webnovel

Penanda dan Perjanjian

"Jadi dia menolak?" Rangin masih berusaha menahan tawanya.

Hadyan hanya menghela napasnya dengan gusar. "Apa aku harus membawanya secara paksa?"

"Ya.. kalau kau ingin tidur dengan permaisuri yang membencimu setengah mati, silahkan.." Jawab Rangin.

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku sudah terlanjur terikat padanya. Seharusnya malam itu aku tidak perlu turun ke pantai," Balas Hadyan frustasi.

Menyesal? Tentu saja tidak. Hadyan hanya terkejut. Ia tidak terbiasa mengalami keadaan seperti ini. Ia tidak pernah menerima penolakan, terlebih dari wanita.

"Haha! Aku suka melihat wajahmu yang seperti itu, Hadyan. Kau terlihat seperti laki-laki sejati.. yang sedang putus cinta.." Tawa Rangin, dibalas dengan tatapan kesal adiknya.

"Aku memiliki saran untukmu," Tambah Rangin dengan menepuk bahu Hadyan yang lalu meliriknya acuh, namun raut penasaran memancar sempurna dari wajah tampannya.

"Kau sudah menandainya, bukan? Buat ia mencintaimu sebelum tanda itu melilit tubuhnya. Berjanjilah pada dirimu sendiri dan lautan tentunya." Lanjut Rangin.

Dahi Hadyan mengkerut. "Bagaimana caranya?"

"Tapi, kau harus berjanji pada dirimu sendiri. Ini karena ia adalah manusia dan kau adalah siluman. Jika kau masih gagal setelah tanda itu menyatu, kau harus menyerah selama-lamanya dan meninggalkan gadis itu." Ucap Rangin.

"Kenapa harus seperti itu? Aku tidak pernah mendengar syarat semacam itu," Protes Hadyan, tidak terima.

"Itu hanya syarat yang kau buat antara dirimu terhadap dirimu sendiri dan disaksikan oleh semesta." Jelas Rangin dengan menggantung.

"Aku masih tidak mengerti. Lalu apa rencanamu itu?" Tanggap Hadyan kesal.

"Rencanaku.."

***

"Apa ini salahku, Ta?" Tanya Patra gusar.

"Kejadian ini? Sepertinya kali ini bukan salahmu, Patra." Jawab Tata.

"Kau tahu, 'kan? Terkadang aku tidak bisa menahan ucapanku dan pasti kalian yang menjadi korban, seperti kejadian di gudang dahulu. Aku benar-benar menyesal. Maskipun tingkahku selalu konyol, aku serius tidak enak hati pada kalian selama ini." Tutur Patra.

Tata mengusap pundak kawannya yang sedang serius itu. Hal semacam ini mungkin hanya bisa terjadi setahun sekali.

"Tidak apa, Patra. Kami mengerti. Dan kali ini benar-benar bukan kesalahanmu. Aku serius. Kelihatannya ada yang aneh pada Tasia sejak awal." Ungkap Tata. Rasa khawatir terpampang jelas pada wajahnya.

"Aneh? Apa yang aneh?" Tanya Patra penasaran, terlebih ketika seorang Tata yang berkata seperti itu.

"Permisi," Tiba-tiba dua orang polisi masuk ke dalam kamar.

"Ah.. Ya, Pak? Ada yang bisa kami bantu?" Sapa Tata, langsung berdiri dari duduknya.

"Boleh kami minta waktu kalian sebentar? Ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan untuk laporan kepolisian."

"Ya, boleh, Pak. Kita bisa bicara di luar agar teman kami tidak terganggu." Angguk Patra, lalu mereka semua keluar dari kamar dan lanjut mengobrol di ruang tunggu.

Namun mereka mengetahui bahwa ada sepasang mata yang sebenarnya sedang mengawasi mereka dari jendela kecil kamar itu sejak tadi. Sepasang mata hitam yang sangat tajam.

Hadyan langsung masuk melalui jendela ketika melihat peluang. Lalu ia berhenti di samping ranjang tempat Tasia terbaring tak sadarkan diri.

"Aku kembali, calon permaisuriku. Maaf saat itu aku menakutimu. Sekarang, kau tidak perlu mengingat kejadian itu lagi," Ujar Hadyan lembut sambil membelai sedikit rambut yang membingkai wajah Tasia.

Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Tasia dan mencium keningnya. Lalu, sebuah cahaya biru perlahan mulai keluar dari kening gadis itu dan diserap masuk ke dalam mulut Hadyan.

Kini, Hadyan telah menukar sesuatu yang penting baginya dengan ingatan Tasia yang sempat ia tutup untuk sementara.

Hadyan kembali menegakkan tubuhnya dan tangannya mengelus pipi gadis berparas ayu itu. Ia tersenyum lembut lagi.

"Kau sangat cantik, Anastasia. Saat kau mencintaiku, aku akan membawamu pulang dan membuatmu bahagia." Tutur Hadyan sebelum ia merubah wujudnya kembali menjadi sesosok ular dan pergi lewat jendela yang sama untuk ia masuk.

***

Dua hari telah berlalu setelah Tasia ditemukan terdampar di pinggir pantai. Sekarang keadaannya sudah sangat baik dan akhirnya ia diijinkan pulang.

Tasia menerima telepon dari Tante Janet yang sudah menerima kabar bahwa ia dilarikan ke rumah sakit.

Tata yang menghubungi Tante Janet. Namun ia menghubungi wanita itu setelah Tasia sudah siuman. Tata tahu bagaimana sifat keluarga sahabatnya itu.

Tata tidak mau membuat mereka khawatir dan berbuat hal-hal yang tidak perlu. Ia mengenal Tasia dengan baik. Tasia tidak pernah ingin merepotkan keluarga tantenya yang sudah bersedia mengurus dirinya hingga sebesar ini.

Tasia mengatakan bahwa ia hanya tenggelan sebentar dan sedikit tertelan air hingga dibawa ke rumah sakit. Namun yang sebenarnya terjadi adalah ia menghilang di tengah laut dan tiba-tiba muncul kembali dengan penuh misteri.

"Aku benar-benar tidak ingat apa-apa," Ungkap Tasia untuk kesekian kalinya.

Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan pulang di dalam mobil. Kali ini Patra menepati janjinya untuk menyetir sampai rumah.

Namun, keadaan berbeda kali ini. Suasana mencekam dalam hati teman-teman Tasia tidak dapat mereka tutupi. Kejadian yang menimpa sahabat mereka sangat aneh dan terasa mistis. Bahkan, untuk bercanda-canda pun mereka merasa enggan. Dalam hati, mereka merasa ada yang membuntuti mereka pulang.

"Yasudah, Sia. Jika kau memang tidak ingat, tidak apa. Lagipula, itu bisa dijelaskan secara logika. Benar, 'kan, Jordi?" Ucap Marya. Lagi-lagi, Jordi yang menjadi korban.

"Eum.. I-iya," Sahut sahut laki-laki itu. Jika tahu begini, ia lebih memilih menyetir saja agar bebas dari pertanyaan-pertanyaan aneh.

"Betul, Tasia. Mungkin saja kau dibawa oleh ikan lumba-lumba ke tepi pantai " Tambah Mark dengan logikanya yang seperti kolam renang anak TK. Sangat dangkal dan sama sekali tidak membantu.

"Eum.. terdengar tidak masuk akal," Sahut Tasia.

"Ck! Intinya, semua ini adalah keajaiban Tuhan yang masih menyayangi Tasia. Karena itu, meski ia sudah hilang tenggelam, ia masih bisa selamat! Soal bagaimana ia bisa sampai di pantai, itu semua adalah rahasia Ilahi!" Ujar Tata kesal atas pembicaraan teman-temannya yang semakin tidak masuk akal dan hanya semakin membuat Tasia kebingungan.

"Itu.. ada benarnya.." Angguk Marya menurut.

"Hm.. Baiklah. Yang penting, aku selamat dan kejadian ini tidak sampai terdengar telinga nenekku. Ah.. Aku sungguh minya maaf ya teman-teman. Aku malah merepotkan kalian. Seharusnya liburan ini menyenangkan, tapi malah berantakan seperti ini." Tasia memainkan kuku jari tangannya dengan gelisah.

"Hush.. jangan bicara seperti itu, Tasia. Liburan ini menyenangkan, kok!" Hibur Marya langsung dengan melayangkan pelukan pada Tasia.

Akhirnya liburan mereka selesai tiga hari lebih cepat dari rencana. Setelahnya, mereka menghabiskan waktu di rumah masing-masing sebelum hari sekolah kembali datang.

Tasia menghabiskan waktu di kamarnya, seperti biasa sejak orang tuanya meninggal, yang membuatnya menjadi agak pendiam dan kerap mengurung diri di kamar.

Tasia tidak suka belajar dan membaca buku pelajaran. Ia gemar bermain game bangun-membangun bangunan. Ia juga kerap membangun istana atau rumah besar, lalu menjalankan simulasi sebuah keluarga kecil yang bahagia.

"Ah.. baru kali ini aku bosan bermain game," Ujarnya dengan bersandar malas pada kursi meja komputernya.

"Sebaiknya aku mandi dan bermain ke rumah Marya." Gumamnya dan segera mengambil handuk lalu beranjak ke kamar mandi.

Tasia membuka helai demi helai pakaian yang menutupi tubuhnya dan mulai menyalakan pancuran.

Selesai mandi, ia hendak mengambil pakaian baru yang ia letakkan di atas meja rias. Namun, ia terhenti saat menemukan sesuatu yang aneh pada tubuhnya yang terpantul melalui cermin.

"I-ini.. apa?"

Tasia memutar tubuhnya ke belakang untuk melihat sebuah tanda garis aneh berwarna merah menyala yang entah mengapa ada di punggungnya. Garis itu menjalar hingga ke pinggang dan terlihat seperti lebam. Terdapat motif cabang di ujungnya yang membuat tanda tersebut terlihat seperti lidah ular.

Next chapter