webnovel

The Avoidance

Aku banyak menghindari Joshua setelah itu. Bukannya aku ingin menghindari masalah yang sudah terjadi antara aku dan dia, tetapi kupikir daripada kejadian yang lebih buruk terjadi, lebih baik aku mundur sekarang. Aku tidak bisa memaafkan diriku sebagai penyebab hampir tercungkilnya mata Joshua.

Aku pamit pada tante Widya setelah itu di Rumah Sakit tanpa mengatakan apapun soal keputusanku. Aku hanya meminta maaf sebesar-besarnya dan menitip salam pada Joshua. Kulihat mama juga banyak meminta maaf pada Tante Widya, meskipun Tante Widya sama sekali tidak menyalahkan aku. Aku menyalahkan diriku sendiri.

Aku bahkan meninggalkan rumah sakit begitu saja tanpa pamit pada Joshua. Tidak sopan, aku tahu. Tetapi aku berharap keadaan yang lebih baik akan datang untuk kami.

Sebulan berlalu setelah itu, aku kembali menjalani kehidupan lamaku seperti sebelum bertemu Joshua. Pergi sekolah, pulang, makan, belajar, les, menghibur diri di taman, pulang, makan, belajar, tidur. Tidak ada lagi keseruan bermain playstation bersama, atau makan malam a'la British. Kulihat juga anak-anak laki-laki juga jadi lebih sering menggangguku setelah Joshua tidak bersamaku.

"Han! Mana pacar lu? Katanya sakit, kok gak dijenguk sih?" goda mereka. Aku mengambil beberapa kerikil dan melempari mereka. Mereka menghindar dengan lihainya sambil terus meledekku. Aku segera berlari sampai rumah untuk menghindari mereka.

Begitu hanya tinggal beberapa rumah lagi aku sampai, mataku menangkap sosok familiar sedang berdiri di depan pagar rumahku. Dia sedang bicara dengan mama.

Joshua.

Dia sudah keluar dari rumah sakit?

Kakiku berhenti, aku langsung bersembunyi di balik pohon. Aku tidak ingin berinteraksi dengannya. Tetapi tidak mungkin aku langsung masuk saja tanpa mempedulikan eksistensinya. Aku memutuskan untuk memperhatikannya dari jauh sambil menunggu waktu yang tepat untuk pulang.

Mata Joshua sudah tidak diperban. Bahkan sudah kembali seperti semula. Tidak ada sisa kejadian mengerikan waktu itu. Kulihat dia selesai bicara dengan mama dan berjalan pulang dengan wajah sedih.

Apa yang mereka bicarakan?

Begitu dia sudah agak jauh, aku segera berlari kerumah. Segera aku masuk ke dalam sebelum Joshua melihatku. Mama terkejut dengan suara pintu yang ku tutup agak keras dan langsung melihat siapa itu di depan pintu, aku.

"Cherie! Bikin kaget aja!"

"Ma, tadi Joshua ke sini?" tanyaku masih dengan nafas masih terengah.

"Iya, dia tanya kamu dimana. Kamu tadi lihat dia datang?"

"Mau apa dia kesini, ma? Dia sudah pulang dari rumah sakit?" serbuku, bahkan belum menjawab pertanyaan mama.

"Dia cari kamu. Dia tanya kenapa kamu gak pernah jenguk dia atau ajak dia main lagi. Dia khawatir kamu marah sama dia, Cher. Oh, dia juga baru pulang semalam. Sebelum datang juga tadi Widya telfon mama. Katanya Joshua mau datang. Sudah lama dia mau ketemu kamu, di rumah sakit pun selalu nanyain kamu. Bahkan semalam setelah dia sampai rumah, Joshua mau langsung ketemu kamu. Tapi dilarang mamanya karena sudah malam dan dia baru sembuh"

Aku merinding hebat.

Sebegitunya dia ingin menemuiku?

"Tadi kamu lihat Joshua kesini, nak?" ulang mama, kini lebih terdengar khawatir. Aku segera memfokuskan pikiranku lagi.

"Iya ma. Tolong jangan kasih tahu dia apa-apa ya. Cherie belum mau ketemu dia. Cherie mau ke kamar dulu" gegasku segera meninggalkan mama dan menuju ke lantai dua.

Kudengar suara mama samar di bawah yang menyuruhku mandi dan turun kembali untuk makan malam. Tetapi itu bukan jadi perhatianku sekarang. Pikiranku sekarang terfokus pada Joshua.

Dia sudah pulang. Otomatis dia akan kembali menghampiri rumahku setiap pagi untuk sekolah. Akan mengisi waktu luangku diluar jam les. Akan menghampiriku setiap hari seperti tadi. Aku harus apa? Tidak mungkin aku minta untuk pindah sekolah atau pindah rumah kan? Kemungkinan untuk tidak bertemu dengannya sangat kecil.

Namun jika bertemu, kemungkinan kembali akrabnya sangat besar. Aku takut. Aku tidak ingin ada kejadian buruk lagi. Bagaimana caranya aku tidak melakukannya?

Aku menggaruk kepalaku frustasi dan membantingkan diri ke atas kasur. Rambutku kubiarkan berantakan. Aku pusing sekali. Apa yang harus kulakukan? Jika aku secara terang-terangan bilang padanya aku tidak ingin berteman lagi dengannya, dia pasti akan sangat sakit hati. Joshua sudah baik padaku, tidak mungkin aku melukainya lebih lagi.

Pikiranku mengawang. Aku menatap lagit-langit kamarku kelu. Mataku tiba-tiba saja terasa sangat berat dan aku ingin tidur saja. Aku menyerah pada rasa kantukku dan tak lama, aku jatuh ke dalam dunia mimpi.

***

Pagi ini aku terlihat kusut. Kupaksakan diri bangun lebih pagi dari biasanya agar bisa pergi ke sekolah lebih pagi. Menghindari Joshua, sebetulnya itu alasanku.

Tekadku untuk menghindarinya semakin kuat karena semalam ternyata aku tidak bisa tidur nyenyak. Bukan karena banyaknya PR yang harus kukerjakan, tapi karena Joshua yang terus menelfon rumahku, bertanya apa aku ada dirumah atau tidak.

Aku bilang pada mama untuk mengatakan kalau aku sakit. Dengan harapan kalau dia mengerti kalau aku butuh istirahat tapi dia malah ingin menjengukku. Hanya saat mama bersikeras kalau aku tidak bisa diganggu saja dia baru mengurungkan niatnya.

Efek lainnya, hal ini sangat membuat aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku seperti dihantui dan terus dikejar-kejar. Rasanya tidak enak, ditambah pagi ini aku harus bangun jauh lebih pagi.

Aku memotong waktu sarapanku di rumah dengan membawa sepotong roti untuk kumakan sambil jalan. Masih sambil menguap, aku pamit pada mama dan pergi ke sekolah. Kutengok sisi kanan dan kiri rumahku dari dalam pagar untuk memastikan sosok Joshua tidak di sana. Sepertinya aman. Jalanan masih sepi dan sejuk, matahari belum meninggikan dirinya. Aku mengambil kesempatan itu untuk pergi lebih dulu ke sekolah dengan damai.

Penghindaran pagi ini, berhasil (√)

Aku tidak bertemu dengan Joshua seharian ini di sekolah. Oh iya, meskipun seumur, tetapi Joshua sudah kelas 9 sekarang. Aku masih di kelas 8 dengan normalnya. Kelas 9 berbeda gedung dengan kelas 8. Terlebih, kelas 9 saat ini sedang banyak pengayaan untuk ujian. Aku menghembuskan nafas lega. Aku bisa dengan santai melewati hariku di sekolah. Kalaupun aku khawatir Joshua akan mendatangi kelasku saat istirahat, aku akan pergi ke belakang sekolah untuk makan.

Semua berjalan sesuai perkiraanku selama sekolah. Ketika bel pulang berbunyi, aku masih santai memasukan buku-bukuku ke dalam tas. Joshua tidak akan mengejarku, kelas 9 masih ada pelajaran tambahan sampai jam 2. Aku melenggangkan diri dengan santainya keluar pintu kelas sampai tiba-tiba sebuah tangan menyambar pergelangan tanganku dengan kuat.

Aku kaget setengah mati, hampir menjerit. Kulihat pemilik tangan itu, Joshua. Seketika aku lemas. Dingin menyerang seluruh punggungku. Kenapa dia ada disini? Terlebih, kenapa dia bawa tas? Kan seharusnya dia masih ada pelajaran tambahan?

"Ayo pulang" ajaknya, meski terdengar lebih ke pemaksaan. Aku mencoba menarik tanganku tetapi dia justru mencengkeram tanganku lebih kuat. Dengan tak bergeming pada perlawananku, dia menyeretku ke luar sekolah.

"Jo! Sakit! Lepasin, malu tahu!" aku menerima banyak tatapan tidak enak dari anak-anak lain, juga para guru dan orang tua murid. Sebagian dari mereka justru meledek dan mengeluh tentang anak jaman sekarang. Aku malu sekali.

Di luar gerbang sekolah, dia baru melepaskanku. "Kamu kemana saja?" tanyanya, intens, tidak ramah, menuntut penjelasan.

Huh, kita ini masih SMP tahu!

"Gak kemana-mana. Masih disini saja" balasku tidak berani menatapnya.

"Aku tidak pernah ketemu kamu lagi sejak waktu di rumahku. Itu lama, tahu? Semalam kamu sakit atau tidak sebenarnya? Pagi ini aku datangi rumahmu, maksudku untuk jenguk tapi mama kamu bilang kamu pergi ke sekolah? Kamu ada masalah sama aku?" serangnya. Pikiranku kacau, tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan Joshua dan tatapan orang-orang sekitar kami.

"Ih apa sih? Malu ah! Jo kamu juga harusnya masih ada pelajaran tambahan kan? Ikut sana! Biar kamu lulus ujian!" usirku agar dia kembali masuk gerbang sekolah. Aku mendorong tubuhnya, tapi dia terus bertahan pada kakinya, tetap menanyaiku.

"Han! Ada apa sih?"

"Gak kenapa-kenapa! Udah ah! Aku gak mau temenan sama kamu lagi!" ceplosku tanpa sadar.

Aku tidak bermaksud untuk tidak berteman dengannya lagi, tetapi lidahku sepertinya tidak lagi sinkron dengan pikiranku. Beberapa orang melihat kami, sibuk berbisik-bisik. Sebagian merekam kami dengan handphonenya. Huft. Pasti habis ini video kami ada di akun receh.

Pikiranku semakin kacau. Kurasakan tubuh Jo semakin sulit didorong. Keras dan kaku. Karena heran, aku akhirnya memberanikan diri menatapnya dan aku terkejut bukan main.

Joshua hampir menangis?

"What..." lirihnya. Dia menggigit bibir bawahnya yang bergetar sambil menahan air yang sudah menumpuk di pelupuk matanya itu jatuh.

"Eh? Jo...?" aku bingung melihatnya. Apa kata-kataku sudah sangat menyakiti hatinya? Jo, jika kamu mau, kamu bisa berteman dengan siapa saja!

Aku panik, berusaha menenangkannya. Tanganku sudah terulur untuk mengusap air matanya yang sudah jatuh tetapi sebelum aku bisa melakukannya, Jo menepis tanganku dan mengusap air matanya sendiri. “So you hate me now? I understand. Thank you, Han" lalu dia pergi begitu saja. Meninggalkanku yang tidak tahu harus berbuat apa. Ini pertama kalinya aku menyakiti hati temanku. Biasanya orang yang menyakitiku, aku jadi tidak tahu harus berbuat apa.

Duh, drama apa ini!

ตอนถัดไป