webnovel

Ternyata ibu...

Satu minggu berlalu, hubungan Khanza dan pak Gibran kembali membaik justru semakin menggila dengan yang tumbuh du hati mereka. Saling mencintai, tak peduli siapa pemilikmu yang sesungguhnya. Kata itu yang mungkin saat ini sangat tepat untuk hubungan mereka berdua. Saat jam pelajaran kosong, mereka terkadang selalu menyisakan waktu untuk bertemu, menciptakan kesempatan dalam kesempitan. Serta saat ini Khanza sudah terbiada dengan perihak materi yang dia dapatkan dari pak Gibran.

"Za, ayo kita ketemu di luar sore nanti. Kita sudah lama tidak menikmati udara diluar berdua." seraya berbisik, pak Gibran bertutur sapa pada Khanza ketika sedang melewatinya. Khanza begitu bahagia mendengarnya, lalu kemudian dia mengangguk sembari memberikan kode dengan jemarinya untuk mengirim alamat dimana mereka akan bertemu nanti. Pak Gibran mengangguk dengan mengedipkan matanya.

Mata pelajaran akhir masih berlangsung di kelas, Khanza begitu gelisah dan kesal. Dia ingin jam segera berakhir, berulang kali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya itu. Dia ingin segera tiba waktu sore.

"Za, kenapa sih? Bolak balik melirik jam itu, kasihan tau. Jam tanganmu merasa kau selalu mengawasinya, hihihi." tanya Chika menggoda sahabatnya itu, sejak tadi dia memperhatikan gelagat Khanza yang selalu gelisah.

"Aku mau jalan bareng si pacar. Aku sudah sangat merindukannya, belakangan ini kami selalu di rundung masalah. Ugh, jadi sulit bermesraan berdua."

"Gila ya, kau Za!" ujar Chika cetus. Meski dalam hati Chika masih berat membiarkan Khanza semakin menggila menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang sudah beristri.

Bel berbunyi kemudian, tanda mata pelajaran jam akhir usai, waktunya untuk segera pulang. Semua murid sudah bergegas memasukkan semua perlengkapan alat tulisnya ke dalam tas. Lalu berhamburan keluar kelas, begitupun Khanza dan Chika. Setelah melihat pak Gibran masih berada di mejanya, Chika mengerti untuk segera keluar kelas lebih dulu. Karena dia tau maksud pak Gibran masih berada di dalam kelas.

"Mas, aku sudah tidak sabar ingin segera lekas tiba waktu sore." ucap Khanza setelah hanya tinggal dia dan pak Gibran berdua di kelas.

"Dasar gadis nakal! Pasti sengaja kan godain Mas begitu, agar Mas semakin tidak sabar ingin memakanmu nanti." jawab pak Gibran dengan gertakan gigi. Dalam hatinya selalu gemas setiap kali Khanza berkata nakal yang mengarah pada hal mesum.

"Jadi kita ketemu dimana, Mas? Apakah kita akan ke Villa lagi?"

"Hem, aku mengerti. Apakah kau juga sangat merindukan ku, sayang?"

"Sangat, Mas! Aku rindu sentuhan manja mu."

"Baiklah. Tapi kau harus tanggung sendiri akibat dari ucapan mu ini," jawab pak Gibran lagi sembari membereskan beberapa buku nya di atas meja.

"Aku akan selalu menanggungnya asal kau membuatku senang sore ini, Mas." balas Khanza dengan senyuman nakal. Lalu kemudian pak Gibran pergi lebih dulu keluar kelas setelah mengatakan dimana mereka akan bertemu.

~

Tiba sore hari, tepat jam 4 sore. Khanza hendak berpamitan pada ibu nya, untuk keluar selama beberapa jam hingga makan malam tiba nanti mungkin Khanza masih akan bersama pak Gibran tentunya. Dia berpikir akan melakukan negoisasi dengan ibu nya, agar saat ayah Khanza mencarinya. Dia tidak akan kebingungan mencari alasan.

"Dimana ibu? Akh, menyebalkan! Disaat seperti ini ibu justru menghilang. Bagaimana aku akan meminta izin?"

Khanza mulai panik setelah mencari-cari ibu nya tapi tidak ada di rumah. Sementara Arumi, sang kakak. Mendapat sift siang hari ini, dirumah begitu sepi.

"Ah, sudah lah! Biar nanti saja aku telepon ibu. Mas Gibran sudah pasti menantiku di tempat biasa."

Lalu kemudian Khanza bergegas mengendarai sepedanya untuk segera bertemu pak Gibran, yang kini sudah menunggunya di depan minimarket seperti biasa. Ah, sungguh seperti suatu kebetulan saja! Tempat itu selalu sepi. Saat ramai pun, tempat itu hanya di hampiri orang-orang asing yang tak pernah saling mengenal satu sama lain.

Tiba di depan minimarket, Khanza sudah langsung memarkir sepedanya terlebih dahulu kemudian langsung menuju ke arah mobil yang sudah di ketahuinya milik pak Gibran.

"Apakah sudah menunggu lama? Maaf jika telat. Aku mencari ibu dulu tadi, entah lah kemana dia pergi." Sesampainya di dalam mobil pak Gibran, Khanza langsung mengecup pipi kanannya seraya berkata demikian. Pak Gibran tersenyum mendapat kecupan singkat dari Khanza.

"Tak apa, aku juga baru sampai. Kemana ibu pergi?"

"Entahlah. Tidak biasanya, dia juga tidak izin akan pergi kemana. Sudah lah, ayo pergi! Aku sudah tidak tahan," jawab Khanza lugas.

Pak Gibran menjadi gemas lalu menangkap kedua pipi Khanza, di pandanginya wajah Khanza lekat kemudian dia kecup bibir yang sejak tadi selalu banyak bicara.

"Umh!" Khanza sedikit memekik dalam.

"Hah, mas. Kau ini, bisakah sabar dulu. Jangan disini!" ujar nya setelah pak Gibran melepas sentuhan bibirnya di bibir ranum Khanza.

"Habisnya, sejak tadi kau selalu banyak bicara. Selalu bilang tidak tahan, kau sengaja bukan memancing juniorku itu." Sembari melirik ke arah  bagian tengah pak Gibran, dia berkata demikian. Berharap Khanza akan semakin menggila ketika sesuatu di bagian tubuhnya mulai mengeras.

"Ih, apaan sih, Mas? Dasar nakal!" balas Khanza memalingkan wajahnya berpura-pura. Namun di dalam hatinya Khanza berteriak gemas, ingin sekali segera beraksi dan bermain dengan benda itu.

Setelah melalui perjalanan yang sedikit lama, berputar-putar mengelilingi jalanan kota. Akhirnya pak Gibran memasuki halaman sebuah Motel kecil di pedalaman kota. Selama ini, diam-diam dia mencari-cari alamat Motel yang cukup terjaga privasinya. Bahkan sedikit jauh dari jangkauan orang-orang di kota tempat mereka tinggal.

"Mas, kenapa kita ke sini? Bukannya kita akan ke Villa mu?" tanya Khanza setelah pak Gibran mematikan mesin mobilnya di halaman parkir di bawah  tanah. Di halaman itu hanya ada beberapa mobil saja yang terparkir, mungkin hanya beberapa orang saja yang mengetahui tempat ini.

"Eh, istriku sudah mengetahui adanya Villa itu. Jadi sepertinya tidak akan aman jika kita sering datang ketempat itu."

Khanza menundukkan kepala dengan raut wajah sedih, sejenak dia merasa jika dia terlalu percaya diri bahwa Villa itu sengaja di beli oleh pak Gibran khusus untuknya ketika ingin bersama. Tapi nyatanya tidak!

"Sayang, apa kau marah? Lagi pula, di Motel ini tak jauh lebih memgasyikkan tempatnya. Aku yakin kau akan menyukainya, dan... Apakah kau sudah memiliki gaya baru untuk permainan kita?"

Pak Gibran bisa menangkap mimik wajah gadis kesayangannya itu, dia tahu jika Khanza saat ini sedang merasa bahwa dirinya hanyalah bagian pemuas nafsunya saja. Meski nyatanya Khanza lah yang memulai lebih dulu, namun saat ini justru pak Gibran mulai jatuh hati dan enggan melepaskan Khanza untuk pergi.

Lagi-lagi pak Gibran mengecup lembut kening Khanza yang masih menundukkan kepalanya, di genggam dengan erat kedua tengan Khanza.

"Aku merindukanmu, aku juga jatuh cinta padamu. Tolong, jangan berpikir aku hanya memanfaatkan mu, sayang!"

Mendengar hal itu Khanza merasa berdegub kencang, ia menyadari jika hatinya pun juga merasakan hal yang sama. Jatuh cinta dan sangat merindukan belaian kasih sayang pak Gibran.

"Aku juga, Mas!" jawab Khanza kembali ceria. Melempar senyuman nya dan lalu mengedipkan mata nakal pada pak Gibran.

Kemudian mereka hendak turun dari mobil, namun tanpa sengaja pandangan Khanza tertuju pada dua orang yang saat ini sedang menuju ke halaman parkir. Dengan sangat gesit Khanza menarik pak Gibran untuk menundukkan kepala dan bersembunyi di bagian bawah kursi mobil.

"Ada apa, Za?" pak Gibran kebingungan setelah Khanza mengajaknya bersembunyi.

"Sssttt..."

Pak Gibran masih kebingungan ketika Khanza menempelkan jari telunjuknya di bibir ak Gibran. Lalu kembali mendongakkan kepalanya bersikap seolah sedang mengintai.

"Ibu..." ujarnya dengan lirih. Pak Gibran mengikuti gelagat Khanza, dia mendongakkan kepalanya melihat keluar mobil.

"Astaga, Za. Itu ibu kamu, kenapa bisa dia disini? Dan laki-laki itu siapa?"

Tanpa menjawab apa yang di tanyakan oleh pak Gibran, Khanza terus menatap ibu nya dan laki-laki di sisinya yang merangkul mesra pinggul ibunya. Khanza menitikkan air mata, dia terlalu shock dan tidak percaya apa yang kini di depan matanya itu.

Next chapter