jenis obat juga program kehamilan. Tapi belum ada satupun yang berhasil," bibi menghela napasnya berat."Mungkin, Allah belum memberikan kepercayaan pada bibi dan paman."
Aku mengelus pundaknya. Rasanya sedih sekali melihat kondisi mereka. Tapi bagaimana lagi? Kehendak Allah adalah yang paling terbaik bagi pasangan ini. Aku berharap semoga mereka bisa cepat dikaruniai seorang anak. Karena harapan dan hadiah teristimewa sebuah keluarga adalah anak. Aku yakin semua keluarga pasti setuju dengan ucapanku ini.
"Tenang bi. Bibi dan paman adalah pasangan yang kuat. Semua usaha sudah bibi lakukan, yang tinggal bibi dan paman lakukan ada berserah diri pada kehendak Allah. Bibi sabar saja, semua akan indah pada waktunya."
Bibi tersenyum sambil terisak.
"Aku ingat kata Alif. Ketika kita tengah putus asa terhadap suatu masalah, ingatlah sebelumnya bagaimana perjuangan kita bisa hidup sampai saat ini. Janganlah menyerah atau putus asa, karena perlahan kita pasti ditujukan pada jalan yang terbaik. Asalkan, tetap ikhtiar dan berdoa pada Allah. Insyaallah, semuanya akan lekas berakhir."
"Bibi harus belajar banyak darimu dan Alif Rein. Terima kasih telah membuat bibi merasa kuat. Rasanya, bibi ingin sekali menemui Alifmu. Bibi yakin pria pilihanmu adalah pria yang terbaik. Apalagi ketika bibi tahu, semua ini kamu peroleh karena belajar darinya."
"Itulah mengapa aku tak ingin membiarkannya pergi dariku. Karena aku saat ini adalah buah nasihatnya di masa lalu."
"Reine? Kamu bicara sendiri?" Aku menyadari bibi masuk ke kamarku.
Sebenarnya aku malu. "T-tidak bi. Hanya, aku sedikit mengingat momen kita tadi."
Bibi tersenyum lalu mengusap kepalaku. "Bibi yakin Alif pasti akan datang. Percayalah pada Allah."
Aku mengangguk.
"Hamzah dan Ayssa kenapa ya belum datang?"
"Tak tahu bi, Ayssa pun tak menelponku."
"Oh mungkin mereka sedang di jalan. Mari kita ke luar." Bibi mengajakku. "Paman sudah ada di teras mau masuk."
"Benarkah?" Tanyaku.
"Iya."
Lalu dengan sigap kita sama-sama mengendap ke ruang tamu. Semua lampu dimatikan, dan kita duduk tanpa berbicara satu kata pun. Selang beberapa detik, seseorang membuka pintu dengan hati-hati. Merasa ganjal, dia mencari bibi.
Tapi bibi tak menyahut, ketika paman memanggilku, aku disuruh bibi untuk tidak menyahutnya pula. Aku terpaksa melakukannya. Sambil sesekali menutup mulut karena rasanya ingin sekali tertawa.
Aku melihat samar-samar paman tengah menuju tempat saklar. Kami berdiri, bersiap dan bibi membawa kue. Ketika paman menghidupkannya.
Ceklek
"Happy marriage anniversary untuk kita." Bibi segera menghampiri paman. Paman terkejut, dan aku melihat paman juga tengah membawa kue untuk pernikahannya. Mereka sama-sama tertawa dan kemudian meniup lilin di dua kue. Usut punya usut, mereka sama sekali tak mengatakan apapun, semua terjadi karena inisiatif mereka sendiri.
Aku di sini menikmati suasana itu. Paman dan bibi begitu romantis. Waktu tak lekang membuat mereka lupa atau semakin menjauh. Justru semakin hari, kerekatannya semakin terlihat. Walau hanya menyaksikan, tapi aku merasa ada aura kebahagiaan yang mereka pancarkan pada rumah ini.
Setelah prosesi foto, saling menyuap kue lalu berpelukan, bibi mengajakku untuk foto bersama. Ya mana mungkin aku tak mau, segera aku menghampirinya dan kami pun berswafoto.
Lalu aku mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu. Ketika aku membukanya, ternyata lelaki itu lagi. Aku mendengus kesal meninggalkannya lalu menyimpan kue di atas meja. Rasanya sudah tak berselera lagi makan kue ini di depannya.
Bibi menyambutnya penuh antusias. Paman pula. Mereka sama-sama menemui Hamzah, sementara aku duduk di kursi sambil menyantap nasi goreng ati ampela. Pura-pura tidak melihat, aku menyantapnya begitu lahap sekali. Sambil sesekali melihat ponsel, agar terlihat so sibuk. Walau sebenarnya hanya buka Instagram dan mencari berita-berita terkini. Dan ya, notifikasi panggilan masuk kepadaku belum berakhir. Pagi tadi ada 12 panggilan tak terjawab, lalu sore tadi ada 10. Entahlah, rasanya aku seperti seorang artis terkenal yang tengah dicari banyak orang.
"Reine?" Kata paman, "ajak Hamzah masuk."
Aku langsung menyimpan ponsel. Memandangnya, yang nampak tersenyum padaku. Tapi aku langsung berpaling pura-pura tak melihat. Dan mau tak mau, aku harus mengikuti apa kata paman.
"Eh, mana Ayssa?" Aku bingung mencari anak itu di luar tapi ternyata tak ada.
"Dia tak bisa datang. Katanya ada tugas mendadak."
Aku hanya mengangguk. Sebenarnya tadi aku tak bertanya padanya, aku hanya bergumam kecil tapi dia langsung menjawabku. Aku kadang berpikir dia itu seorang dokter atau kah peramal yang selalu saja tahu apa yang orang katakan.
Kami pun masuk lalu pergi ke tempat makan. Tapi sebelum itu, Hamzah memberi kado pada pernikahan bibi dan paman. Lumayan besar, dan kotaknya berwarna coklat. Ketika aku disuruh untuk membukanya, ternyata hadiah yang diberikan Hamzah adalah keluarga boneka Teddy. Yang satu wanita yang mungkin maksudnya adalah ibu, lalu ayah, dan sebuah Teddy bear kecil yang tengah duduk di antara mereka. Bibi terharu melihat kado ini. Paman pula banyak berterima kasih padanya. Dan Hamzah menjawab, "Sama-sama, semoga bibi dan paman segera dikaruniai anak. Sama seperti keluarga Teddy bear ini yang nampak bahagia."
Kami pun turut mengaminkannya.
Setelah itu, aku mengajaknya pergi ke tempat makan. Bibi dan paman sebelumnya sudah ada di sana. Dia di belakangku, tapi aku merasa tak enak, lalu menolehnya.
"Ada apa?" Katanya.
"Kamu jalan duluan saja. Aku di belakang." Kataku sambil berjalan membelakanginya.
"Loh kenapa? Kamu saja duluan."
"Kamu ajalah, kan kamu cowok."
"Tidak terima kasih. Kamu saja." Selanya.
"Tapi kamu cowok. Sudah sepatutnya di depan, kan sebentar lagi bakal jadi seorang pemimpin."
Dia banyak sekali alasan. "Kamu cewe, kalo kamu di belakang, nanti ada yang culik gimana? Kan aku tak tahu."
Aku menatapnya tajam. Rasanya mengobrol dengan lelaki ini pasti memicu perdebatan. Aku pun mendahuluinya lalu segera menemui bibi. "Menyebalkan." Batinku.
"Tak apa dikata menyebalkan, yang terpenting aku masih hidup." Katanya pelan.
Aku merasa aneh pada pria ini. Dia selalu tahu saja apa yang aku katakan di dalam hati. Sementara itu aku melihat bibi tertawa geli pada kami. Entahlah, aku semakin tak nyaman dekat dengannya.
"Rein?" Kata bibi.
"Iya?" Jawabku sambil menyuap nasi.
"Bibi baru tahu, ternyata Hamzah juga suka nasi goreng ati ampela ya. Benar kan Hamzah?" Bibi melihat Hamzah yang tampak lahap sekali makan.
Hamzah mengangguk. "Iya bi, ini jadi makanan kesukaan saya semenjak di Singapura."
"Benarkah? Memang di sana ada menu ini?"
"Tidak bi. Ada orang Indonesia yang mengenalkan menu ini pada saya. Ketika saya mencobanya, memang benar enak sekali."
Aku tak menghiraukannya. Bahkan, aku menambah lagu nasi goreng di wadah yang sudah bibi sajikan. Aku tak melihat siapapun saat makan, dan telinga aku pula berusaha untuk tak memasang suara apa pun.
Bibi menyenggol tanganku sambil sedikit berbisik. "Dia menyukaimu."
Aku langsung tersedak. Segera membawa air lalu meminumnya.
Bibi terlihat aneh lalu mendekatiku lagi."Maksudnya, dia menyukai makananmu Rein."
Aku tertegun lalu menatap bibi. "Bi, semua orang memiliki hak untuk bisa menyukai menu ini. Ya jadi apa salahnya kalau kesukaannya sama."
Bibi masih menahan tawa lalu meninggalkan tempat makan. Sementara itu paman segera pergi ke ruang tamu untuk menyantap kue. Tinggal aku dan Hamzah yang ada di sini. Segera aku menghabiskan makanan dan membawanya ke dapur.
Malas. Sebenarnya aku malas berdekatan dengan dokter aneh ini.
"Tunggu."
Aku mendengarnya seperti memanggilku. Dan terpaksa aku menjawabnya tanpa menoleh, "apa?"
"Bukankah semua filenya sudah di bawa ke Indonesia? Dia juga kan sudah pulang. Lalu kenapa kamu menyuruhnya kembali ke Singapura?"
Aku merasa aneh pada jawabannya. Ketika aku membalik badan, ternyata dia tengah menelepon seseorang.
Aku malu bukan main. Kukira tadi dia memanggilku. Dan ternyata bukan. Ah Reine! Kamu ini memalukan.
Tapi nampaknya dia tengah sibuk berbicara dengan seseorang. Nah tepat sekali! sebelum dia menyadari perilaku ku tadi, aku segera pergi ke dapur dan mencuci piring.
Dan tak lama kemudian, suara kaki melangkah tengah mendekat kearah ku.
Aku terus mencuci piring, tak menggubris apa yang aku dengar.
Setelah itu, sosok di belakangku tertawa dan sejurusnya berkata, "ada orang yang berusaha menghindar dari apa yang ia lakukan."
Aku langsung bisa menebaknya.
"Kamu kira aku tak tahu perilakumu tadi?" Dia terus tertawa geli padaku.
Aku langsung menyelesaikan tugas ini. Setelah itu menghadapnya. "Memangnya apa masalahmu? Ya terserah aku mau melakukan apa."
"Aduh, ganas sekali. Nanti ku beri racun sianida, sepertinya kamu langsung diam."
"Mana mungkin? Sianida saja akan takut padaku."
"Oh benarkah?" Tanyanya meyakinkan.
"Benar, jadi yaa buatlah. Aku tak takut."
"Ya sudah akan ku buatkan nanti."
"Bagus. Nanti aku akan melaporkanmu pada polisi dengan kasus perencanaan pelenyapan pada wanita."
Dia berlagak sombong. "Ya silakan. Dengan pengacara terbaik atau terhebat apa pun yang kamu miliki, tuduhanmu nanti tak akan menang."
Aku semakin tersulut ucapannya. "Tuduhan? Hei! Siapa yang menuduh? Bukankah kamu tadi bilang akan membuatnya?"
"Ya jelas itu tuduhan karena tak ada bukti. Sementara aku punya bukti yang menyatakan bahwa aku tak bersalah."
"Apa?" Jawabku menantangnya.
Dia langsung menunjukkan ponselnya. "Aku punya ini. Semua ucapanmu ada di sini. Pun ucapan yang mengatakan bahwa kamu menyuruhku untuk membuat obatnya."
Aku terkesiap. "Hamzah kamu,-"
"Apa?" Dia tertawa. "Kamu takut?"
Aku semakin kesal padanya. "Kamu licik! Terserahlah. Aku tak peduli apa yang kamu lakukan. Cepat pergi dari sini. Aku semakin malas dekat denganmu." Aku berusaha menghindarinya, namun dia terus saja mengikutiku.
"Tapi aku tidak." Jawabnya datar.
"Ya terus apa masalahnya buatku? Pergi!" Aku mendorongnya untuk menjauh.
Dia masih menertawaiku. Lalu selang beberapa detik ada panggilan masuk pada telponnya. Dia segera mengangkatnya. Lalu aku melihat reaksinya sedikit terkejut dan berkata, "aku akan segera ke sana."
Hatiku terasa lega mendengarnya. "Pulanglah, dan jangan kembali lagi." Batinku menggerutu.
Dia mematikan telpon. Lalu segera mencuci piring habisnya tadi. Aku membiarkannya melakukan itu, rasanya dia harus memang menghormati sedikitnya orang-orang yang ada di sini. Khususnya aku, ya meski pun aku juga adalah tamu, tapi setidaknya dia mengerti. Kalau sikapnya pada bibi dan paman terlihat sopan, dan mengapa sikapnya kepadaku begitu menyebalkan?
"Aduh." Sejurusnya aku mendengarnya sedikit merintih lalu aku segera menghampirinya.
"Ada ap-, Hamzah?" Aku terkejut melihat jarinya berdarah. "Kamu ini lagi cuci piring atau debut atraksi sih? Tunggu di sini, aku akan membawakanmu obat."
"Tak perlu." Dia menghentikanku.
"Tapi lukamu,-
"Tak usah," tukasnya. "Lagi pun menurutmu aku seorang dokter yang pastinya bisa mengobati diri sendiri."
Aku seketika ingat perkataan itu. Nampaknya dia ingin mengajakku berdebat lagi."Sudahlah, pantas saja kamu jadi seorang dokter. Rupanya kurang perhatian. Hahaha." Aku mengambil obat lalu memberikan kepadanya.
Tak lama kemudian, darahnya sudah tak mengalir lagi. "Kan sudah aku katakan, aku ini seorang dokter. Aku bisa menanganinya sendiri, masalah ini sudah biasa aku hadapi."
"Sama luka aja sombong." Ujarku.
"Ini, terima kasih." Dia mengembalikan obatku. "Aku akan pulang seperti apa yang dikatakan hatimu."
Hamzah lalu berdiri dan meminta pamit dariku. Dia sedikit tergesa-gesa dibanding tadi ketika dia mengajakku berdebat saat mencuci piring. Oh iya aku baru ingat! Mungkin telpon tadi yang membuatnya seperti itu.
Dia pulang. Sementara aku membereskan obat-obatan bekasnya tadi.
...
Suasana luar sudah mulai gelap. Aku bersiap-siap wudhu dan melaksanakan sholat Maghrib. Bibi pun melakukan hal yang sama, sementara paman pergi ke masjid.
Entah kenapa ketika aku sudah menyelesaikan sholat dan akan berdoa, mataku mulai memanas. Sebenarnya ada banyak sekali masalah jika perlu aku jabarkan satu-satu. Dan di sini adalah waktu yang tepat untukku mengadukan semua keluh kesah pada-Nya. Aku yakin Allah akan mendengar doaku. Hanya saja mungkin memerlukan waktu agar aku terus bisa meminta pada-Nya.
Aku rindu ibu, rindu ayah, rindu rumah di Bandung, rindu tempat itu, dan aku rindu semua hal apa pun yang ada di sana. Dari hal terkecil sampai hal terbesar semua sudah aku lakukan di sana. Banyak sekali kenangan yang tersimpan, yang entah kapan aku bisa mengulangnya lagi. Walau baru beberapa hari di sini, rasanya aku rindu sekali kota Bandung. Kapan aku bisa kembali di kota penuh kenangan itu? Semuanya hanya takdir yang menentukan.
Aku memandang foto Alif. Lagi-lagi emosional ku luluh ketika melihat wajahnya. Aku tak menyangka kita bisa saling menjauh seperti ini. Benar apa yang dikata orang-orang, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Begitu pula dengan jalan cerita kita. Kalau boleh jujur, sulit sekali rasanya menerima semua kenyataan pahit ini. Aku hanya bisa berdoa, semoga kamu baik-baik saja di sana.
Aku mendengar seseorang seperti akan membuka pintu kamarku. Segera aku mengusap air mata dan membereskan mukena. Ketika pintu terbuka, bibi datang dan meminta izinku untuk masuk. Dengan senang hati aku menjawab 'ya'.
Bibi datang dengan raut yang berbeda. Aku sedikit tegang. "Ada apa bi?"
Dia memegang kedua pipiku dengan begitu lembut. "Benar, doa lebih tajam dibanding semua hal Rein. Dan hari ini segalanya terjadi padamu." Katanya.
Aku tak mengerti. "Maksud bibi?"
"Rasa memang tak pernah berbohong. Walau sudah berpisah bertahun-tahun pun, terkadang kekuatannya tak akan pernah patah. Lagi-lagi aku mengingat katamu tentang kisah Laila dan Majnun. Kekuatan cinta mereka kuat hingga waktu pun tak dapat memisahkan mereka. Walau raga sudah saling menjauh, tapi jiwanya masih melekat pada hati. Yang diharap telah ada. Yang dinanti telah kembali."
Aku semakin tak mengerti ucapannya. "Bibi, maksud bibi apa? Kenapa aku,-"
"Sudahlah." Tukasnya, "lebih baik ikut bibi."
Bibi kemudian memegang tanganku menuju ruang tamu. Ada apa ini? Aku merasa seolah-olah ada angin yang biasa aku rasa setelah sekian lamanya menghilang. Aku semakin kalut, pikiranku semakin menceracau memikirkan semua hal. Jantungku pun berdegup begitu kencang. Ketika aku menanyakannya pada bibi, bibi hanya menjawab, "nanti kamu akan tahu jawabannya sendiri."
Aku di belakang bibi. Ketika sampai ruang tamu, bibi menghentikan langkahnya lalu menolehku. Dia tersenyum kemudian sedikit melangkahkan kakinya ke samping seakan memberiku petunjuk dengan hal apa yang harus aku tahu selanjutnya.
Aku melihat seseorang yang tengah membelakangiku. Dan aroma parfum ini, rasanya aku sudah tak asing lagi. Aku melihat bibi, yang kemudian memberi isyarat kepadaku untuk menghampirinya. Lalu aku mencoba mendekati sosok itu, sedikit demi sedikit, dan ketika jarak kami hanya satu meter, dia lalu membalik badan ke arahku.
Melihatnya aku langsung diam terpaku. Lututku bergetar dan tanganku begitu dingin. Mataku mulai memanas kemudian menitikkan air mata. Kakiku terasa keras, bibirku begitu kelu. Aku tak percaya dengan sosok yang aku temui ini.
"Reine?" Suaranya bergetar ketika menyebut namaku. Aku langsung sadar ketika dia mulai berucap kepadaku. Suara ini, suara ini yang telah lama hilang dan aku rindukan. Aku masih diam. Tak percaya dengan apa yang terjadi. Hanya air mata yang bisa menjelaskan semuanya.
"Aku datang." Lanjutnya lagi dengan air mata yang sama-sama jatuh dari pipi kami. "Ini aku temanmu, orang yang selama ini kamu rindukan telah kembali."
"Alif?" Gumamku.
Dia tersenyum padaku.
Benar. Dia Alifku, senyumannya mampu membuat tubuhku tak lagi diam terpaku. Aku segera menghampirinya dengan kondisi tangan yang masih dingin. "Apa aku bermimpi?" Kemudian aku mencubit pipiku, terasa sakit. "bibi apa bermimpi lagi seperti kemarin?" Aku menghampirinya yang tampak terharu melihatku.
Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak Reine, semua doamu sudah Allah kabulkan saat ini."
"Pergilah, temui sahabat terbaikmu."
Aku terperanjat. Dan segera menemui Alif. Sulit sekali aku aplikasikan dalam kata-kata ketika aku bisa melihatnya lagi. Bukankah tadi? Aku baru selesai berdoa kepada-Nya untuk meminta agar dia baik-baik saja? Dan apakah? Apakah semua doaku sudah terkabulkan hari ini?
"Iya Reine." Dia menjawabku seolah-olah tahu apa yang aku pikirkan. "Aku sudah kembali. Aku kembali untuk temanku. Apa kamu masih ingat padaku?"
"Alif," aku seketika terduduk. Tubuhku terasa lemas, "apa ini kamu? Aku, aku tentu saja tak akan pernah melupakanmu."
"Aku Alifmu Reine. Aku sudah kembali sejak 5 tahun kemarin." Dia menangis, "aku begitu memikirkanmu juga merindukanmu. Aku tahu kamu menderita tanpaku Rein. Aku tahu."
"Lalu kenapa kamu pergi?" Timpal ku."Bukankah kamu tahu aku tak bisa hidup tanpamu? Aku seakan mayat hidup yang berjalan di atas muka bumi ini setelah kamu pergi."
"Ceritanya panjang Rein. Aku juga tak menyangka ternyat kisah kita begitu rumit."
Aku masih tak percaya hidupku ternyata sudah kembali. "Lalu dari mana kamu tahu aku ada di sini?"
Dia menunjuk hatinya, "ini, ini yang membuatku yakin kamu ada di sini."
Aku menangis begitu histeris. Sementara Alif terus saja membuatku yakin bahwa dia adalah temanku. Dia juga sama-sama menangis. Setidaknya ini adalah pelepas rindu kami setelah lima tahun tak saling bertemu.
"Aku sudah menelponmu berpuluh-puluh kali. Mengapa kamu tidak menjawabnya?"
Aku seketika tertegun.
"Tak pagi, tak siang tak malam aku menelponmu. Tapi tak satu pun yang terjawab. Aku kira kamu sudah melupakanku."
Entah kenapa mendengarnya berkata seperti itu aku merasa takut. "T-tidak, kamu jangan berpikiran seperti itu Alif. Aku tak tahu nomor yang selama ini menelponku adalah kamu. Aku juga sudah mencoba balik menelponmu, tapi tak ada jawaban sama sekali. Sebenarnya kamu ke mana?"
Aku masih diam di posisi. Tak bergerak sama sekali. Sementara kepalaku terasa berat. Pandanganku pun mulai tidak jelas. Tak lama kemudian, semua terlihat gelap.
...
Assalamualaikum, bagaimana kabarnya hari ini?
Bagaimana pula episode kali ini? Semoga suka ya. Dan jangan lupa untuk berikan komentar nya(:
ohiya, kalau ada kesempatan, silakan di review ya karya saya dan jangan lupa tambahkan rating juga agar menjadi motivasi saya ke depannya. terima kasih^^
Phir Milenge
Salam