Bastian sudah sadar dari koma sejak dua hari lalu. Kondisinya sudah mulai membaik. Buktinya ia sudah bisa mengerjakan pekerjaan kantor dari rumah sakit meski durasi ia bekerja terbatas. Kepalanya masih sakit jika dipaksa bekerja terlalu lama.
Pagi ini Bastian memeriksa laporan keuangan dari divisi keuangan. Ia meneliti siap angka dengan rinci. Tak lupa Adi, asisten pribadinya menyodori setumpuk dokumen yang harus ditanda tangani Bastian.
"Di, bilang ke manajer keuangan kalau laporan bulan Januari sampai Maret ada yang salah. Kamu tegur sekali tuh manajer. Udah di gaji mahal masih aja laporannya salah-salah. Kalo kayak gini mending aku sekalian aja yang jadi manajernya," kata Bastian sambil memberikan laporan keuangan ke Adi.
"Baik, Tuan."
Kalau soal ketelitian, Adi selalu salut dengan Bastian. Bastian selalu tahu kalau ada 1 rupiah yang hilang dari laporan keuangan. Dia tahu strategi mendapat keuntungan dengan resiko yang kecil. Tidak hanya itu, Bastian yang sekarang menjabat sebagai Direktur Dewandra Automotive Corp mengerjakan berbagai macam pekerjaan bahkan lebih mumpuni dari 10 manajer di perusahaan.
"Oh ya, apa kamu udah selidiki kecelakaan mobil yang menimpaku tempo hari?" tanya Bastian.
Adi menaikkan kacamatanya. "Saya udah ke kantor polisi, Tuan. Kata polisi mereka gak menemukan rekaman CCTV pas mobil Tuan diikuti dari belakang. Hmm… aneh banget."
"Itu gak aneh. Itu emang udah direncanain, Di," Bastian menimpali.
"Maksudnya ada orang yang sengaja ingin mencelakai Tuan lalu berusaha menghilangkan bukti gitu?" Adi mulai memahami perkataan Tuannya.
Bastian mengangguk.
Ingatannya kembali saat kecelakaan itu terjadi. Semuanya seakan begitu terencana untuk mencelakainya. Terutama mobil Mitsubishi Pajero yang moncongnya diberi logam runcing bak pedang. Seakan mobil itu memang sengaja dipersiapkan untuk menabrak mobilnya. Menjatuhkannya ke jurang itu.
Kecelakaan itu sungguh menakutkan. Apalagi perasaan ketika berada diambang antara hidup dan mati. Bastian ingat betul jiwanya terasa melayang di udara malam yang dingin. Ketakutan dan putus asa melingkupinya ketika ia selangkah menuju kematian. Tapi gadis itu menyinarinya. Dan entah kenapa wajah gadis itu mirip dengan Dokter Kirana!
"Satu hal yang membuat saya bingung. Siapa sih yang tega ingin mencelakai, Tuan?" tanya Adi polos pada Bastian.
Kadang Bastian tidak habis pikir kenapa ia dulu menerima Adi sebagai asisten sekaligus sekertaris pribadinya. Manusia satu ini benar-benar polos, maki Bastian dalam hati.
"Kamu udah bekerja bareng aku berapa lama?" tanya Bastian kesal.
Adi berpikir sejenak. "Udah 5 tahun sih. Tapi kenapa Tuan tanya gitu?"
"Apa selama 5 tahun ini kamu enggak sadar ada begitu banyak orang yang benci sama aku?!!" Bastian benar-benar kesal. Ingin rasanya memukul kepala Adi. Tapi lengannya terlalu sakit untuk melakukannya.
Adi menutupi kepalanya reflex. Ia tahu Tuan Bastian akan memukul kepalanya kalau ia membuat tuannya kesal. "Maaf, Tuan. Saya gak berpikir sampai sejauh itu."
"Di, menurutmu siapa aja orang yang tahu aku akan pergi ke Puncak Bogor untuk mengikuti rapat pemegang saham?"
Adi mengingat-ingat. "Tuan besar, para investor utama, keluarga besar ibunya Tuan, keluarga Tuan Hendri, keluarga Nyonya Riana, keluarga Tuan Yanuar, keluarga Tuan Adam dan sahabat dekat."
"Lalu siapa yang menentangku untuk maju menjadi CEO?"
Adi terlonjak. "Tuan Hendri, Nyonya Riana dan Tuan Yanuar."
"Bener banget," Bastian mengiyakan. "Salah satu dari mereka bertigalah yang merencanakan kecelakaanku."
"Apa mereka setega itu mencelakakan keponakannya? Saya gak yakin deh, Tuan," sekarang Adi berusaha untuk positif. Sudah 5 tahun ia bekerja bersama Bastian. Ia tahu Bastian adalah pribadi dingin yang mudah curiga dengan orang-orang disekitarnya.
Kalau Bastian ada di mode curiga dan berpikir negatif, Adi sebisa mungkin memberi pandangan positif. Ia mendapat pengetahuan ini setelah berkonsultasi dengan psikolog. Menghadapi Bastian sehari-hari adalah pekerjaan yang sulit. Terkadang Adi butuh saran psikolog untuk membantunya menenangkan kemarahan, omelan dan kecemasan tuannya ini.
Bastian mendecakkan lidah. "Sekali-kali kamu harus curiga sama orang lain, Di. Kamu terlalu mudah percaya. Dunia tidak sebaik yang kamu kira, Adi."
Adi hanya bisa memanyunkan bibirnya. Ia kehabisan kata-kata.
"Kita harus menyelediki mobil yang mencoba menabrakku. Aku yakin gak ada mobil seperti itu di Indonesia. Pasti cuman satu. Kalau kita udah tahu siapa supir mobil itu, kita bisa memastikan siapa dari mereka bertiga yang mencoba membunuhku."
"Tapi gimana kita bisa menemukan mobil itu, Tuan? Indonesia kan luas," Adi menggaruk-garuk dagunya.
"Ya itu tugasmu, Bodoh!" kemarahan Bastian tak terbendung.
Sebelum Bastian mulai mengomel, Adi membungkuk memberi hormat pada tuannya dan langsung berlari keluar ruang pemulihan. Adi punya PR besar yang harus segera ia selesaikan.
Dalam benaknya Bastian yakin kalau orang yang ingin mencelakai dihari pengangkatannya sebagai CEO pasti sedang gelisah karena ia selamat. Dan biasanya penjahat yang gelisah akan mengecek korbannya. Ada 2 tujuan yang mungkin dipikirkan si penjahat. Pertama, mengecek apakah si korban mengingat sesuatu saat kecelakaan terjadi. Ini untuk memastikan tidak ada bukti yang bisa diingat si korban. Kedua, berakting khawatir agar tidak dikira sebagai seorang penjahat.
….
Hari ini jadwal Kirana longgar. Cukup longgar untuk berjalan memutari rumah sakit. Tidak ada operasi ataupun pasien patah tulang hari ini. Ada 2 hal yang mungkin saja membuat dirinya tidak memiliki pasien di hari yang cerah ini. Pertama, hari ini angka kejahatan maupun kecelakaan di Jakarta nol akibat COVID 19 yang membuat semua orang berdiam diri di rumah. Kedua, Vero sudah mengancam manajer rumah sakit untuk berhenti memberi Kirana pasien setelah dirinya pingsan kemarin.
Sayangnya Kirana memilih opsi kedua. Sepertinya Vero mengancam dan meneror manajer rumah sakit. Kalau sampai itu terjadi mau ditaruh dimana wajahnya? Ia tidak akan sanggup menghadap manajer rumah sakit lagi.
Karena bosan Kirana berjalan ke dapur rumah sakit. Aktivitas di dapur rumah sakit cukup padat. Dapur seluas 30 meter persegi ini harus menyiapkan makanan untuk 200 pasien setiap hari.
Oleh karena itu, Kirana mengajukan diri untuk membantu mengantar makanan ke ruang pasien tampan Bastian. Bukan karena dirinya tertarik dengan pria itu. Tapi ini adalah kesempatan yang tepat jika mau memeriksa kondisi Bastian tanpa diganggu oleh si kakek. Hari ini kakek Bastian tidak berkunjung kata perawat lantai 2.
Begitu membuka pintu Kirana langsung melihat Bastian sedang duduk di ranjangnya sambil membaca dokumen-dokumen.
"Selamat sore, Dokter Kirana," sapa Bastian. Ia menutup dokumen-dokumennya.
"Sore, Pak Bastian," Kirana meletakkan nampan berisi makan di meja sebelah ranjang Bastian.
"Tumben sekali Dokter Kirana yang membawakan makanan?" tanya Bastian penasaran.
"Kebetulan saya hari ini gak banyak pasien. Jadi membantu staf dapur membawakan makanan," kata Kirana jujur. "Lagian kemarin saya belum sempat mengecek kondisi Pak Bastian..."
"Bastian."
Alis Kirana terangkat. "Apa?"
"Panggil saya Bastian aja," seulas senyum tersungging dari sudut bibir Bastian.
Melihat Bastian tersenyum sedikit, mata Kirana tidak bisa berkedip. Dua puluh delapan tahun hidup belum pernah ia melihat pria setampan ini dari jarak dekat. Tanpa tersenyum saja Kirana yakin Bastian sudah bisa membuat wanita manapun tergila-gila.
Kirana berusaha fokus. Ia mengeluarkan stetoskopnya. Ia mulai memeriksa denyut nadi dan perut Bastian.
"Apa ada keluhan beberapa hari ini?" tanya Kirana sambil memeriksa perut bawah Bastian yang kekar.
Bastian menggeleng. "Enggak ada sih. Pusing di kepala sudah berkurang. Kaki dan tangan sudah mulai membaik untuk beraktivitas."
"Syukurlah. Sepertinya dalam waktu dekat Anda bisa segera keluar dari rumah sakit," Kirana kini memeriksa denyut jantung Bastian. Ia lega Bastian sudah delapan puluh persen pulih.
"Apa arti nama Kirana?" Bastian bertanya tiba-tiba.
Tanpa sadar jarak wajah Kirana dan Bastian hanya sejengkal. Dengan gugup Kirana menjawab, "cahaya."
"Aku rasa nama itu cocok untuk Dokter Kirana," katanya sambil tersenyum.