webnovel

Perasaan Bersalah

"Tidak di tempat kumuh menjijikkan ini." Skylar pun berbalik. "Ikut aku. Bawa mantelmu. Kutunggu di depan." Pemuda itu segera berbalik dan keluar dari sana.

Mischa juga berbalik menuju kamarnya untuk mengambil mantel yang tergantung. Dia buru-buru keluar karena tak ingin membuat orang itu menunggu. Apalagi, meski malam ini tidak turun salju, namun suhunya tetap dingin.

Di luar, Mischa melihat lelaki itu sedang berdiri bersandar pada sebuah mobil hitam. Uap dari embusan napasnya mengepul di depan wajahnya. Dari caranya berdiri, lelaki itu tampak angkuh. Sorot matanya dingin, sanggup membuat siapapun yang ditatapnya tercengang dan sedikit terintimidasi.

Mischa baru melangkah sebanyak dua langkah, pemuda itu sudah mengangkat kepalanya dan berbalik tanpa menatap Mischa. "Masuk." Tanpa membukakan pintu bagian penumpang, Skylar masuk ke bagian pengemudi.

Tak berapa lama, mobil pun menyala dan bergerak pergi dari sana. Meski di dalamnya ada dua orang, tapi suasana sangat sunyi karena tak ada yang bicara. Skylar sudah cukup berbaik hati membiarkan seorang pelacur naik ke mobilnya. Itu adalah sebuah hal yang sangat langka, karena Skylar sebelumnya sama sekali tidak akan membiarkan pekerja rendahan itu menyentuh barangnya. Kemudian, sebagai seseorang yang memiliki perasaan lebih superior, dia tak merasa punya kewajiban untuk mengajak penumpang di sebelahnya bicara.

Di sisi lain, Mischa merasa amat tidak nyaman. Gadis itu berusaha mengalihkan pikirannya dengan melihat pemandangan melalui kaca, meski pemandangannya tak istimewa sama sekali. Dia tidak menyangkal kalau masih ada perasaan takut dan trauma yang tersisa dalam hatinya. Dia takut jika pemuda di sebelahnya memperlakukannya dengan kasar seperti waktu itu. Mischa masih bisa mengingat rasa sakitnya. Dia bahkan tidak bisa berjalan dengan normal setelahnya dan harus istirahat selama dua hari.

Mobil pun berbelok ke sebuah hotel yang berbeda dengan hotel yang pertama kali mereka pesan, namun hotelnya tetap terlihat mewah. Meski Mischa sedikit senang karena bisa tidur di kasur yang empuk, tapi tetap tidak menghilangkan perasaan takutnya.

Setelah mobil berhenti di depan lobi dan keduanya turun dari kendaraan, Skylar menyerahkan kuncinya pada petugas valley untuk memarkirkan mobilnya. Kakinya melangkah cepat menuju resepsionis untuk mengambil kunci, yang lantas lanjut ke tempat lift berada tanpa repot-repot memanggil Mischa agar ikut dengannya.

Lagi-lagi, suasana di dalam lift begitu sunyi. Tidak ada orang lain di sana kecuali mereka berdua, sementara Mischa hanya menunduk dan berdiri sedikit menjaga jarak. Skylar pun sadar dengan sikapnya dan tak bisa menyalahkan gadis itu. Sebagian besar memang salahnya, tak heran jika Mischa kini sedikit trauma padanya. Sebuah gelagat yang aneh dari seorang pelacur, huh?

Mereka pun masuk ke dalam kamar. Tapi begitu pintu ditutup, Mischa masih berdiri di pintu, tak memedulikan tamunya yang sudah berjalan masuk lebih dulu. Dia hanya berdiri dan menunduk dengan detak jantung yang menggila. Jujur saja, dia takut kalau kejadian sebelum ini akan terulang lagi. Tangannya mulai gemetar. Dia ingin pulang.

Skylar pun menyadari kalau gadis itu masih saja berdiri diam di depan pintu dan tampak ketakutan. Tanpa bisa dikendalikan, dadanya terasa sedikit sesak. Sebuah hal yang dibencinya, karena, kenapa dia harus merasa seperti ini kepada seorang pelacur?

"Kenapa berdiri di sana? Kemari." Detik setelah Skylar selesai mengatakannya, dia menyadari kalau apa yang keluar dari mulutnya, tidak sejalan dengan keinginan otaknya. Maka, dia mengubah nadanya agar tak lagi terdengar dingin dan ketus. "Tak apa, kejadian yang lalu tak akan terulang lagi. Aku bisa jamin itu."

Gadis itu pun mengangkat kepalanya perlahan. Sorot ketakutan masih terlihat jelas di matanya.

"Kemari. Aku tidak akan menyakitimu," katanya, yang lantas mendudukkan dirinya di atas kursi di seberang ranjang.

Dilihatnya gadis itu melangkah perlahan untuk menghampirinya. Mulanya, Skylar berniat untuk meminta maaf—meski ada sedikit keengganan—atas tindakannya dua minggu lalu. Tapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara ketika Mischa sudah berdiri di dekatnya. Apa yang ingin dia katakan tak tersampaikan sama sekali.

Setelah beberapa saat, akhirnya Skylar menyerah. Dia menggeleng, berniat mengatakannya nanti setelah selesai menata hatinya dan meyakinkan diri bahwa dirinya memang benar-benar harus meminta maaf.

Pemuda itu menghela napas berat. Tangannya menunjuk ke arah pintu kamar mandi di sana. "Pergilah bersihkan badanmu dulu." Gadis itu tentu tidak mengira dia mengajaknya kemari hanya untuk mengajaknya bicara setelah dirinya menunjukkan gelagat seperti ini, bukan? Meski Skylar punya banyak uang, tapi dia tidak akan menyia-nyiakan uangnya dengan membawa seorang pelacur hanya untuk diajak bicara, kemudian membayarnya.

Skylar menyuruhnya mandi untuk menghilangkan semua bau yang menempel dari orang-orang di dalam rumah bordil sebelumnya, juga bekas-bekas sentuhan dari pria lain. Membayangkannya saja sudah cukup membuatnya merasa mual.

Gadis itu mengangguk pelan. Mischa menggantungkan mantelnya dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi.

Begitu pintu tertutup, Skylar juga ikut melepas mantelnya dan berpindah ke atas ranjang. Dia merebahkan tubuh di sana dan menutup matanya dengan lengan. Sebuah hela napas panjang terdengar.

Entah mengapa, dia mendadak merasa begitu lelah. Beberapa hari ini, Skylar tidak bisa tidur nyenyak, sebagian besar karena dia tak terlalu ingin dihampiri mimpi akan gadis pelacur itu hanya karena perasaan bersalahnya. Kini lelahnya kembali begitu punggungnya menempel pada ranjang yang empuk. Suara gemericik air di dalam kamar mandi bagaikan lagu pengantar tidur yang menggiringnya masuk ke dalam alam bawah sadar.

Next chapter