webnovel

Kesempatan Kedua

นักเขียน: M. Rivai
สยองขวัญ
กำลังดำเนินการ · 36K จำนวนคนดู
  • 18 ตอน
    เนื้อหา
  • 4.9
    11 เรตติ้ง
  • NO.200+
    สนับสนุน
เรื่องย่อ

Hidup Alma sudah begitu berantakan. Demi mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat, ia pun menceburkan diri dalam prostitusi online. Namun, semua itu tak semudah yang ia pikirkan. Alih-alih bertemu lelaki hidung belang, ia malah bertemu Said--laki-laki misterius yang tampak baik hati, tapi menyimpan masa lalu yang tak kalah kelam.

Chapter 1Kesan Pertama

Alma berdiri di atas trotoar sambil menarik-narik ujung roknya ke bawah. Seandainya ia bisa membuat rok itu sedikit lebih panjang, mungkin ia bisa berhenti menggigil kedinginan. Alma memang tak terbiasa mengenakan rok, apalagi rok mini. Ia adalah tipe perempuan yang selalu mengenakan celana panjang dalam segala situasi; kuliah, belanja, kondangan, bahkan tidur. Namun malam itu bukan malam biasa. Malam itu adalah malam pertama ia menjual diri.

Sudah hampir satu jam ia menunggu, tapi pelanggan pertamanya tak juga datang. Ia merasa ditipu. Sebagai perempuan yang kurang berpengalaman dalam dunia prostitusi online, ia langsung percaya saja ketika ada laki-laki yang mengiriminya pesan dan ingin mem-booking-nya. Pria itu sempat meminta fotonya—bahkan fotonya yang setengah telanjang—lalu berjanji akan membayarnya dua juta per jam saat mereka bertemu. Sekarang, Alma bisa membayangkan bahwa foto syur-nya itu sudah tersebar di internet dan ia tak mendapatkan bayaran sedikit pun.

Banyak laki-laki mesum di internet, tapi cuma sedikit yang benar-benar serius dan punya duit. Begitu kata Nadin, teman kuliah Alma yang berpengalaman sebagai ayam kampus dan cewek BO di media sosial. Wejangan itu Alma dapatkan ketika ia menceritakan tentang hidupnya yang hancur berantakan, mulai dari ditinggal pacar dalam keadaan hamil, aborsi, kabur dari rumah, hingga dikejar-kejar debt collector karena utang yang tak sanggup ia bayar. Nadin tak bisa membantunya dengan meminjamkan uang, sebab belakangan ini kondisi keuangannya pun sedang tidak sehat karena seorang pelanggan tetapnya baru saja ditangkap KPK. Ia hanya bisa mengingatkan Alma bahwa satu-satunya yang belum ia jual untuk melunasi utang adalah tubuhnya sendiri. Dan jiwanya, kalau saja jiwa bisa dijual.

Sayangnya, tips dari Nadin yang paling diingat Alma hanyalah tentang cara memikat laki-laki. Ia pikir, karena ia tidak pernah bercinta dengan laki-laki selain mantan pacarnya, ia harus lebih memperhatikan aspek itu. Ia tahu bahwa dirinya tidak jelek. Memang, ia tidak secantik Dian Sastro atau Pevita Pearce, tapi bila ia sanggup menghilangkan aura suram dari wajahnya itu, ia percaya bahwa parasnya lumayan manis. Ia punya lesung pipi, matanya bulat, rambutnya hitam bercahaya, dan pinggangya langsing. Wajahnya memang dihiasi lubang-lubang bekas jerawat, tapi itu bisa ditutupi dengan make up.

Tanpa banyak berpikir, ia segera mempraktikkan inspirasi dari Nadin. Ia membuat akun di media sosial menggunakan foto wajahnya yang ditempeli stiker emoticon, kemudian mulai membuat iklan: Open BO, Jkt, Exclude. DM for serious only.

Tak sampai satu hari, ia sudah mendapatkan calon pelanggan pertama. Ia segera membuka lemari pakaiannya yang hampir kosong, lalu memilih pakaian paling seksi yang bisa ia temukan. Ia tidak mau terlihat terlalu norak seperti penyanyi organ tunggal, tapi ia juga tidak mau terlalu cuek seperti mahasiswi yang baru pulang kuliah (meskipun ia memakai status "mahasiswi" dalam iklannya). Akhirnya, ia pun memutuskan untuk mengenakan kemeja putih dan satu-satunya rok yang ia miliki: rok mini berwarna magenta yang ia sendiri sudah lupa kapan membelinya. Tidak lupa, ia mengenakan sepatu hak tinggi yang selama ini selalu ia hindari, tapi tampaknya sangat klop untuk dipakai pada kesempatan ini. Sebenarnya, ia juga hampir membawa sebuah sweater untuk berjaga-jaga, tapi sweater itu tertinggal di kamarnya, dan sekarang ia merasa begitu menyesal.

Alma menatap layar ponselnya yang sudah mati. Smartphone miliknya itu seperti laki-laki yang otaknya pintar, banyak bicara, tapi tidak tahan lama di atas ranjang. Tampaknya ia harus mencari tempat lain yang sering dilewati kendaraan umum. Dengan hati-hati, ia melangkah di atas trotoar menggunakan sepatu hak tingginya. Sepanjang jalan, Alma terus memikirkan bagaimana ia bisa membayar utang-utangnya. Dendam di dalam hatinya masih tertuju kepada mantan pacarnya yang telah membuat hidupnya berantakan.

Ia bisa membayangkan bahwa di sebuah dunia alternatif, ada Alma lain yang masih masuk kuliah dengan normal, tinggal di rumah sambil membantu ayahnya berternak ayam, lalu diwisuda dengan nilai yang tidak terlalu buruk. Kemudian ia akan bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai sekretaris, menikah dengan pria baik-baik yang lumayan mapan—mungkin bosnya sendiri yang seorang eksekutif muda, hamil, melahirkan, lalu berhenti bekerja dan jadi ibu rumah tangga. Bukan menjadi pelacur yang tidak laku seperti sekarang.

Seolah melengkapi kesialan Alma, rintik-rintik hujan tiba-tiba saja turun membasahi ubun-ubun kepalanya. Ia sempat berteduh di bawah pohon beringin yang sangat besar. Sesekali ia mendongak ke arah pohon yang menaunginya itu. Cabang dan batang pohon itu membentuk siluet yang menyerupai jari-jemari kurus, sementara sulur-sulurnya yang menggantung menyerupai rambut nenek sihir atau kuntilanak. Ia merinding, entah karena hujan atau karena khayalannya sendiri. Akhirnya ia memutuskan bahwa tempat itu bukanlah tempat yang cocok untuk berteduh. Ia pun nekat menerjang hujan.

Sambil menggunakan tas kecilnya untuk menutupi kepala, ia melewati sebuah tikungan, lalu berhenti sejenak karena terhalang oleh trotoar yang retak dan penuh genangan air. Ia mengambil ancang-ancang, tapi segera membatalkannya ketika menyadari bahwa ia tak mampu melompat dengan sepatu hak tinggi. Dilepaskannya sepatu itu, lalu ia melompat dengan bertelanjang kaki. Kini kakinya penuh dengan tanah basah, kulit jemarinya keriput, dan pakaiannya basah kuyup. Kecuali kemejanya yang terlihat transparan karena kebasahan, penampilannya sudah tidak seksi lagi.

Langkahnya terhenti. Sebuah sedan berwarna putih sedang diparkir di tepi pertigaan jalan dengan bagasi terbuka. Ia memang tidak tahu apakah pemilik mobil itu memang calon pelanggan potensial atau bukan—bahkan bisa saja pemiliknya adalah seorang perempuan—tapi ia merasa harus bertaruh. Ia pun bergegas mendekati mobil sedan itu. Sambil tetap menjaga jarak, ia mengamati kaca jendela depan mobil, tapi tak menemukan siluet manusia di dalam sana. Apakah mobil itu memang sengaja diparkir dan ditinggal pergi oleh pengendaranya?

Tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara gebrakan yang cukup keras. Jantungnya seolah berhenti selama beberapa detik. Tak lama kemudian, Alma menyadari ada sesosok laki-laki yang berdiri di belakang bagasi mobil. Ia tidak melihatnya tadi. Mungkin tadi lelaki itu sedang menunduk di dekat bagasi, lalu menutup pintu bagasi mobilnya secara tiba-tiba hingga menimbulkan suara gebrakan keras.

Lelaki berkacamata itu hanya melirik saat menyadari keberadaannya. Tubuhnya kurus-tinggi, rambutnya cepak, umurnya mungkin sekitar tiga puluh tahunan. Mata mereka bertemu selama beberapa detik, tapi tak ada interaksi lebih lanjut. Lelaki itu berjalan cepat ke samping mobilnya sambil berusaha menghalangi hujan dengan tangan kanan, lalu masuk ke dalam mobil itu tanpa mengucapkan apa-apa, seolah tidak tahu ada seorang perempuan yang tengah berdiri menghalangi mobilnya.

Alma tersadar. Sebagian dirinya sudah tidak peduli lagi dengan gengsi dan harga diri, atau bahkan uang untuk membayar utang. Ia hanya tidak ingin ditinggal sendirian di tengah hujan deras. Sesuatu tentang hujan dan kesepian menusuk ingatannya dan membuat ia hampir menangis seketika. Ia meletakkan sepatu hak tinggi yang tadi ia jinjing, kemudian menempelkan telapak tangannya pada kaca jendela yang setengah terbuka.

"Om, mau ditemenin?" tanyanya dengan suara yang bergetar, entah karena kedinginan atau karena takut.

Lelaki itu mengerutkan kening, menurunkan kaca jendela mobil, lalu membetulkan posisi kacamatanya. Tindakan perempuan basah kuyup di hadapannya itu sama sekali tidak seperti adegan di film Pretty Woman.

"Ditemenin?" tanyanya kembali. Entah memang polos atau hanya berpura-pura polos, tapi nada suaranya lebih mirip orang yang khawatir.

"Tarif bawah, Om," jawab Alma sambil berusaha tersenyum. Ia tidak tahu istilah apa yang biasa digunakan para PSK, jadi ia menggunakan istilah yang biasa ditempelkan di kaca depan taksi—kebetulan mobil sedan di hadapannya itu membuatnya teringat dengan mobil taksi. Ia hampir saja menangis menyadari betapa menyedihkan kalimat yang baru saja ia ucapkan itu, tapi segera ditahannya.

Pintu mobil terbuka. Itu adalah jawaban "ya" yang sangat jelas.

"Masuk dulu, jangan hujan-hujanan," ucap lelaki itu.

Mungkin ia tipe lelaki yang tidak suka bicara blak-blakan, pikir Alma. Pasti ia menyuruhnya masuk karena tertarik untuk menggunakan jasanya. Perasaan lega muncul dalam dada Alma. Akhirnya ia menemukan pelanggan pertamanya, atau setidaknya, tempat berteduh sementara. Ia pun masuk ke dalam mobil itu dan duduk tepat di sebelah kiri sang lelaki.

"Maaf, jadi basah," ucapnya ketika menyadari keadaan jok mobil yang ia duduki.

Lelaki itu mengulurkan tangan ke arahnya. Alma terhenyak. Secepat itukah ia akan menjamah? Apa ia ingin melakukannya di sini, bukan di kamar hotel atau semacamnya? Dengan keadaan seperti ini? Semua pikiran itu buyar ketika ia menyadari bahwa uluran tangan itu ternyata adalah ajakan untuk bersalaman.

Mereka berjabat tangan. Canggung sekali.

"Said," ucap lelaki itu, memperkenalkan namanya sambil tersenyum.

"Alma," balas sang perempuan sambil berusaha membalas senyum.

Ia melirik Said, tapi tidak tahu apa yang harus ia katakan. Apa yang seharusnya seorang PSK lakukan dalam keadaan ini? Apakah sudah saatnya untuk membicarakan tarif? Atau lokasi terlebih dulu?

"Di kursi belakang ada handuk, pakai aja," ucap Said tanpa menoleh sedikit pun, matanya tetap fokus mengamati jalan yang jarak pandangnya semakin sempit.

Alma mengangguk dan membalikkan badan. Ia meraih sebuah handuk kecil berwarna putih yang terlipat rapi di jok belakang, lalu menggunakannya untuk mengeringkan wajah dan rambut. Tentu saja, pikirnya, lelaki hidung belang pun lebih suka perempuan yang rapi dan wangi. Apalagi Said terlihat seperti orang mapan dan berpendidikan, seleranya pasti tidak sembarangan. Sekarang cukup mengeringkan tubuh saja, tapi setelah mereka tiba di hotel nanti, ia pasti harus mandi dan memakai parfum terlebih dulu, begitu pikir Alma.

"Oh ya, pakai aja tuh baju yang ada di belakang. Ada dua, pilih salah satu. Daripada kamu masuk angin," ucap Said lagi.

"Boleh?"

"Baju kamu basah kuyup. Emangnya kamu bisa nemenin saya dengan keadaan kaya gitu?"

Alma merasa diperintah. Meski wajahnya terlihat ramah, ia tetap harus berhati-hati. Kalau sampai menyinggung perasaan Said, mungkin nanti ia akan diperlakukan dengan kasar. Akhirnya, ia pun melompat ke kursi belakang. Kaki kirinya sempat menendang pipi Said tanpa sengaja, membuatnya meminta maaf berkali-kali. Ia baru menyadari bahwa sepatu hak tingginya tertinggal di luar, tapi merasa sudah terlambat untuk mengambilnya kembali. Lagipula ia tak suka sepatu itu, pikirnya.

Di kursi belakang, terdapat dua buah kemeja lengan panjang yang dilipat rapi. Ia mengambil kemeja biru muda bergaris vertikal yang digantung paling depan. Melihat persediaan pakaian yang ada di belakang kursi mobilnya, Alma bisa menduga bahwa Said adalah tipe pekerja yang sering bepergian dan jarang pulang ke rumah.

Alma sempat ragu saat akan membuka bajunya yang basah. Ah, memangnya apa yang perlu ditutupi? Toh nanti akan dibuka juga. Alma pun membuka kancing kemeja basahnya satu per satu tanpa memberi peringatan apa-apa, tanpa berusaha menutupi apa-apa. Said melirik ke arahnya lewat spion tengah, tapi tak berkomentar sama sekali. Tak ada yang bisa dibanggakan, gumam Alma dalam hati, keajaiban push up bra sedang tidak bersamanya sekarang. Untunglah roknya hanya basah sedikit dan celana dalamnya masih relatif kering.

Setelah selesai mengganti kemeja, ia kembali merasa canggung. Mereka diam selama beberapa saat. Alma memutuskan untuk memecah kesunyian. Ia harus aktif, bukankah ia seharusnya menjadi perempuan genit dan penggoda?

"Mau main di mana? Hotel? Apartemen?" tanya Alma blak-blakan. Ada rasa geli ketika mengucapkan pertanyaan canggung itu.

Ia lupa soal negosiasi tarif. "Tarif bawah" jelas terlalu abstrak dan tidak bisa dijadikan patokan.

"Makan dulu, yuk?" ujar Said sambil menoleh sedikit.

Pikir Alma, lelaki ini pasti seperti kucing yang suka bermain dengan mangsanya sebelum dimakan. Mungkin ia ingin memperlakukan dan diperlakukan seperti kekasih. Girlfriend experience, istilahnya, atau disingkat GFE. Ia tahu istilah itu dari forum tempatnya memasang iklan.

Alma mengiyakan tawaran itu. Tak ada ruginya. Ia akan mengikuti rencana Said apa pun keinginannya, berapa pun bayarannya. Tak ada yang perlu ia takuti, sebab ia sudah kehilangan segalanya dan tak mungkin kehilangan apa-apa lagi. Mobil itu pun melaju menembus hujan deras dan angin yang semakin kencang, membawa Alma entah ke mana.

---

คุณอาจชอบ