Langkah kaki Kirana sedikit terhuyung. Tubuhnya agak lemas setelah mendonorkan darah untuk pasien tampan korban kecelakaan mobil. Meskipun telah menjadi dokter selama empat tahun, Kirana jarang sekali mendonorkan darah. Oleh karena itu, sekarang tubuhnya lemas.
Dalam hati ia mengutuk kenapa tidak rutin mendonorkan darahnya ke Palang Merah Indonesia. Kalau rajin donor darah tentu tubuhnya tidak akan selemas ini sekarang dan masih punya tenaga untuk mengoperasi pasien tampan itu.
Yudhistira masih mengoperasi pasien kecelakaan mobil. Hal itu membuat Kirana tidak terlalu khawatir dengan kondisi si pasien. Ia sangat yakin akan kemampuan Yudhistira mengingat pria itu pernah menerima penghargaan sebagai mahasiswa kedokteran berprestasi sewaktu kuliah dulu. Ya, Kirana telah mengenal Yudhistira saat mereka berdua masih duduk di bangku perguruan tinggi. Kirana merupakan adik kelas yang setahun persis di bawah Yudhistira.
Kirana kembali berjalan ke ruang istirahat tenaga medis dengan gontai. Ketika membuka pintu, seorang wanita berambut pendek sedang duduk di sofa yang keras. Matanya bulat dan terdapat dua lesung pipit di pipinya sedang menggeleng-gelengkan kepala ke arahnya.
"Astaga, lihat penampilanmu," kata wanita itu memperhatikan Kirana dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Kirana hanya mengibaskan tangan tidak peduli lalu duduk di sebelah wanita itu. "Ada banyak pasien akhir-akhir ini, Mita. Aku harus siap sedia setiap saat makanya gak sempat dandan," katanya menjelaskan lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa.
Wanita yang dipanggil Mita itu adalah seorang dokter yang bertugas di bangsal anak-anak. Ia adalah sahabat sekaligus teman sekelas Kirana waktu masih kuliah dulu.
Mita memiliki tubuh setinggi 160 sentimeter. Rambutnya pendek keriting selalu dibiarkan terurai. Mita memiliki wajah bulat dengan pipi chubby, mata bulat bersinar dan lesung pipit di kedua pipinya. Siapapun yang melihatnya tentu akan mengira ia masih anak kuliahan. Orang pasti tidak menyangka kalau Mita seorang wanita dewasa sekaligus seorang dokter.
Kirana selalu kagum dengan sahabatnya ini. Mita tipikal dokter yang sabar dan telaten. Dia punya ketertarikan pada anak-anak sehingga sangat senang ketika mendapat tugas menjaga bangsal anak-anak. Tidak seperti Kirana yang berusaha menjauhi anak-anak. Kirana justru lebih lega ketika di tugaskan di Unit Gawat Darurat.
"Aku dengar kamu udah enggak pulang tiga hari terakhir ini ya?" tanya Mita khawatir.
Kirana hanya menganggukkan kepala. "Mana bisa pulang, Mit? Dokter di rumah sakit ini udah sedikit. Banyak dokter yang ditugaskan pemerintah merawat pasien COVID 19. Bahkan, kalau aku tidak jaga 3 hari ini, UGD udah tidak ada dokter lagi."
Mita hanya geleng-geleng kepala. Di bangsal anak-anak setidaknya ada 2 dokter yang masih berjaga. Jadi dirinya masih punya kesempatan pulang untuk mandi dan makan. Tidak seperti Kirana yang penampilannya sudah berantakan. Kantung matanya menghitam, rambutnya di kuncir acak-acakan dan jalannya agak terhuyung-huyung.
"Aku rasa kamu sebaiknya segera pulang deh, Kir. Aku akan bicara pada manajer rumah sakit supaya mencarikan dokter pengganti. Aku yakin mereka akan paham kalau kamu sudah bekerja sekeras ini. Kamu bisa sakit lho kalau tinggal di rumah sakit lebih lama lagi," Mita semakin khawatir.
Sudah Kirana duga kalau sahabatnya ini akan menyuruhnya pulang. Masalahnya ia tidak tega meninggalkan UGD saat pandemic COVID 19 masih menyebar dimana-mana. Apalagi Jakarta memiliki pasien COVID 19 terbanyak di Indonesia.
Dirinya sudah bersyukur tidak harus merawat pasien pandemi. Dibandingkan dokter lain yang berjuang di garis depan merawat pasien-pasien pandemi, tugasnya saat ini tidaklah terlalu berat. Lagipula memperjuangkan hidup orang lain adalah cita-citanya sejak kecil. Ia ingin menolong orang-orang yang berada diambang kematian untuk menemukan hidup mereka.
"Dok," seorang perawat masuk memanggil Kirana dan Mita. "Di bangsal anak ada pasien anak yang kejang-kejang."
Mita tersentak kaget dan langsung bersiap menuju bangsal anak.
"Aku ikut," kata Kirana berikutnya.
"Enggak. Kamu gak boleh ikut. Kamu harus segera pulang, Kirana," Mita melarang.
Kirana berkacak pinggang. "Come on, Mita. Ini saat darurat. Aku yakin kamu butuh bantuan. Aku dengar bangsal anak-anak lagi rame pasien kan?"
"Tapi…" belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Kirana sudah berlari keluar ruangan mengikuti perawat tadi. Mita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat sahabatnya sungguh keras kepala!
Kirana dan Mita sampai di sebuah ruangan yang berisi 10 ranjang. Diatas ranjang-ranjang itu ketenangan pasien anak sudah mulai terlelap terganggu. Kepanikan terjadi di ranjang paling ujung dekat jendela. Seorang gadis kecil berusia 4 tahun tengah kejang-kejang. Ibu si anak menangis sejadi-jadinya melihat kondisi putri kecilnya.
Kirana langsung memeriksa kondisi gadis kecil ini. Setidaknya selama dua menit si gadis kecil itu kejang di kasurnya.
"Berapa suhu tubuhnya, Sus?" tanya Kirana pada perawat tadi.
"Tiga puluh sembilan derajat, Dok," kata perawat sambil mengecek suhunya.
"Siapkan obat penurun demam," Kirana memberi instruksi. Ia bergegas memiringkan kepala dan badan gadis kecil agar muntahan yang keluar dari mulutnya tidak tertelan lagi selama kejang.
....
Yudhistira keluar dari ruang operasi. Pasien kecelakaan mobil tadi sudah di pindahkan ke ruang perawatan untuk pemulihan. Operasinya berhasil. Ia bisa bernapas lega karena ini operasi ke 50 yang berhasil ia tangani tahun ini.
Yudhistira senang karena Kirana memintanya menggantikannya mengoperasi pasien itu. Kirana sudah kelelahan sejak 3 hari ini tapi masih saja bersikeras untuk merawat para pasien. Ia tidak sabar memberi tahu Kirana. Pati gadis itu senang sekali. Ia mulai mengetik WhatsApp.
[Yudhistira: Hai, kamu dimana?]
[Kirana: Aku di ruang istirahat]
[Yudhistira: Ayo makan di kafetaria]
[Kirana: Oke]
Seulas senyum tersungging di bibir Yudhistira. Ia bergegas menuju kafetaria rumah sakit. Jam sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi. Biasanya jam segini pihak kafetaria sudah mulai memasak. Begitu sampai di kafetaria ia memesan sandwich ayam dan susu hangat.
Yudhistira memiliki tubuh setinggi 180 sentimeter. Wajahnya oval kurus, hidung kecil dan rambutnya lurus di potong rapi. Meskipun tidak memiliki wajah setampan aktor, senyum Yudhistira adalah yang paling manis dari semua dokter. Para perawat kerap berbisik-bisik tentang betapa manisnya Yudhistira ketika menyapa pasien ataupun tersenyum. Dia adalah idola diantara para perawat rumah sakit.
"Gimana operasi tadi?" tanya Kirana begitu ia sampai di meja kafetaria.
Yudhistira sedang menguyah sandwich. "Berhasil."
"Syukurlah," kata Kirana lega dan menjatuhkan dirinya di kursi kafetaria.
Mata Yudhistira memandang aneh ke adik kelasnya ini. Kirana memang terkenal cemas pada semua pasien. Ia bahkan sering mengorbankan dirinya untuk menolong hidup tiap pasien di rumah sakit ini. Tapi baru kali ini Kirana begitu intens memperhatikan kondisi satu pasien yang sama. Dan pasien itu laki-laki. Apa ini suatu kebetulan?
"Gimana keadaanmu?" Yudhistira berusaha mengalihkan pembicaraan.
Kirana tersenyum lesu. "Cukup lelah sih. Tiga hari lalu aku mengoperasi kaki orang kecelakaan motor dan merawat tangan anak kecil yang patah. Kemarin aku mengobati luka-luka sekelompok orang yang terlibat kerusuhan dan mendonorkan darahkku untuk pasien kecelakaan mobil. Dan tadi baru saja merawat pasien anak yang kejang."
"Wah, banyak banget yang kamu kerjakan tiga hari ini terakhir ini ya. Aku rasa kamu sebaiknya pulang dan istirahat. Bisa-bisa kamu sakit kalau kerja kayak gini terus," Yudhistira mengingatkan adik kelasnya yang bandel ini.
"Kamu udah mulai tiru-tiru Mita sekarang. Dia tadi ngomel gara-gara aku gak pulang ke rumah. Eh, sekarang giliran kamu yang ngomel," Kirana mendecakkan kesal.
Menyuruh Kirana pulang sama sulitnya dengan menyuruh masyarakat menghindari keramaian di tengah pandemi COVID 19. Biasanya hanya ada satu orang yang mampu membawa Kirana pulang ke rumah kalau dia sudah terobsesi tinggal di rumah sakit selama tiga hari.