webnovel

High School Life

Siapa yang tidak kenal Joshua Rizci di Noimosýni Private High School? Baru beberapa bulan saja dia pindah ke sekolah ini, namanya langsung melejit seperti album baru penyanyi kelas dunia.

Wajah tampan, tinggi semampai, dan tubuh atletis miliknya menarik banyak perhatian. Menjadi andalan dalam ekstrakulikuler soccer dan taekwondo yang dia ikuti, belum lagi prestasinya yang gemilang dengan nilai hasil tes masuk yang hampir sempurna. Disukai para guru, disukai para siswi dan dikagumi para siswa.

Hanya dalam beberapa minggu Joshua memulai kelas 11 nya di sini, tampaknya langsung menarik perhatian banyak guru untuk membawanya pada lomba-lomba nasional. Menjadi magnet manusia yang membuat banyak orang ingin mendekatinya sekaligus menjadi gebetan nomor satu mayoritas anak perempuan di sekolah. Tidak hanya itu, Joshua juga berdampak di kalangan para siswa, semua ingin berteman dengannya entah karena memang tulus atau ingin ikut kepopulerannya saja.

Dia tampak seperti bintang baru yang sedang terang-terangnya bersinar.

Namun tetap saja, terang akan terus meninggalkan bayangan. Meski hampir satu sekolah menyukainya, ada juga kalangan siswa yang membencinya. Rata-rata mereka yang membenci Joshua adalah senior kelas 12. Mereka seringkali mengancam Joshua di depan publik dan berusaha merundungi Joshua. Walaupun Joshua kelihatan tidak peduli sedikit pun.

Kabar itu sangat cepat tersebar. Tak kusangka bahkan sekolah dengan standar setinggi ini masih suka bergosip. Sering kudengar kabar kalau Joshua diacam akan dihajar oleh mereka saat pulang sekolah. Kupikir awalnya itu hanya gosip karena tidak pernah kulihat Joshua dalam keadaan babak belur.

Tetapi, aku berpikir ulang ketika yang kulihat justru beberapa siswa kelas 12 yang tidak menyukai Joshua datang ke sekolah dengan penuh luka yang diperban. Para guru yang juga mendengar gosip pun curiga. Tetapi ketika ditanyai penyebabnya, mereka tidak pernah menyebutkan nama Joshua. Tidak saat itu, atau setelahnya. Lalu mereka berhenti mengganggu Joshua begitu saja.

Apa mereka melindungi nama baik Joshua? Tidak, Joshua justru berbuat hal yang tidak kumengerti. Sejak saat itu, Joshua pun mulai berubah. Dia dengan sengaja melabelkan dirinya sebagai "murid bermasalah". Bukan hanya soal tawuran yang dia lakukan atau merokok di sekolah. Dia mulai menjadi kasar. Dia bahkan berani menghajar guru olahraga yang mengajar kelasku.

Oke, aku akui, guru ini memang kurang ajar. Dia memanfaatkan profesinya untuk mencari kesempatan menyentuh tubuhku dan beberapa siswi lain ketika praktek. Aku sudah menahan diri dengan tidak langsung mengamuk, alih-alih itu, aku berniat untuk melaporkannya pada Kepala Sekolah atau Ketua Yayasan.

Tetapi, tidak kusangka Joshua akan bermasalah juga dengan guru ini. Dia menghajar guru itu dengan sendirinya sebelum aku bertindak. Tidak hanya itu, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik semua yang kelihatan, tetapi guru itu segera mengundurkan diri tanpa menyalahkan siapapun tak lama sejak dia dipukuli Joshua.

Tidak sampai tahun ajaran ini selesai, Joshua sudah berubah 180 derajat. Kini hampir semua orang menakutinya. Para guru mulai mundur, hanya wali kelasnya dan guru BP saja yang terpaksa masih mengurusinya. Para gadis juga mulai sebagian mundur karena Joshua kini sering membentak mereka agar pergi. Begitu juga para siswa, hanya yang nakal dan bermasalah juga yang berteman dengannya. Joshua saat disekolah benar-benar hampir bukan seperti Joshua yang aku kenal.

Sementara itu.

Aku di sini masih menjadi kentang rebus sejak aku masuk SMA. Duniaku benar-benar berbeda dengan yang Joshua alami. Hampir tidak ada sesuatu yang hebat yang terjadi. Di tahun ajaran ini semua berjalan normal layaknya siswi kelas 10 biasa.

Dibandingkan dengan Joshua, aku berhasil masuk sini hanya dengan nilai yang beda tipis dengan passing grade. Guru-guru hanya melihatku sebagai pelengkap di kelas dan namaku sebagai pelengkap daftar absen. Aku hanya dikenal oleh siswa-siswi dikelasku. Tidak punya fans club seperti Joshua dan belum memiliki haters club. Tidak menarik, bahkan siswa dari kelas lain tidak mengenalku.

Jangan khawatir, aku punya teman kok. Sudah kuputuskan sejak aku masuk SMA, aku akan memperluas lingkaranku pertemananku dengan lebih terbuka dan ramah lagi. Nampaknya itu berhasil, meski tidak sebanyak itu. Di sini lah aku dengan beberapa teman dekatku sekarang; Rachel, Naura dan Adam. Mereka juga yang mendukungku untuk melapor saat dilecehkan guru olahraga itu.

Hubunganku dengan Joshua masih dekat walaupun tidak seerat dulu. Kami masih bertemu dan makan siang bersama saat jam istirahat. Meski banyak mata yang menatap sinis melihatku bersamanya, Joshua tampak tidak terganggu dengan itu.

Perjalanan kami berangkat sekolah sering diganggu oleh siswi-siswi yang menyukai Joshua. Dan telingaku mulai mendengar gosip-gosip tidak enak tentangku dan sindirian-sindiran ketika aku melewati kumpulan para siswi.

Jujur aku risih. Tetapi Naura, Adam & Rachel selalu menguatkanku untuk tidak memikirkannya. Hanya Joshua yang tampaknya khawatir denganku. Joshua semakin sering menanyakan keadaanku di sekolah saat aku jauh darinya. Aku menanggapinya enteng, karena Joshua dan segala sikap protektif nya memang selalu memperlakukanku seperti itu.

"Teman-teman kamu itu... Siapa namanya, Han?"

Aku sedikit tersentak dengan pertanyaan Joshua. Aku melirikan mataku pada postur tingginya. "Hm? Naura? Rachel? Adam? Kenapa sama mereka?"

"Hmm. Enggak. Gak ada orang lain yang bisa kamu jadikan teman? Atau, aku aja, Han? Aku khawatir kamu sama mereka" balasnya. Alisnya mengerenyit, dia tampak khawatir. Tetapi sekali lagi aku menganggapnya enteng.

"Pft, apa sih Jo. Aku udah gede tau, gak apa-apa temenan sama mereka juga" balasku menenangkannya. Saat itu Jo tidak memberikan jawaban apa-apa. Dia hanya lebih banyak menatapku.

Tetapi aku sendiri melihatnya. Joshua saat di sekolah dan saat di rumah sangat jauh berbeda. Joshua yang sedang berada di dekatku nampak begitu tenang dan damai, seperti sedang beristirahat. Apa selama ini perlakuan kasarnya hanya kedok? Aku pun tahu Joshua sebetulnya anak yang baik.

***

Pagi ini, kami mengalami pagi yang sama seperti kemarin-kemarin. Masih 10 meter lagi sampai ke gerbang sekolah, para siswi fans nya Joshua menyerobot dan melipirkan aku agar mereka bisa dekat dengan Joshua. Meski Joshua sering membentak mereka, tampaknya tidak semua mundur.

Aku hanya tertawa, mengiyakan tindakan mereka. Perempuan memang daya juangnya tinggi jika sudah menyukai sesuatu.

Kulihat Joshua menatapku seperti meminta tolong ketika para wanita itu mengelilinginya. Aku hanya tersenyum jahil lalu melambaikan tanganku, kemudian pergi masuk gerbang sekolah lebih dulu. Meninggalkan Joshua dalam keadaan pucat. Lalu, samar-samar dari belakangku, aku mendengar suara Joshua memarahi mereka.

"Berisik! Jangan ganggu gua terus!!"

Aku tertawa.

Tetapi tawaku langsung hilang, ketika jam makan siangku diusik.

Kulihat para siswi itu berjejer di depan mejaku. Mereka rata-rata adalah yang kulihat tadi pagi. Mereka membusungkan dadanya sehingga terlihat lebih besar. Aku menutupi milikku, kesal. Mereka meremehkan aku.

Masih dengan mata yang menatapku sinis dan tampak haus darah. Mereka mulai dengan menggebrak mejaku.

"Lo tuh jangan kegatelan deh! Masih kelas satu juga!"

“Hah? Apa?” pikirku bingung.

"Maksudnya apa ya kak-" belum sempat aku menyelesaikannya, salah satu dari tangan merela menarik lenganku kasar

sehingga aku terpaksa berdiri.

"Gak usah pura-pura bego! Gak usah segitunya kalo lo emang suka sama Joshua! Sampe jual diri segala, dasar pelacur!" maki mereka langsung di depan wajahku.

Kepalaku terasa seperti melayang. Tidak, aku bukannya takut. Aku tidak mengerti. Kenapa aku yang tidak pernah punya masalah dengan siapa-siapa, dikatakan pelacur?

"Gini ya dek, lu tuh sekarang sekolah di sekolah elit. Kita ga terima sampah masyarakat kayak lo. Kita tau kalo lo temen kecilnya Joshua, dan emang kita lebih agresif, tapi kita ga jual diri. Mendingan kita, daripada lo. Diem-diem taunya gak punya harga diri"

"Hebat ya baru kelas 10 udah jadi kimcil! Bentar lagi pasti dipake guru biar ranking satu!" tambah yang lain.

Aku pucat. Semakin tidak paham dengan fitnahan mereka. Justru pada saat seperti ini, kata-kata meninggalkan mulutku. Aku hanya bisa diam. Aku masih menatap mereka. Seisi kelas hanya diam, termasuk teman-temanku. Mereka tidak menolong, malah menatapku sinis.

Hancur sudah masa SMA ku.

"Haha! Diem aja kan lo?! Dasar pelac-"

"Maksudnya apa sih? Lo pada ngigo ya?" potongku langsung. Mereka mengatupkan bibir mereka. Kupaksa diriku untuk berani, setidaknya untuk membuktikan kalau aku tidak salah. Oh Tuhan, beri aku kekuatan untuk ini.

"Pelacur? Jual diri? Apaan sih? Hah? Ngomong apaan? Kalo masih mimpi balik sana ke kasur. Jangan ngigo di dunia nyata. Tidur aja selamanya"

"Wah berani dia. Heh! Denger ya, kimcil. Gak usah pura-pura bego deh! Satu sekolah juga udah tau kalo lu jual diri ke Joshua! Lu tidur bareng dia kan?!"

"Gua juga denger lu sering main ke rumah Joshua, Joshua juga main ke rumah lu. Enak ya, ga usah modal ke hotel" tambah temannya yang lain.

"Joshua juga pasti nakal gara-gara gaul sama lu. Dasar lu bawa pengaruh buruk!!" mereka semakin mengeroyokiku.

Aku menarik nafas, mempersiapkan diriku untuk serangan berikutnya. "Wah gak nyangka malah gue kalo siswi di sekolah seelit ini gampang ke makan hoax. Siapa tuh yang nyebarin gosip? Emang dia tahu apa? Bisa-bisanya lu pada terima gak pake disaring dulu. Buang aja tuh otak, gak guna" balasku semakin kurang ajar.

Mereka bilang mereka mendengar sesuatu tentangku. Aku mengerti banyak yang tidak menyukaiku karena dekat dengan Joshua. Tetapi aku pun tidak bisa menolaknya. Joshua itu semakin ku jauhi, dia akan semakin kasar menarikku kembali. Aku tidak bisa menghindari situasi.

"Lepas dari hoax atau apapun itu ya, dek, namanya bangke mau ditutup segimanapun baunya pasti nyebar. Sama kayak kelakuan lu. Mau lu tutup segimanapun di balik sikap diem lu, ketauan juga kan?" balas mereka.

Mereka ini tidak mengerti ya kalau tuduhan mereka salah.

"Ah udah laaah! Bakal ngeyel terus ni kimcil! Biarin aja! Liat kalau dia makin keliatan bitchy nya ke Joshua! Ini baru sama kita ya, belom sama guru! Perbaikin tuh sikap lu! Bye, kimcil!"

Mereka membanting mejaku hingga barang-barang di atasnya jatuh berantakan. Aku diam menatapnya nanar. Rasanya bercampur aduk. Kesal, marah, bingung, sedih. Dimana keadilanku atas keadaan ini, aku tidak bersalah.

Beraninya ramai-ramai.

Dasar jalang.

***

"Hai, Han..." sapa Jo begitu aku membuka pintu rumah. Dia tersenyum, masih dengan senyum yang kukenal sejak dulu.

Aku menatapnya kosong, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Lalu akhirnya mempersilahkannya masuk. Meski dia menyadari tatapanku, dia tidak berkata apa-apa. Hanya wajahnya yang sedikit berubah jadi bingung. Joshua meredam sebentar pertanyaan-pertanyaannya saat dengan leluasa dia masuk ke rumahku seperti masuk ke rumahnya sendiri.

Aku kembali ke tempat dimana aku sedang merenung sebelum membukakan pintu untuk Joshua tadi. Di teras samping ditemani secangkir teh hangat. Pikiranku masih melayang-layang pada kata-kata kakak kelas yang dilontarkan mereka padaku tadi siang. Tampaknya Joshua belum tahu apa yang terjadi padaku. Gadis-gadis itu pasti menyuruh orang-orang agar tutup mulut. Aku kembali termenung. Kembali pada posisi duduk di lantai kembali dan kudengar suara langkah kaki Joshua mendekat.

"Mama lagi gak di rumah?" tanyanya.

"Hm. Dia pergi" balasku singkat, masih duduk memunggunginya.

Tiba-tiba sepasang kaki milik Joshua masuk dalam pandanganku, satu di sebelah kaki kananku dan satu disebelah kiri. Dia duduk tepat di belakangku dan menarik kepalaku hingga bersandar di dadanya.

Aku menghela nafas panjang. Aku tidak bisa menolak ini. Jika aku menolak, Joshua akan semakin kuat menahanku. Tangannya masih merangkul kepalaku, tempat dimana dia juga menyenderkan kepalanya.

"Apa begini terhitung jual diri?" aku bertanya lirih.

"Bicara apa sih, Han..." balas Joshua tak kalah lembut. Bibirnya hampir kena puncak kepalaku. Dia tampak menikmati, kulihat keatas dan dia memejamkan matanya menikmati suasana ini.

"Hari ini... Beberapa penggemarmu datang labrak aku" interupku beberapa detik kemudian.

Joshua membuka matanya, kurasakan tubuh dibawah kepalaku bersandar ini terasa lebih kaku.

"Siapa?" tanyanya dingin.

"Siswi-siswi yang suka ganggu kamu setiap pagi" balasku lemas, teringat kejadian disekolah tadi.

"Mereka?" tanya Joshua sekali lagi.

"Iya... Mereka dengar gosip katanya aku jual diri ke kamu. Kita tidur bareng supaya kamu dekat terus sama aku..." jelasku, dadaku sakit ketika menceritakan itu kembali. Sepertinya itu juga berefek pada Joshua.

Terjadi keheningan selama beberapa detik setelah jawabanku dilontarkan. Kurasakan tubuh Jo di bawahku semakin kaku dan suara gertak gigi pelan terdengar dari rahangnya. Aku menatapnya bingung, sebelum akhirnya dia tiba-tiba menjadi tenang kembali. Tenang sekali, hingga rasanya menakutkan.

"Oh begitu" jawabnya pada akhirnya.

Mata Jo memandang apapun di depannya dengan tatapan kosong. Iris biru ceria itu kini terlihat kelam. Seperti laut yang mengisi palung. Entahlah, aku merasa kalau sesuatu akan terjadi pada mereka. Firasat ini, ngeri. Sama seperti ketika aku melihat insiden mata Joshua saat itu

"Han"

"Ya?"

"Mulai sekarang, jangan berteman lagi sama mereka" deklarnya tegas.

Tangannya berubah dari merangkul jadi menekan kepalaku lebih dalam ke lekuk lehernya. Nafasnya panas dan mengandung amarah. Aku hanya bisa diam melihatnya, tidak berani bertanya lebih jauh.

Next chapter