Jakarta memang kota kelahiranku dan kota kelahiranmu. Namun, Jakarta yang aku rasa, berbeda dengan Jakarta yang kau kira.
Aku bisa mendengar semua.
Derap langkah mereka dalam berbagai tempo. Lalu lalang di atas lantai semen.
Alunan lagu dalam Bahasa Inggris dan Indonesia. Diiringi dentuman-dentuman yang
membuat tanah seakan bergetar.
Juga suara tawa mereka. Di saat aku susah payah membendung air mata.
Tanganku terangkat. Coba menghalangi cahaya lampu yang menerobos dari ruang di antara pergerakan manusia. Kilaunya membuat kepalaku sakit. Gelombang cahaya putih, kuning, merah, hijau bagai menusuk mataku di saat yang bersamaan. Hingga lagi-lagi, pandanganku buram.
"Ayah, Ibu?" Aku memanggil pada keramaian. Namun, manusia-manusia tinggi di sekitarku tidak ada satu pun yang mengubris. Membuatku semakin frustasi. Tangisku pecah.
Kakiku bergerak sangat lamban. Melangkah di antara tenda-tenda permainan, makanan, pakaian, kendaraan. Terperangkap dalam suara-suara percakapan yang memekakkan telinga. Dan kemudian, bising... Bising sekali.
Telingaku berdenging.
"Ayah, Ibu?" Panggilku lebih keras.
Namun aku sendiri tidak bisa mendengar suaraku. Hanya tatapan aneh yang kuterima dari orang banyak. Ratusan pasang mata yang begitu mengintimidasi.
Mereka menghentikan semua aktivitasnya untuk menatapku berlari ke depan. Mata mereka lekat mengikuti setiap pergerakanku.
"AYAAH?" Aku menangis sejadi-jadinya. "IBUUU?" teriakku sekuat tenaga.
Lalu sesuatu muncul dari langit. Sangat terang. Hingga semuanya berubah menjadi putih. Seputih putih yang sesungguhnya. Menyilaukan lebih dari apa pun juga.
Mataku terpejam sebagai mekanisme perlindungan. Tapi cahaya putih yang sebelumnya kutangkap berubah menjadi merah. Merah membara, diikuti sensasi terbakar pada kulitku yang lebih menyiksa dari pada yang pernah kualami.
Saat sadar telah menahan napas akibat syok, aku menghirup udara sekuat-kuatnya. Layaknya orang yang baru terbangun setelah lama terperangkap dalam fluid. Mendesak oksigen masuk ke dalam paru-paru karena denyut nadi selanjutnya ditentukan dari sana.
Cahaya putih kembali datang lagi. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Tidak tahu mana keadaan kelopak mataku terangkat atau tertutup. Cahaya putihnya terlalu menyilaukan.
Aku memejamkan mata rapat-rapat. Kemudian membukanya lagi.
Kali ini, dinding putih yang kutatap. Jaraknya sekitar dua meter dari tempatku berada. Langit-langit putih, lantai putih. Bersandar pada dinding, sebuah rak buku minimalis warna senada. Di sisi kanan, komputer kaca dengan layar tembus pandang bertengger di atas meja.
Napasku yang memburu berangsur normal.
'Kadar oksigen saat ini normal, kadar air saat ini normal.'
Aku terkesiap. Menoleh ke kiri, ke arah muasal suara perempuan tadi. Suara dari sebuah hologram berbentuk silindris yang seperempat bagian tubuhnya terbuat dari krom putih. Terletak persis di atas meja sisi kasurku. Angka laporannya tampil berjalan pada layar: Oksigen 21% Air 90%.
"Ah, berhenti menguji jantungku," keluhku lirih. "Bagaimana dengan suhu di luar?"
'Suhu saat ini di atas normal.'
Layar hologram silindris menampilkan tulisan: Suhu 42,2°C. Membuatku menatapnya tak percaya.
Aku meraihnya untuk memperhatikan lebih baik. Hingga muncul putaran ketiga yang menampilkan angka yang sama. 42,2°C. "Masih naik lagi?" gumamku seraya bangkit berdiri. "Ke mana perginya janji untuk membereskan masalah ini?"
Aku meletakan kembali benda yang menjadi satu-satunya lawan bicaraku di rumah.
"Cek jadwal konseling hari ini," perintahku. Berjalan telanjang kaki menuju dapur serbaputih. Menghampiri dispenser berbentuk balok yang menempel pada dinding. Tombol dengan ukiran simbol air lantas menyala saat kupencet. Kemudian lapisan bagian depan terangkat. Menampilkan gelas kaca bening berisi air. Begitu aku mengambilnya, lapisan yang tadi terangkat kembali ke posisi semula.
'Jadwal konseling hari ini pukul sembilan pagi, sebelas siang, dua lewat tiga puluh menit, dan
lima lewat tiga puluh sore.'
Aku menggenggam gelas yang telah kosong. Mencoba menyerap hawa dingin yang tersisa. Demi meyakinkan akal sehatku bahwa suhu yang bagai neraka ini bukanlah suhu Bumi yang diketahui nenek moyangku. "Batalkan semuanya."
'Apakah Anda yakin?'
"Yakin. Batalkan, atur kembali jadwal. Juga, tolong buat janji dengan konselor pribadiku."
'Baik. Mengajukan permohonan ke Bunker D.'
Aku meletakkan gelas pada atap dispenser yang langsung melahapnya masuk. Sesuai program, melakukan proses sterilisasi. Suara dengung rendah mengkonfirmasi proses tersebut.
Kemudian aku melangkah ke tempat persembunyian favoritku, kamar mandi. Ruang serba putih yang paling kedap suara. Tempatku meringkuk saat amuk hujan badai dan kilatan petir gaduh.
Aku berdiri di bawah shower yang telah aku set dengan mode hujan. Rintik-rintik airnya membasahi kepalaku terus turun hingga ke kaki. Aku memejamkan mata, menengadahkan kepala. Meresapi sensasi gerimis yang bagaikan turun ke atasku saat ini. Sudah berapa tahun aku tidak berjalan di bawah hujan? Tidak mendengar suaranya yang sungguh menenangkan hati.
Katanya, air menyembuhkan. Air punya kekuatan untuk membawa segala kekhawatiran hanyut bersamanya. Jadi apakah tsunami besar yang dikhawatirkan datang menyapu eksistensi manusia adalah jalan terbaik? Apakah aku akan diliputi damai saat hanyut bersamanya?
Handuk putih kubalut sekenanya di tubuh. Seratnya lembut sekali menyentuh kulit.
Tepat sebelum keluar dari kamar mandi, aku mengambil satu set baju baru. Persis seperti yang sebelumnya kukenakan. Kaos lengan panjang dan celana panjang terbuat dari serat organik yang memiliki efek menyejukan. Dari warna putih, krem, abu-abu, dan biru yang tersedia dalam rak, aku memutuskan krem sebagai warnaku hari ini.
Handuk yang tadinya di tubuh kulilit di atas kepala.
'Konselor Anda sudah terhubung.'
"Baik. Terima kasih. Oh iya, bisa naikan kaca film?"
'Menaikan kaca film ke 60%.'
Ruangan kamar meredup. Tapi signifikan mengurangi panas. "Nyalakan lampu," perintahku sambil menarik kursi yang berkamuflase menyatu dengan badan meja. Kursi putih berbentuk n kini terpisah dengan meja balok.
Jari telunjukku menyentuh layar komputer kaca. Membangunkannya. Sepersekian detik kemudian, metode otentikasi biometrik berhasil mengenali wajahku dengan baik. Berganti dengan hologram bertuliskan "Selamat Datang". Diikuti tanggal hari ini di bawahnya: 22 Juni 2127.
Notifikasi telepon menunggu di sudut kanan layar. Satu sentuhan ringan di sana, dan wajah konselorku memenuhi layar. Membuatku tersenyum.
"Hai, di situ kau rupanya. Oh tunggu, kau menyalakan lampu di siang hari seperti ini? Benar-benar pemborosan listrik!" omelnya dengan ekspresi tawa yang sangat menular.
"Ya, ada masalah apa dengan keputusanku? Toh, bukan listrik komite yang kupakai. Ini disuplai dari atap panel surya milikku sendiri," balasku tak kalah sengit.
Ia mendecakkan lidah. Matanya yang dihiasi keriput halus menatap lurus ke mataku. "Masalahku adalah harus menghadapi konseling mendadak di waktu senggangku, nona."
Ucapan sinisnya begitu menggelitik hingga membuatku tertawa. "Oh, maafkan aku! Apa aku mengganggu jadwalmu?"
"Tentu saja tidak. Apalah aku ini! Konselor yang jadwalnya paling padat justru berada di depanku, bukan? Jadi, katakan, apa yang membuatmu tiba-tiba menghubungiku?"
Aku terkekeh. Menghindari kontak mata selama beberapa saat. Hubungan kami berdua yang terlalu dekat sarat akan tanya. Garis profesionalitas yang seharusnya dijaga antara konselor dan pasien menjadi samar. Terkadang, aku melihat sosok ibu kandungku dalam dirinya, dan ia menganggapku seperti anak yang dikandung dari rahimnya sendiri. Tali emosi kami terikat begitu kuat satu dengan yang lain.
Waktu kembali menatapnya, aku berkata, "Aku.. ingin bicara kepadamu sebagai seorang pasien." Lalu menunduk. Menarik handuk yang membekap rambut, membiarkannya tergerai demi disisir jari.
"Katakan. Apa yang mengganggumu saat ini?"
Tanganku memeluk kaki lebih erat. Satu-satunya segel, atau tubuhku akan mulai bergetar seperti orang yang kedinginan. Aku mengeluarkan kata per kata dengan perlahan. "Aku bermimpi.. Saat itu Pekan Raya Jakarta. Lima belas tahun silam.. Usiaku delapan tahun.. Aku tersesat, terpisah dari kedua orang tuaku.. Sedangkan, ramai sekali orang memenuhi toko berbagai komoditas.."
"Apa yang selanjutnya terjadi?" tanyanya lembut.
Mataku menerawang. "Di kenyataannya.. Waktu itu, aku berhasil bertemu kembali dengan ayah dan ibuku. Aku membuat mereka kebingungan karena aku tidak bisa berhenti menangis. Akhirnya mereka membelikan makanan kesukaanku, kerak telor." Aku tertawa lemah, berharap itu bisa menjadi pelipur lara di dada. "Tapi, di dalam mimpi.. Aku terus memanggil mereka.. Tidak ada jawaban. Hingga panas, membakar." Setitik air mata mengalir membasahi pipi.
"Persis, seperti waktu mereka nekat pergi ke titik kebakaran hutan. Lama tidak terdengar kabar.. Satu dua hari berubah menjadi satu minggu.. Kemudian telepon dari nomor yang tidak kukenal membawa berita bahwa mereka tewas terbakar dalam misi."
Jeda panjang hanya diisi tangisku.
"Apa artinya hidupku? Aku bukan mereka. Aku tidak setangguh mereka. Berani menentang kebijakan yang melanggar moral, memimpin konferensi, menguatkan para korban, dan setiap malam masih sanggup pulang dengan senyum.. Katanya 'Ibu dan Ayah selangkah lebih dekat membentuk dunia yang layak untukmu'. Di saat manusia kota begitu egois ingin mengeksploitasi alam, mereka selalu ingin melawannya.."
"Apa kamu marah pada orang tuamu?"
Aku membenamkan wajah pada lutut. Menggelengkan kepala berkali-kali. "Bukan. Aku.. aku hanya rindu. Hidup berat sekali sejak.. keabsenan mereka.."
"Kamu tahu mengapa orang tuamu berani bertaruh nyawa?" Ia bertanya dan mengirim gelombang emosi yang begitu menyesakkan dada secara bersamaan.
Tentu aku tahu jawabannya, tapi aku tak kuasa mengucapkannya. Sebagai gantinya kepalaku mengangguk. Menjatuhkan lebih banyak bulir air mata ke atas kain celana.
"Mereka sangat menyayangimu. Kamu adalah anak semata wayang yang sangat dicintai mereka. Fakta bahwa mereka ingin menciptakan dunia yang normal untukmu, menandakan betapa besarnya mereka ingin kamu hidup dengan menikmati segala keindahan Jakarta yang masih bisa diselamatkan."
Tanganku menyeka air mata. "Apa aku layak.. untuk mendapatkan kesempatan ini?"
"Mengapa kau merasa tidak layak?"
"Aku tidak sehebat mereka.. Pengetahuan, riset mengenai iklim.. Aku tidak pandai menganalisanya. Yang aku lakukan hanya menganalisa perasaan manusia."
"Jadi, kau menganggap apa yang tengah kau lakukan tidak sepenting mereka?"
"Aku tahu masing-masing manusia punya caranya sendiri untuk berkontribusi. Hanya saja.. Hanya saja mereka punya motivasi lebih saat melakukannya. Tapi kini rasanya semua sudah terlambat. Jakarta sudah tandus. Kering kerontang. Membawa partikel berbahaya pada tiap hembusan angin. Gemerlap lampu pusat perekonomian sudah lama mati. Gedung-gedung pencakar langit sudah lama rata dengan tanah."
"Menurutmu, sudah lenyapkah.. harapan? Coba kau pikirkan baik-baik, apakah kota yang mendefinisikan manusianya? Ataukah manusia yang mendefinisikan kotanya?"
Pertanyaan itu membuatku tertegun cukup lama.
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba sambungan telepon terputus. Digantikan tulisan di layar "akan segera tersambung dalam beberapa menit". Aneh.
Aku dibuat berpikir keras mencari jawaban.
"Tolong beritahuku jika telepon sudah kembali terhubung."
'Baik. Pengingat telah siap.'
Sambil terus mencari, aku beranjak dari kursi. Berpikir aku butuh suasana baru.
Rumah kaca. Tempat tumbuh-tumbuhan penopang kehidupanku berada. Hamparan ladang sansivera penyedia oksigen siang dan malam. Juga menara-menara hidroponik penyedia padi, sayuran, rempah yang menjadi sumber makananku. Dan di tengah-tengah itu semua, sebuah pohon salak dan dukuh Condet berdiri teguh. Dua pohon buah asli Jakarta yang menjadi kesukaan ayahku.
Aku melangkah mendekat, untuk meraba kulit pohon yang usianya sama denganku. Kala aku melihat ayah merawat pohon ini, aku mempertanyakan mengapa pohon ini begitu spesial. Dan aku mengingat jelas cerita ayah tentang Condet, wilayah yang sejuk dengan berbagai pohon buah unik nan rindang. Sayang, ayah lahir pada era di mana pohon-pohon itu sudah ditebang.
Walau begitu, ayah tidak pernah berhenti berharap. Ia menanam benih unggulan yang ia peroleh dari Cagar Buah Condet agar menjadi pengingat asrinya wilayah Jakarta pada masa itu dan betapa biodiversitas layak dipertahankan.
Ayah berkata lembut kepadaku saat itu, "Yang ayah tanam mungkin hanya dua pohon ini, tapi ada banyak bibit yang sudah ayah persiapkan untukmu. Kalau tiba waktunya, tanamlah. Niscaya alam akan mengizinkan benihnya berbuah."
Sejalan dengan kata bijak dari ibu yang membekas di benakku. Alam menerima kalau kita hormat. Alam menolak kalau kita tidak. Semudah itu.
'Telepon kembali terhubung.'
Aku berlari tunggang langgang ke dalam rumah. Menyisakan jejak tanah di atas lantai.
Namun saat tiba di depan layar komputer, antusiasmeku lenyap diganti tanya. Karena bukan sambungan video call yang kudapati. Melainkan sambungan telepon dengan nomor yang tidak dikenal.
"Halo?" selidikku.
Layar hologram menampilkan fluktuasi gelombang suaranya, bersamaan dengan suaranya. Suara seorang laki-laki. "Halo?"
Keningku berkerut. "Maaf, sepertinya ada kesalahan dalam sistem komputerku. Sebelumnya aku sedang tersambung dengan-"
"Bunker D?"
"Iya.. Bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku hati-hati. Aku mencoba menghubungi konselorku kembali secara manual, tapi yang kudapat hanya tulisan "akses ditolak". Kenapa?
"Nampaknya ada yang tidak beres dengan Bunker D dan C."
Jantungku berdegup cepat. Ada firasat buruk yang merenggut keberanian dalam suaraku. "Apa yang kau maksud dengan tidak beres?"
"Kau tahu, beberapa pekan yang lalu, tersiar kabar mengenai persediaan oksigen yang semakin terbatas. Lalu, tiba-tiba saja pesan anonim dari Bunker D memberiku mandat untuk menjagamu."
"Apa?"
"Apa kau dekat sekali dengan orang ini?"
"Orang ini katamu?! Apa kau tidak punya rasa hormat? Ia memiliki nama."
"Baiklah, beri tahu padaku siapa namanya kalau begitu."
"..Jakarta0104"
"Kau bahkan tidak tahu nama aslinya."
Satu kalimat yang membuatku mempertanyakan kedekatan kami.
"Kau tidak tahu apa-apa," balasku berusaha terdengar tidak terganggu oleh penilaiannya.
Aku mendengarnya tertawa kecil. Tapi bukan jenis tawa bahagia. Lebih terdengar seperti tawa miris. "Percayalah, kita sama-sama tahu bagaimana pedihnya kehilangan orang yang kita cintai. Aku turut berduka, atas apa yang terjadi pada kerabatmu."
"Tidak.. tidak.." gumamku menolak percaya. "Menurutmu dia..?"
"Permainan kotor komite. Mengorbankan sebagian untuk keuntungan yang lebih besar."
Sudah. Tubuhku lemas. Tidak kuasa aku membayangkan hal keji yang dilakukan komite pada dua puluh nyawa dalam Bunker D. Hanya beberapa menit yang lalu sesuatu yang tidak bermoral diizinkan terjadi oleh orang yang "berwenang". Seakan-akan sebagian orang hanyalah pion tidak berguna.
"Hei.." Sosok misterius di ujung telepon menghela napas panjang. "Kau boleh menangis sepuasnya, kau tahu. Menyimpan emosi negatif hanya akan memperpendek usia hidupmu."
Dan seperti diberi aba-aba, air mataku mengalir dengan derasnya. Sudah lelah aku menghadapi kematian demi kematian. Pedih mengingat pagi tadi adalah kali terakhir aku bisa mendengar suara konselor pribadiku. Kali terakhir aku bisa bercanda dengan sahabatku. Kali terakhir aku bisa mencurahkan isi hatiku pada orang yang paling kupercaya, orang yang kuanggap ibuku sendiri. Kepada siapa lagi aku bisa berlindung dari sisi gelapku?
Begitu lama aku berkutat pada perasaanku sendiri. Lupa bahwa telepon masih tersambung. Selama itu, laki-laki menyebalkan ini mendengarkanku menangis. Membuatku dirundung malu saat penuh kesadaran tahu sudah memperlihatkan sisi lemah kepada orang asing.
"Sudah lebih tenang?
Aku mengangguk dan menyeka air mata. Tapi tentu saja ia tidak bisa melihatnya.
Ia kembali bertanya, "Boleh aku tahu namamu?"
"Nama?"
"Iya."
"Jakarta0025."
"Bukan, bukan itu. Nama aslimu."
"Ke.. Kemang." Begitu mengucapnya, aku seperti ditarik kembali ke masa lalu. Kala nama itu masih jadi bagian penting dari identitasku.
"Aku Muara. Salam kenal, Kemang. Atau kalau kau lebih suka, sebut aku Jakarta0013."
Ada sesuatu, kehangatan yang mengalir di sekujur tubuhku. Orang terakhir yang memanggilku dengan nama asli, tidak lain adalah orang tuaku sendiri. Maka, setelah bencana kebakaran, angin topan, kualitas udara yang memburuk, dan suhu yang naik secara signifikan memaksa orang-orang diam di dalam ruang��rumah dalam kasusku dan bunker dalam kasus kebanyakan orang—aku bahkan hampir lupa dengan nama pemberian orang tuaku.
Lagi, ia menyebut namaku. Tapi intonasinya lebih bersahabat dari sebelumnya. "Kemang, manusia itu egois. Aku memberi tahu namaku agar kamu mengingatnya kalau-kalau besok adalah hari terakhirku hidup. Dan aku, juga, akan mengingatmu kalau-kalau kau yang lebih dulu. Karena kita tidak pernah tahu kapan nyawa ini direnggut Tuhan atau direnggut manusia. Tapi sampai saat itu datang, berjanjilah untuk sama-sama egois menuntut satu sama lain bertahan hidup."
Dan, aku baru tahu kalau keegoisan manusia bisa terdengar semurni itu.