webnovel

Bibi, Beri Aku Pelukan!

Suro tak menyangka kalau lokasi padepokan Cempaka Putih di Lembah Damai yang sudah lama ia tinggalkan terlihat bersih dan terawat meskipun hanya menyisakan puing-puing rangka bangunan yang disusun pada satu tempat. Tidak banyak tumbuhan semak belukar yang tumbuh pada bekas bangunan padepokan. Ini karena Seno sering berkunjung ke tempat itu untuk membersihkannya agar selalu dalam keadaan bersih.

Rupanya, Seno tak mau menghilangkan kenangan yang ada di tempat itu.

Tak jauh dari bekas bangunan yang terbakar, terdapat beberapa makam yang juga terlihat bersih dan terawat, lengkap tertulis dengan nama-nama orang yang terkubur didalamnya yang merupakan saudara seperguruannya.

Di anatara makam para murid atau santri, Seno menempatkan makam Ki Ronggo Bawu tepat berada di tengah.

Siang itu, Suro ditemani kedua isterinya berkumpul mengelilingi makam Ki Ronggo Bawu. Ia duduk bersila di sisi makam bersama Seno. Air matanya sudah mengalir disaat kakinya melangkah memasuki area pemakaman. Kerinduannya membuncah bersama kenangan masa lalu remajanya.

"Ananda datang berziarah, mendo'akan agar Ki Guru mendapat rahmat di sisi Allah. Ananda yakin, Ki Guru berbahagia di alam sana seperti yang ananda lihat waktu itu," Suro mengatakannya sambil teringat akan pertemuannya dengan Ki Ronggo sewaktu ia berada dalam keadaan koma.

"Ki Guru, ananda Seno juga mohon maaf, hingga saat ini, ananda belum bisa menemukan orang yang bertanggung jawab atas tragedi ini. Ananda berdua hanya bisa pasrah jika masalah ini tidak pernah selesai," Seno menambahkan.

Suasana hening sesaat dalam untaian do'a. Mereka semua terlihat khusyu'.

Setelah waktu berlalu beberapa lama, Suro berdiri mengamati keadaan sekitar. Tak banyak perubahan yang terjadi ditempat itu kecuali sisa puing-puing bangunan yang terbakar.

"Kangmas Seno," kata Suro, "Aku lihat para penduduk sudah mulai banyak mendekati areal ini, terutama di wilayah bawah."

Suro mengatakannya sambil menunjuk ke suatu arah sebelah barat. Arah itu adalah arah kediaman keluarga pak Dawung.

"Dimas benar. Tempat ini sudah mulai banyak dipadati penduduk. Apalagi tempat yang dimas maksud. Jadi, suasananya tidak seperti pada masa kita dahulu, yang hanya diramaikan oleh para santri. Sepenjang perjalanan kita kemari, Dimas bisa melihat sendiri."

Suro mengangguk. Ia memang menyaksikan, kalau sepanjang perjalanan mereka ke pusat Padepokan Cempaka Putih, sudah banyak rumah-rumah penduduk yang dibangun. Hingga perjalanan yang biasanya dirasa sangat panjang dan lama saat ini rasanya mereka tempuh dalam waktu sekejap.

"Kalau demikian, barangkali tempat padepokan akan kita bangun di sana saja. Ada sebuah bangunan yang masih tersisa milik keluarga alm.Pak Dawung," Suro mengusulkan.

Seno terdiam sejenak, ia mencoba menelusuri tempat yang dimaksud oleh Suro dalam ingatannya. Kemudian ia tersenyum sambil mengangguk.

"Kakang ikut saja apa maumu," jawabnya.

Suro mengangguk, kemudian ia menoleh pada Li Yun dan Rou Yi.

"Apakah adik Li dan adik Yi merasa lelah? Sebab, kita akan pergi ke arah sana!" lanjut Suro.

Kedua isteri Suro itu tersenyum.

"Kakak, meskipun adik Yi ini perempuan, tetapi sudah terbiasa berjalan kaki berkeliling Lembah Gezi. Kakak jangan remehkan adik Yi, ya. Apalagi kali ini kita berkuda," jawab Rou Yi seperti mengingatkan sambil tersenyum.

"Jelek-jelek begini, adik Li juga pendekar," Li Yun menimpali tak mau kalah.

Mereka akhirnya tertawa bersama-sama, lalu mereka menaiki kuda masing-masing dan mengarahkan jalannya menuju tempat yang dimaksud oleh Suro.

Tak butuh waktu lama, mereka pun tiba di kediaman keluarga Alm. Pak Dawung.

Sebelum Suro turun dari kudanya, bayangan keluarga alm. Pak dawung langsung bermain dikepalanya. Ia masih bisa merasakan kenangan-kenangan yang indah waktu itu, dimana keluarga pak Dawung masih hidup dan beraktivitas. Sepertinya, peristiwa itu baru saja dirasakan kemarin.

Bangunan rumah milik keluarga pak Dawung masih terlihat kokoh, hanya saja sudah banyak dimasuki binatang-binatang kecil dan semak-semak yang menjalar di seluruh ruangan ketika Suro mencoba masuk menelusurinya.

Diam-diam, ia memandang bergantian pada Li Yun dan Rou Yi. Dengan kondisi bangunan seperti ini, ia tak tahu apakah kedua isterinya itu bisa betah meskipun dipugar ulang.

Ia tak begitu memikirkan Rou Yi, karena mengingat Rou Yi sudah terbiasa hidup sederhana. Tetapi bagaimana dengan Li Yun?

Yang Li Yun adalah seorang gadis yang terbiasa hidup mewah dalam rumah yang besar dan luas. Ia khawatir gadis itu akan merasa tidak nyaman. Maka, mau tidak mau ia harus merombak habis bangunan itu dan membuatnya mirip seperti rumah keluarga Yang.

Jika Li Yun suka, Rou Yi pasti juga suka. Rou Yi lebih bisa hidup dalam kesederhanaan di banding Li Yun. Meskipun Li Yun pernah mengatakan kalau bagaimana kehidupannya akan ia terima selama bersama Suro.

Sebenarnya tak ada masalah untuk membangun sebuah rumah yang besar dan lapang dengan bekal harta yang diberikan oleh Cheng Yu kepadanya sesuai keinginan Li Yun.

"Isteriku, bagaimana jika bangunan ini menjadi tempat kediaman kita?" ia melemparkan pertanyaan.

"Kakak, adik Yi menurut saja," Rou Yi menjawab.

Jawaban Rou Yi sebenarnya sudah bisa ditebak oleh Suro, hanya saja ia perlu meminta pendapat keduanya.

Lalu ia memandang ke arah Li Yun. Gadis itu terlihat berfikir sambil matanya mengamati setiap sudut bangunan. Cukup lama Li Yun tak memberi jawaban, tubuhnya berjalan kesana-kemari dengan pandangan matanya.

Ia tersenyum dengan gaya khasnya, "Kakak, bagaimana kalau kita perlebar lagi, bisakah?"

Suro langsung tertawa dengan jawaban Li Yun sambil tangannya menjepit hidung gadis itu dengan gemas. Ia sudah menduganya.

"Sakit kakak!" jeritnya sambil menepis tangan Suro.

"Oh, maaf-maaf," katanya kemudian sambil cengengesan.

Tubuhnya berbalik ke arah Seno yang berjalan dibelakangnya mengiringi.

"Kangmas, aku meminta bantuanmu untuk membangun padepokan sekaligus balai pengobatan di tempat ini!" katanya kemudian.

Seno mengangguk sambil tersenyum.

"Dimas Suro tak perlu khawatir, aku akan meminta bantuan orang-orang desa setempat untuk membangunkannya untukmu," jawabnya.

***

Tak butuh waktu lama untuk membangun sebuah rumah besar apabila memiliki harta. Dan itu membuat Suro merasa sangat bersyukur, ia sangat berterima kasih pada Cheng Yu yang telah membantunya dengan memberikan separuh harta yang ia miliki demi Suro.

Di samping itu, masyarakat desa sekitar juga sudah sangat mengenal padepokan Cempaka Putih dengan sosok Ki Ronggo, orang tua yang sangat mereka hormati karena ringan tangan dan kerap membantu orang-orang yang datang membutuhkan. Hingga hal itu pun berimbas pada murid atau santrinya yang tersisa, baik Seno maupun Suro.

Maka, untuk membantu membangun sebuah tempat bagi mereka bukanlah hal yang memberatkan, apalagi ketika mereka mengetahui salah satu tujuan dibangunnya tempat itu adalah sebagai tempat pengobatan.

Dengan bergotong royong, sebuah bangunan yang cukup luas telah berdiri menggantikan bangunan lama milik alm.pak Dawung.

Bangunan yang tentunya sesuai dengan yang iinginkan Yang Li Yun, hanya saja diberi tambahan beberapa ruang khusus sebagai tempat kegiatan pengobatan, selain tempat untuk bermusyawarah atau berkumpul.

"Akhirnya, Allah SWT berikan kekuatan kepada penerus Ki Ronggo Bawu. Sungguh ketika beliau tiada, kami sangat merasakan kehilangan," lelaki tua itu berdiri di antara Suro dan Seno sambil memandang bangunan yang cukup luas dan megah itu. Ia adalah ayah mertua dari Seno di kenal dengan nama Karyo.

"Alhamdulillah, Romo. Seno saat ini merasakan kalau Seno sedang bermimpi," Seno menjawab.

Mereka tertawa kecil. Ada rasa puas yang tidak bisa mereka ungkapkan terpancar dari wajah mereka. Apalagi Suro, sampai-sampai air matanya hendak tumpah karena terharu.

Ia tak menyangka kalau semua ini bisa ia wujudkan setelah sebelumnya merasa sangsi. Perjalanan hidupnya yang penuh petualangan akhirnya berakhir di tempat ini, meneruskan apa yang menjadi keinginan Ki Ronggo Bawu, berdakwah sambil mengajarkan bela diri aliran Cempaka Putih.

Suro mendesah, lalu mengusap air matanya yang sudah menggenang, "Suro berterima kasih atas bantuan bapak dan warga desa. Sungguh Suro tak tahu harus bagaimana membalas kebaikan semuanya."

Pak Karyo tertawa, lalu memegang bahu Suro, "Apa yang kamu bilang, justeru kami yang berterima kasih dengan adanya ananda disini. Ananda tahu, kami sudah merasa kehilangan dengan apa yang menimpa padepokan Cempaka Putih. Ki Ronggo adalah orang tua yang bijak dan suka membantu, tempat kami-kami warga desa yang bodoh ini meminta pendapat. Saat ini, ananda Suro dan Seno kami harapkan bisa menggantikan posisi Ki Ronggo Bawu."

"Ananda masih perlu banyak belajar dari orang-orang tua di desa ini...." Suro berkata, tetapi Pak Karyo langsung mengangkat tangannya memutus ucapan Suro.

"Semua warga desa tahu, para santri Ki Ronggo itu memiliki pengetahuan yang lebih luas. Jangan merasa rendah diri begitu. Kami tidak pernah mendapat pelajaran apa-apa sebelum kedatangan Ki Ronggo, dan sejak beliau hadir semakin membuat warga desa sedikit banyak faham akan ilmu agama, kalian sebagai santrinya diharapkan bisa meneruskan apa yang sudah dibangun oleh beliau," katanya menenangkan.

Huang Nan Yu yang sedari tadi diam mendengarkan percakapan Suro dan yang lainnya, tiba-tiba menangis sesenggukan sambil memegangi kepalanya membuat pemuda itu menoleh padanya..

"Ada apa, bibi?" Suro bertanya heran.

Tiba-tiba saja, wanita paruh baya itu berlutut dihadapan Suro sambil menangkupkan kedua kepalan tangannya. Tentu saja membuat ia dan yang lain terkejut.

"Bibi!" Li Yun dan Rou Yi berseru bersamaan sambil memegangi kedua lengan wanita itu.

"Bibi, jangan begitu!" Suro memaksanya naik, tetapi nampaknya Huang Nan Yu tak bergeming dari posisinya.

"Biarkan aku bersyukur atas semua ini, tuan muda Yang," katanya, ia berbicara dengan bahasa China yang tidak dimengerti oleh Seno dan mertuanya.

Seno berbalik keheranan memandang Suro, seolah penasaran apa yang dikatakan oleh Huang Nan Yu.

"Sudahlah bibi, bukan begini caranya bersyukur," ucap Suro kemudian.

"Tuan dan Nona Muda Yang, aku tak bisa menahan perasaanku yang begitu bahagia. Pada usiaku yang sudah demikian tua ini, aku masih diberi kesempatan mengabdikan diri pada keluarga Yang. Aku sungguh merasa memiliki keluarga yang utuh," Huang Nan Yu berbicara dengan penuh emosional. Tetapi kali ini ia berbicara dengan bahasa yang dimengerti oleh orang yang ada disitu.

"Dulu aku merasa sudah kehilangan segalanya sejak tragedi yang menimpa keluarga Yang dan adikku. Rasanya lebih baik aku ikut mati daripada hidup. Makanya aku begitu bahagia ketika tuan muda Yang berhasil menyelamatkan Nona Li Yun dan Rou Yi. Betapa aku merasa sangat bersyukur," Wanita tua itu melanjutkan kalimatnya.

Seno tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala, ia memandang Suro dengan pandangan takjub. Suro dipanggil 'Tuan Muda?'. Artinya, Suro mempunyai kedudukan yang begitu dihormati. Apalagi ketika Suro menceritakan pengalamannya selama berpetualang di negeri China, berhasil menaklukan penjahat yang sebagian justeru berani mati untuk membelanya. Ia bisa bayangkan jika Suro masih berada di negeri China, betapa banyak orang-orang persilatan yang berbuat seperti yang dilakukan oleh wanita tua itu.

"Bibi, saat ini kita berada di tanah Jawa. Jangan membuatku malu dengan gaya seperti ini," Suro mencoba kembali mengangkat tubuh Huang Nan Yu agar berdiri, "dan jangan panggil ananda dengan sebutan tuan Muda lagi. Panggil saja namaku. Bibi bukanlah siapa-siapa lagi, pada diri bibi aku bisa merasakan aura dari keluarga Yang dan Yin."

Mendengar jawaban Suro, dan mengingat dia tidak lagi berada di negerinya, ia pun berdiri perlahan sambil mengusap air matanya.

Suro buru-buru memeluk Huang Nan Yu dengan erat, air matanya langsung mengalir.

"Bibi, engkau sudah kuanggap orang tuaku sendiri. Jangan berbuat seperti itu lagi, ya," sambung Suro kembali.

Huang Nan Yu mengangguk pelan, kemudian melepaskan pelukannya pada Suro dan memandang ke arah Li Yun dan Rou Yi bergantian. Kedua gadis itu pun terlihat menangis.

"Maafkan aku, aku begitu emosional barusan," katanya.

"Bibi Nan Yu nampaknya sangat bahagia sekali," Seno tersenyum berkata pada Huang Nan Yu, "Disini semua adalah keluarga, termasuk Seno ini. Jadi bibi juga tak perlu sungkan jika butuh bantuanku."

Huang Nan Yu mengangguk dan tersenyum mendengar Seno mengatakan kalimat itu. Benar kata Seno, kebahagian yang ia rasakan karena ia merasa dimuliakan sebagai sebuah keluarga.

"Iya, terima kasih," ucap Huang Nan Yu.

Seno menarik nafas panjang dengan pasang wajah tersenyum, kemudian ia merentangkan kedua tangannya.

"Karena aku adalah bagian dari keluarga, bolehkah jika Seno minta dipeluk oleh bibi?" ucapnya.

Tanpa ragu, diawali dengan sunggingan senyum Huang Nan Yu pun memeluk erat Seno dengan tangisan harunya, "Terima kasih banyak."

Seperti mimpi, hatinya serasa melayang ke langit menemui hari ini dimasa tuanya. Ketakutan menghadapi masa tua dalam kesendirian kini sirna bagai asap.

Dulu, semasa keluarga Yang masih hidup, ia tidak merasakan ketakutan sama sekali. Tetapi menghadapi kenyataan semua orang yang dicintainya terbunuh dan mendapati dirinya dalam keadaan sendirian membuatnya khawatir akan masa tuanya.

Setelahnya, Seno menatap Suro dengan senyuman bercanda, dan Suro bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh Seno. Seno pasti akan memanggilnya dengan sebutan 'Tuan Muda'.

Buru-buru Suro memberi isyarat dengan telunjuk menuding wajah Seno sambil tersenyum.

"Kangmas, aku tahu kau akan mengatakan apa," sergah Suro.

Seno langsung tertawa mengakak.

"Sungguh cerdas 'tuan muda' ini bisa menebak apa yang akan kukatakan!" katanya sambil berlalu meninggalkan mereka menuju ke dalam padepokan.

Next chapter