webnovel

34 Malam Masih Panjang

"Sekarang aku minta kalian berbaris!"

Para preman itu dengan cepat mematuhi Randika sambil menggigil kedinginan.

"Lari keliling 3x dari sini hingga ke ujung jalan." Kata Randika, "Siapapun yang tidak berlari ataupun berusaha kabur, aku akan menggantung telanjang kalian di pintu bar ini selama 3 hari."

"Ketika kalian berlari jangan lupa untuk berteriak 'aku telanjang dan aku bangga' setiap 10 detik."

"PAHAM?" Teriak Randika.

"Paham." Nyali para preman sudah menciut begitu pula 'adik' mereka yang kedinginan.

"Sana cepat lari!"

Dengan begitu, semua preman ini berlarian dalam barisan mereka sambil berteriak. "Aku telanjang dan aku bangga!"

Saat mereka mencapai kerumunan orang yang ada di sisi jalan, semua pejalan kaki itu memiliki reaksi sendiri-sendiri. Ada yang terkejut, tertawa, bahkan ada yang memfoto mereka.

"Aku telanjang dan aku bangga!" Para preman ini sudah ingin mengubur diri mereka. Namun ketika mereka menoleh ke belakang dan melihat tatapan tajam Randika, bisa-bisa mereka dikubur beneran.

"Aku telanjang dan aku bangga!" Teriakan mereka semakin keras.

Ketika mereka sudah mencapai ujung jalan, teriakan mereka sudah tidak terdengar oleh Randika.

Randika lalu menaruh Elva di tanah dan mulai merogoh-rogoh kantong celana para preman itu.

"Kau mencari apa?" Elva makin mendapatkan kesadarannya walaupun masih lemas. Dia melihat tindakan jahil Randika kepada para preman itu. Dia benar-benar tidak bisa memahami jalan pikir Randika.

"Nyari uang." Randika bahkan tidak repot-repot menoleh. Dia memeriksa semua dompet dan mengambil seluruh uangnya.

"Ha? Uang buat apa?" Elva nampak bingung. Apakah Randika kekurangan uang?

Randika menoleh ke Elva dan tersenyum. "Bagaimana caranya aku membuka kamar kalau tidak pakai uang?"

Ketika mendengarnya Elva merasa malu dan marah. Bisa-bisanya bajingan ini masih berpikiran mesum.

Ketika Randika hendak berdiri dan berjalan menuju Elva lagi, dia menyadari bahwa ada sebuah kotak di salah satu kantong celana. Ternyata itu kondom.

Seketika itu juga, mata Randika bersinar dan segera mengambilnya. Ketika Elva melihatnya, dia memalingkan wajahnya dengan jijik.

"Hahaha walaupun ukurannya agak kecil, kurasa 24 ronde buat kita cukup bukan?" Randika tertawa dan memasukkan kondom itu ke kantongnya dan menggendong kembali Elva.

"Malam masih panjang, ayo kita buka kamar dan bersenang-senang!"

Randika menggendong Elva dengan gembira dan menghilang.

"Dua kotak kondom untuk satu malam? Kau yakin tidak akan loyo?" Tanya Elva dengan muka bingung. Meskipun dia tidak ingin bersetubuh dengan pria ini, dia benar-benar tidak bisa apa-apa dan hanya bisa pasrah. Jadi dia hanya bisa menggertak dan berharap bahwa pria ini tidak akan benar-benar melakukannya.

"Jangan khawatir, staminaku itu luar biasa dan kalau hanya segitu bukan masalah bagiku. Apakah kau merasa kurang sayangku?" Randika tertawa keras. "Kau akan mencintaiku setelah 10 ronde nanti."

Melihat gertakkannya tidak berhasil, Elva menjadi marah. "Kalau kau berani menyentuhku, kupatahkan alat kelaminmu nanti!"

Randika tersenyum, "Hmm? Bagaimana kau akan mematahkannya? Dengan mulut kecilmu itu? Atau dengan jepitan mulut bawahmu?"

Elva semakin jijik ketika mendengar lelucon mesum Randika terutama saat dia membahas mulut bawah tersebut. Oleh sebab itu dia benci semua pria.

"Jangan khawatir, alat milikku ini sangat keras kalau sudah tegang." Lanjut Randika.

Melihat kesuciannya terancam, Elva tidak memiliki pilihan lain selain melarikan diri dari orang ini. Jadi dia mulai meronta-ronta.

"Maaf tapi kau harus diam dulu." Randika mulai was-was, apakah pengaruh obat para preman itu akan hilang?

Randika lalu segera mempercepat langkahnya sambil terus menggendong Elva dengan kedua tangannya.

Di tengah larinya itu, Elva yang meronta-ronta itu melorot dari pegangannya dan dia pun membetulkannya. Ketika itu juga, tangannya secara tidak sengaja meremas dada Elva. Randika merasakan kelembutan bakpao di tangannya.

"Luar biasa!" Randika tidak bisa berkata apa-apa sambil terus memandangi dada milik Elva. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menelan ludahnya. "Aku semakin tertarik denganmu!"

Sambil terus berlari, dia melihat bahwa hotel sudah tidak jauh dari tempatnya. Elva merasa bahwa tubuhnya semakin panas ketika dia dipegang-pegang oleh Randika. Dia mulai memeluk leher Randika, seakan-akan dia ingin Randika memainkan tubuhnya lebih kuat lagi.

"Gawat." Randika tersenyum pahit. Dirinya bukanlah orang mesum yang suka memamerkan hubungan intimnya di depan publik.

"Badanku panas…" Elva bergumam dan tangannya semakin mencengkram erat leher Randika. Sepertinya dia sudah memiliki tenaganya kembali tetapi pikirannya tidak dapat berpikir jernih akibat rangsangan Randika.

Karena menggenggam erat leher Randika, bibir Elva berada di dadanya. Dia mulai mencium dan menjilati Randika.

"Sialan, foreplaymu boleh juga!" Randika sudah tidak sabar dan nafsu mulai menguasainya. Elva kemudian mencium Randika.

Kedua bibir mereka bertemu, dan Randika segera meledak. Randika berhenti berlari dan memeluk erat Elva sambil memainkan lidah.

Pada saat yang sama, orang-orang di jalan melihat takjub pada mereka. Bisa-bisanya mereka berciuman sepanas itu di tempat terbuka.

Orang-orang di Indonesia cukup cuek terhadap pelanggaran norma asalkan tidak merugikan mereka tetapi melakukan ciuman ekstrim seperti itu di tengah jalan? Pasangan itu cukup nekad.

Elva lalu merangkulkan kakinya di pinggang Randika dan Randika memegangi bokong indahnya itu. Mereka lalu berhenti di dinding sebuah toko sambil terus berciuman. Dari awal hingga akhir, lidah mereka tidak pernah berhenti dan begitu pula tangan Randika.

Seorang penatua melewati mereka berdua dan melihat aksi gila pasangan muda tersebut. Dia langsung menggelengkan kepalanya. "Mau jadi apa negara ini ckckck…."

Randika tidak peduli dengan tatapan sinis semua orang. Dia merasa bahwa dirinya semakin tegang.

Namun dia merasa tatapan tajam seseorang di belakangnya dan menoleh. Elva yang masih horny segera meminta kembali bibir Randika dan menciumnya lagi.

"Sayang mari kita tuntaskan ini." Randika tersenyum dan mulai menyentuh bagian mulut bawah Elva. Namun, tiba-tiba Elva pingsan.

Seketika itu juga mobil polisi menghampiri mereka berdua.

"Hei kau! Keluarkan KTP-mu!" Sebuah suara yang tidak asing terdengar dari balik punggungnya.

Randika menoleh dan terkejut. Ada apa hari ini? Kenapa semua cewek rasanya menginginkan dirinya hari ini?

Polisi cantik kenalannya yaitu Deviana juga terkejut. Orang ini bukannya pria yang ada di restoran kapan hari?

Mengesampingkan keterkejutannya, Deviana kembali fokus. "Tunjukkan KTP-mu, aku mendapatkan laporan bahwa ada sepasang kekasih yang menggunakan obat-obatan dan bermesraan di tempat umum."

Randika lalu menyandarkan Elva di dinding. Seketika itu juga, 3 orang polisi lainnya yang masih berada di dalam mobil melihat bahwa Elva sepertinya tidak sadarkan diri. Satu per satu dari mereka keluar dari mobil.

"Hei bukankah kita teman?" Randika tersenyum dan meraih tangan kanannya Deviana. "Aku ingat bahwa aroma yang kau pancarkan sangat harum. Bolehkah aku menciumnya lagi?"

Melihat candaan Randika yang terdengar vulgar itu, Deviana merasa dirinya dipermalukan dan segera mengeluarkan borgol miliknya. "Aku tidak mengenalmu dan aku menduga kau memiliki obat-obatan terlarang. Ikut aku ke kantor!"

"Dev, apakah orang ini tersangkanya?" Seorang polisi laki-laki segera menghampiri mereka.

"Berani sekali kau melanggar hukum? Kalian berdua tangkap dia."

Randika menatap tajam ke arah ketiga polisi tersebut dan menyadari tatapan mesum mereka terhadap Elva.

Randika menghela napas. Dengan santai dia mengatakan, "Kalian ini gila atau apa? Apakah salah satu dari kalian melihat aku membawa ataupun memakai benda tersebut? Jelas-jelas aku sedang menggendong pacarku yang ngantuk ini ke rumahnya."

"Pembohong!" Deviana menatap tajam Randika. "Laporan yang ada mengatakan kalian sedang berbuat hal-hal tidak senonoh di tengah jalan dan kalau aku lihat perempuan itu sekarang, jelas-jelas dia berada di bawah pengaruh obat. Selama kau bisa membuktikan hal ini di kantor, aku baru akan percaya kata-katamu."

"Buat apa kau menjelaskan pada sampah masyarakat itu?" Kata temannya Deviana itu. Kedua polisi lainnya segera menghampiri Randika.

Salah satu dari mereka hendak menyentuh Elva tapi pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkram erat.

Orang itu terkejut dan Randika berkata dengan nada dingin. "Jika kau berani menyentuhnya dengan tangan hinamu itu, akan kupotong habis tanganmu itu!"

Polisi itu merinding ketika menatap tatapan tajam Randika. Dia lalu segera menghilangkan perasaan takut itu. Dia adalah penegak hukum yang sedang bekerja, buat apa dia takut dengan ancaman bocah ingusan seperti Randika?

"Kau menghalangi tugas dari seorang polisi. Apakah kau tahu akibatnya?" Polisi itu segera menarik kembali tangannya tetapi tidak bisa. Oleh karena itu, dia mengancam Randika.

Randika lalu melepaskan sekaligus mendorongnya hingga polisi itu jatuh.

Deviana langsung menegurnya. "Randika! Apa yang kau lakukan!"

"Wah ibu polwan akhirnya ingat namaku. Bukankah itu menandakan bahwa kita teman?" Kata Randika sambil tertawa.

Deviana tidak bisa berkata apa-apa. "Berdasarkan hukum yang berlaku di negara ini, kami berhak membawa kembali orang yang diyakini melanggar hukum ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Jadi apabila kami tidak memiliki bukti, maka kami tidak sembarangan menuduh orang. Karena kau telah mendorong salah satu dari kami jadi kami harus membawamu bersama kami. Ketika kita tiba di kantor, barulah kita bisa menentukan apakah kau bersalah atau tidak."

"Memangnya apa yang perlu kusampaikan?" Randika hanya menatap Deviana.

Deviana ingin menjelaskan tapi dia tahu bahwa percuma berdebat dengan orang ini berdasarkan pengalamannya di restoran jadi dia tahu harus memilih kata-katanya dengan baik.

"Mengenai siapa perempuan itu, apa hubungan di antara kalian dan apa yang hendak kau lakukan terhadap perempuan itu." Napas Deviana tampak sedikit terburu-buru.

"Sayang sekali." Randika menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa beritahu namanya dan tadi kan sudah aku bilang bahwa dia itu pacarku. Aku mau membawanya pulang ke rumah dan karena rumahnya itu terlalu jauh, aku bermaksud bermalam di hotel depan sana."

Randika lalu melirik Deviana dengan tatapan mesum dan mengatakan, "Apakah kau juga ingin membuka kamar denganku?"

Deviana benar-benar marah tetapi ketiga polisi yang mendengarnya jauh lebih marah. Salah satu polisi yang bernama Rohim berteriak. "Aku tidak bisa mendengar ocehanmu lebih lama lagi. Aku curiga bahwa perempuan ini telah diberi obat-obatan terlarang. Jadi kau harus ikut dengan kami ke kantor untuk interogasi!"

Next chapter