webnovel

The Beginning of Darkness

Bau obat yang sangat mengganggu, memaksaku membuka mata. Cahaya yang sudah lama tidak masuk ke mata, membuatku sedikit pusing ketika menerimanya. Dari mataku yang masih setengah tertutup, ruangan putih menyambutku.

Aku berusaha menggerakan tanganku tetapi terasa sangat berat. Kulihat selang-selang terhubung dari tubuhku ke sebuah mesin. Nafasku pun dibantu alat. Aku mencoba bergerak lagi sebelum suara familiar menginterupsiku.

"Hanessa...?"

Aku menoleh pelan dan mendapati Joshua duduk di sebelah kasurku. Dia menggenggam tanganku, masih dengan wajah yang shock. Penampilannya berantakan. Pelipis yang di perban, rambut acak-acakan, bibir dehidrasi dan lingkaran hitam yang jelas dibawah matanya. Apa yang terjadi? Kenapa dia terluka? Ada dimana aku?

Kurasakan genggaman tangan Joshua menjadi kuat. Bersamaan dengan tetes demi tetes air yang jatuh dari matanya. Untuk beberapa detik awal, dia masih sanggup menahan diri. Namun semuanya sia-sia ketika tangis itu akhirnya pecah.

"Hwaaaaaaahaaaaa... Hanessaaaaaaa!!" dia menangis kencang, seperti anak kecil yang sedih. Aku kebingungan. Kulihat beberapa perawat datang karena mendengar teriakannya lalu mereka mendapati aku sudah sadar. Mereka segera keluar lagi untuk datang kembali bersama dokter.

Joshua segera dipisahkan dariku. Kulihat dia meronta ketika ditarik oleh seorang perawat untuk keluar. Tetapi aku tidak bisa lebih lama memberi perhatian untuk itu ketika perawat-perawat dan dokter mulai memenuhi pandanganku. Mereka sibuk memeriksaku dan menanyaiku berbagai macam pertanyaan.

Apa ini sakit? Apa itu sakit? Bisa digerakan? Bisa diluruskan? Bagaimana perasaanku sekarang? Apa yang tubuhku rasa sekarang?

Aku tidak mengerti apa yang sebetulnya terjadi, aku tidak ingat. Aku menjawab mereka sebisaku. Mereka mencatat semuanya lalu mengatakan sesuatu tentang keajaiban. Aku semakin bingung. Tidak lama kemudian, mereka pun pergi. Lalu Joshua menggantikan mereka masuk ke dalam.

"Jo...?" kulihat wajahnya masih merah dan matanya bengkak. Namun air matanya sudah berhenti.

"I thought you'll never wake up again" katanya sesenggukan.

"Kenapa...aku dirumah sakit?"

"Mereka bilang, kamu terserempet kereta. Gara-gara... aku" jawabnya, dia hampir menangis kembali.

Kata-kata Joshua menstimulasi ingatanku. Duniaku sempat berputar untuk beberapa saat. Kepalaku nyeri sekali. Tetapi perlahan, ingatan itu muncul.

Aku ingat.

Aku berlari mencari Joshua di taman tetapi aku tidak menemukannya. Aku hampir saja memutar arah, sampai tiba-tiba aku mendengar suara teriakan di balik semak-semak tebal. Aku ingat aku melihatnya terikat di rel kereta. Aku coba menolongnya dan berhasil. Tetapi, saat aku berhasil mendorongnya ke seberang, justru kakiku yang tersangkut diantara besi rel. Lalu… Lalu...? Aku tidak ingat lagi. Ketika bangun, aku sudah di sini.

"Dokter bilang tulang kamu banyak yang patah. Terus kepala kamu juga terbentur keras. Tetapi, kamu masih selamat... Ugh... Uuuuhh... Aku takut sekali kamu meninggal, Haaan... Hweeee..." Joshua menangis lagi dengan jeleknya.

Aku kembali tersentuh. Menerawang, melihat betapa sedih dan khawatirnya Joshua saat ini. Apa yang sudah aku lakukan? Hatiku berdenyut nyeri mengingat ketika Joshua terluka, aku justru meninggalkannya. Berbeda dengan dia yang menemaniku, bahkan menantikan aku untuk sadar.

Aku sudah salah. Aku memang sangat salah. Aku yang terburuk dari semuanya.

Aku meremas selimut di bawah tanganku, menahan air mataku keluar. Kini mirip seperti Joshua barusan. Melihat Joshua yang menangis, aku jadi ingin menangis juga. Hiks.

"Hueeeee..." tangisku pecah. Joshua tersentak, dia menyeka air matanya untuk melihatku.

"Kenapa Han? Sakit ya? Aku panggil dokter ya?!" tanya nya panik, meski masih dengan mata yang basah.

"Engga... Aku sedih... Habisnya aku sudah jahat sama kamu... hweeee maaaaaf" aku kembali menangis. Kini Joshua yang kebingungan melihatku.

"Kok jahat? Kamu, kamu kan sudah tolong aku... Makanya.. Kamu... Jadi beginiiii... Hwaaaaah" Dia pun menangis kembali.

"Maafin akuuu!" tangis kami berdua bersamaan. Layaknya anak kecil yang disakiti, atau kelihangan sesuatu. Kami menangis selepas-lepasnya tanpa beban gengsi seperti yang orang dewasa tanggung. Kami terlalu tersedu-sedu sampai tidak menyadari kalau mamaku dan Tante Widya kebingungan melihat kami dari pintu kamar rawatku.

"Hmph, dasar anak-anak" tawa mamaku.

***

Angin sepoi masuk begitu mama membuka jendela. Begitu juga sinar matahari yang kurindukan. Aku melihat keluar jendela di balik tirai yang terhembus pelan. Suasana ini sedikit menghangatkan perasaanku.

Mama mengambil nampan berisi makanan dari rumah sakit, lalu duduk di sebelahku. "Mama sudah bicara sama dokternya. Kamu masih harus dirawat di sini sebulan lagi" jelas mama sambil menyuapiku.

"Sebulan? Terus ujianku bagaimana?" aku menguyahnya pelan, rahangku terasa sakit.

"Ya terpaksa kamu susulan. Jadi saat anak-anak lain sudah libur, kamu ujian. Itu pun ujiannya di sini, gurunya nanti yang datang" mama mendengus kesal.

"Sebulan di sini, lalu lanjut rawat di rumah sebulan lagi sambil terus kontrol ke fisioterapi sampai tulangmu normal kembali. Hebat sekali kamu? Bisa-bisanya ditabrak kereta. Ketabrak pesawat saja sekalian, nakku" omel mama sambil menyuapiku sepotong wortel yang besar dan sulit dikunyah.

"Ih mama. Aku mesti terbang dulu kalau mau ketabrak pesawat" sahutku.

Mama menghembuskan nafas panjang. Matanya menerawang ke luar jendela. "Tapi syukurlah kamu masih selamat. Mama gak tau lagi kalau kamu juga pergi tinggalkan mama"

Aku tersenyum jahil. "Hihi mama ngomongnya sama kayak Jo, ah!"

Mama tertawa, aku melihatnya. Tetapi perlahan tawa itu pudar menjadi senyum yang teduh. Tangannya yang sempat naik untuk menyuapiku, tiba-tiba turun. Aku menaikkan alisku, bingung.

"Jo itu... Tampaknya benar-benar tertarik sama kamu ya, Cher. Mama sampai gak bisa larang dia untuk gak jenguk kamu setiap hari. Dia benar-benar perhatikan kamu, loh"

"Maksud mama apa?"

"Setelah dia lihat kamu di samping rel, dengan semua luka parah di badan kamu, dia histeris. Dia lari masih dengan tangan dan mulut diikat sampai ke tempat yang banyak orang dewasanya untuk minta tolong panggil ambulans. Untung aja di antara orang dewasa itu ada yang kenal mama sama Tante Widya jadi dia langsung kabarin kami. Terus setelah kamu dibawa kerumah sakit dan tali dia dibuka, dia langsung lari datangi rumahnya anak-anak yang suka main di taman itu."

Aku tersentak. Tiba-tiba tengkukku menjadi dingin. Entah mengapa aku seperti menemukan jejak penyebab Jo diikat di rel saat itu. "D-dia ngapain kesana, ma?" tanyaku penasaran.

"Dia maaarah sekali. Dia hajar anak-anak itu sampai babak belur, rata-rata sampai hidung patah dan bahu mereka geser. Padahal, Joshua cuma pakai tangan kosong"

Aku menelan ludah. Sebegitunya?

"Terus, orang tua anak yang dihajar itu 'kan, marah ya. Mereka panggil polisi buat tangkap Jo. Tapi tahu apa? Jo malah tantang mereka balik soal pembunuhan berencana. Wah, sempat rumit banget deh, Cher, waktu kamu belum sadar" cerita mama, heboh.

Tunggu, pembunuhan berencana? Jangan-jangan benar, penyebab Joshua diikat di rel itu adalah ulah mereka? Jika Joshua benar-benar terlindas kereta, hal itu dihitung sebagai pembunuhan, 'kan?

"Terus, terus, ma?"

"Selidik punya selidik, ternyataaa mereka yang ikat Joshua di rel. Mereka ngaku kalau mereka bully Jo. Tapi mereka awalnya bilang kalau mereka cuma bercanda pas melakukan itu. Langsung mama, Tante Widya dan Joshua marah besar. Masalahnya karena itu 'kan kamu jadi seperti ini?! Mama minta tanggung jawab pokoknya mereka yang biayain semuanya sampai kamu sembuh sebagai ganti penjara" tutup mama.

Aku terdiam. Jo melakukan semuanya itu... Untukku? Ugh, aku semakin merasa bersalah kepadanya. Seharusnya aku tidak pernah menyakiti hatinya.

Aku terus kembali mengunyah makananku sambil terus merenung. Aku ingin kita berteman lagi, tetapi entah. Bisakah kita hanya berteman tapi tidak terlalu akrab? Aku punya perasaan buruk jika aku terus bersamanya. Tapi apakah rasa bersalahku akan mengizinkannya?

Setelah sebulan dirawat disini, aku pun pulang. Aku mengabari Joshua malam sebelumnya dan dia tampak sangat bersemangat. Aku tidak ingin memperpanjang masa rawatku di sini karena aku tidak enak dengan Joshua yang terus menyempatkan diri untuk datang.

Dua bulan masa pemulihanku dimulai setelahnya. Aku merasa kalau Jo semakin protektif. Aku hampir tidak punya waktu sendiri jika dia sedang datang. Dia terus memperhatikan dan melihat pergerakanku. Menanyai aku jika aku ingin kemana lalu mengikutiku. Menanyai apa yang kuinginkan, lalu menyuruhku duduk agar dia mengambilkannya untukku. Bahkan ketika anak-anak temannya mama datang dan ingin berinteraksi denganku, dia melarangnya, atau dari jauh memantau apa yang kami lakukan.

Apa-apaan?

Kuakui dia banyak berjasa dalam pemulihanku. Aku mengalami banyak masa naik dan turun saat terapi. Kakiku sangat sakit digerakan dan berkali-kali aku hampir menyerah. Joshua lah yang terus menguatkan aku. Dia banyak melindungiku dari intimidasi pemikiran negatifku sendiri. Sungguh, aku berterima kasih, tapi perlakuan protektifnya ini, aku hampir tidak bisa bernafas.

Hal itu terus berlanjut sampai tahun ajaran baru dimulai. Akhirnya aku bisa kembali ke sekolah dalam keadaan sehat. Aku kelas 9 saat ini.

Joshua juga masuk ke SMA yang masih satu lingkungan sekolah dengan SMP tempatku. Hal ini membuatku bingung karena Joshua adalah peraih nilai tertinggi di sekolah kami. Dia bahkan dapat rekomendasi dari sekolah kami ke SMA yang bertaraf Internasional. Tapi dia menolaknya. Untuk sekolah di SMA yang jauh lebih rendah standardnya.

"Gapapa dong? Berarti kita masih bisa pergi dan pulang sekolah bareng!" jawabnya dengan Bahasa Indonesia yang lebih lancar sekarang. Dia terdengar ceria, saat memberikan jawaban pertanyaaku. Aku hanya menggaruk kepalaku tanpa curiga. Tidak menyadari mata kelamnya masih terus memperhatikan aku meski aku sudah sepenuhnya pulih. Yah, setidaknya aku tidak kehilangan dia, terlepas semua sikap anehnya belakangan ini.

Atau aku memang tidak akan kehilangan dia selamanya?

Next chapter