"PULANG sama siapa?"
Chanyeol mencegah kaki Wendy yang mau melangkah menuju luar pekarangan sekolah. Dirinya jelas penasaran, sama siapa Wendy bakal pulang, kalau bukan sama dia?
"Bukan urusan lo," decak cewek itu sambil menggeser kakinya untuk mencari jalan lain. Lagi-lagi, Chanyeol lebih gesit mengadangnya. "Minggir, Chan."
"Pulang sama siapa?" ulang Chanyeol. Kali ini, air mukanya begitu serius.
"Sama abang ojek, puas?" Wendy menatap mata Chanyeol sekilas dengan raut muak. "Awas."
"Jangan marah, dong, Wen," pinta Chanyeol, merundukkan tubuh menjulangnya pada Wendy, menunjukkan wajah seberharap mungkin. "Pulang sama gue, ya?"
"Gak mau."
"Plis, plis, plis..."
"Udah, ah. Jangan ngehalangin."
"Lo mau apa, Wen? Gue kasih. Tapi, pulang bareng."
Wendy melirik Chanyeol dengan tatapan tertarik, membuat cowok itu mengulas senyum.
"Ya udah, pulang bareng."
"Yeees!"
"Tapi, gue yang bawa motor."
"Hah?"
•••
Seperti yang ditakutkan Chanyeol, mereka jatuh di tengah jalan menuju pulang.
Selama 17 tahun hidup, Wendy gak pernah bawa motor, sebelumnya. Makanya, dia pengin banget diajarin nyetir motor sama Chanyeol.
Terus, gara-gara apa, jatuhnya?
Gara-gara, Chanyeol nembak Wendy. Lagi.
Di belakang, Chanyeol yang dibonceng, terus-terusan ngegodain Wendy. Yah, memang udah naturalnya begitu.
"Kalau lo lancar bawa motor, kita jadian, ya?"
Habis Chanyeol bilang gitu, cekaman tangan Wendy pada setir motor mendadak oleng. Chanyeol kepanikan dan memeluknya dari belakang—yang justru membuat cewek itu makin gelagapan dan akhirnya–gubrak! Celaka.
Hidup berdampingan dengan Chanyeol memang seperti membawa malapetaka bagi Wendy. Kenapa dia gak bisa bersikap normal aja, sih?
"Makanya, hati-hati." Itu adalah kalimat pertama yang dilontarkan bundanya Chanyeol, waktu Wendy nangis-nangis minta lukanya diobatin, sementara rumahnya dikunci karena mama dan papanya lagi ke luar kota.
Vespa biru pudarnya babak belur. Tapi, Chanyeol gak mikirin itu, karena masih bisa jalan dan dipake. Dibawa ke tukang bengkel juga beres.
Justru, dia serius banget waktu ngobatin luka-luka Wendy di siku dan lututnya. Padahal, luka punya dia sendiri, yang jauh lebih banyak dan lebih gede damage-nya, masih berantakan, gak keruan, walau udah dicuci pakai air bersih.
"Sini, gantian," kata Wendy, mengambil kapas yang udah dibubuhi alkohol, lalu meraih wajah Chanyeol pelan-pelan. Sahabatnya itu meringis kesakitan, padahal kapasnya baru nempel dikit di pipinya. "Maaf, ya, Chan."
Wajah cewek itu sedih banget, kelihatan air matanya mau netes lagi, padahal, tadi udah sempat kering.
Chanyeol tersenyum menatap Wendy yang berusaha gak nyakitin dia pas lagi ngebersihin lukanya. "Gapapa, Wen."
Gara-gara suara Chanyeol tenang banget, Wendy jadi nangis beneran–ngerasa bersalah.
"Lho, kok, nangis?" Jemari Chanyeol mengambil alih kapas yang digenggam Wendy, kemudian ditaruhnya di atas meja.
"Kenapa elo santai banget, sih," tutur Wendy sambil mengucek-ngucek ujung matanya. "Padahal, udah jelas-jelas gue salah, bikin kita kecelakaan. Untung, lo gak mati."
Sumpah, Wendy takut banget Chanyeol meninggal gara-gara dia.
Soalnya, waktu abis jatuh, Chanyeol sempet pingsan dua menit, sebelum ditampar keras-keras sama Wendy yang panik total.
"Namanya juga kecelakaan." Jari-jari Chanyeol yang lecet meraih tangan Wendy yang lagi nutupin mukanya. "Udah, jangan nangis, dong, Wen. Gue jadi mau nangis juga ini."
Tanpa ngomong apa-apa, Wendy cuma bisa nangis, habis itu, main hambur aja ke pelukan Chanyeol.
Tangan cowok itu mengusap-usap punggung sahabat perempuannya, biar tangisannya mereda.
Padahal, tadi, Chanyeol mau nembak Wendy untuk yang ke-7 kali, pas Wendy lagi ngobatin luka-luka di pipinya.
Tapi, habis ajalnya nyaris dijemput begini, terus cewek itu pakai acara nangis-nangis juga, kayaknya situasinya lagi gak banget.
Simpen dulu aja, deh.