webnovel

Tentang Lelaki Brokoli

Rasa terlalu bahagia dan frustasi rasanya sekarang berbeda tipis bagi Anya. Di sisi lain ia bahagia akan dilamar secara resmi oleh Pasha yang ia cintai namun di sisi lain Anya gelisah.

Well, ini karena ulah Artha. Pria usil, genit, banyak tingkah dan sok ganteng itu.

Semuanya tetap terasa serba salah. Meski ia telah dua kali menampar lelaki itu kemarin. Tetap tidak membuatnya merasa lebih baik.

Sampai ia keliru mengenakan heels berbeda pasangan, satu hitam satu merah.

"Nice choice," sindir bu Naiya, atasannya saat mereka satu lift di pukul delapan pagi.

Anya melihat ke bawah sepatunya kemudian tepuk jidat.

Anya meringis malu. Sedangkan atasannya itu tampak tidak terlalu peduli. Fokus pada smartphone-nya.

Begitu lift terbuka, Anya langsung melepas dan menenteng kedua sepatunya. Lebih baik ia bertelanjang kaki dari pada satu orang divisi melihatnya keliru mengenakan sepatu.

"Kak, kok nyeker?" Arini menyorot pada kaki-kaki telanjang Anya yang baru datang.

"Gue salah pakai sepatu." Anya melempar kedua sepatunya ke pojok kubikel. Berganti dengan sepasang sandal jepit yang selalu ada di bawah mejanya.

"Kok bisa kak?" Arini mengulum senyum geli. Mau tertawa keras tapi takut dosa.

"Tauk!" sahut Anya ketus sambil menuju pantry. Hendak menyeduh kopi susu.

Di pantry, Anya mengaduk kopi susunya sambil melamun. Beberapa hari ini, ia memikirkan banyak hal hingga ia susah tidur, gagal fokus hingga serba salah melakukan sesuatu.

"Bikin apa Nyak?" Felix tiba-tiba nongol di pantry, mengambil gelas di lemari gantung.

"Kopi susu," Anya menjawab sambil mengaduk kopi susunya. Acuh tak acuh dengan keberadaan Felix rekan satu divisinya.

"Lo udah ngecek susunya? Kalo ga salah kemaren gue mau bikin juga. Tapi susunya udah kadaluarsa." Felix memberi tahu sambil mengisi gelasnya dengan air panas di dispenser.

Anya mengangkat bungkus sachet susu kental manis yang telah berpindah isinya. Mengamati tanggalnya.

"Ya Salaaam." Anya melihat tanggalnya memang sudah kadaluarsa. Sudah lewat satu bulan dari tanggal kadaluarsa.

"Gue bener kan?" Felix mengaduk tehnya.

"Iya," Anya menyahut tanpa semangat tapi malah mengangkat gelasnya. Tetap meminumnya.

"Lho...lho...kok malah tetap lo minum?" Felix terkejut melihat ulah Anya yang tak peduli dengan peringatannya.

"Paling cuma mules," jawab Anya santai sambil membawa gelas kopi susunya keluar pantry. Felix terperangah menatap Anya pergi sambil menggeleng-geleng kepalanya.

Saat ini Anya memang lagi sedikit sinting. Gara-gara Artha. Anya tanpa ragu telah menjatuhkan semua kesalahan pada Artha.

Sejak Artha menciumnya, seketika itu juga membuat hidup Anya sedikit terguncang.

Anya masih sangat terobsesi dengan Pasha, namun di sisi lain ada perasaan yang tidak bisa ia abaikan. Rasa itu tentang Artha. Tentang betapa manisnya ciuman Artha, namun berusaha mati-matian pula ia pungkiri.

Anya menghela nafas panjang lagi sambil menyesap perlahan kopi susu kadaluarsanya. Rasa kopi susunya tetap sama. Nikmat. Seperti tidak ada yang salah.

Seharusnya rasanya seperti perasaannya yang telah kadaluarsa.

Anya kembali menggeleng kepalanya dengan resah. Ia kembali sedang berusaha menyangkal apa yang sebenarnya sedang ia rasakan.

Jujur, dahulu ia pernah menyukainya Artha. Siapa yang tidak suka dengan playboy receh itu? Artha memang tidak setampan suami sahabatnya atau Pasha. Namun Artha begitu pandai menarik hati wanita tanpa terkecuali Anya.

Di awal pertemuan mereka dua tahun yang lalu, saat lelaki slengekan itu muncul di kantornya. Saat itu pertama kali Anya satu lift berdua dengan seorang lelaki dengan rambut kribo mengembang mirip brokoli. Lelaki yang sebenarnya cukup tampan dibalik rambut mengembangnya yang seolah menutupi sebagian pesonanya.

"Mbak...Boleh nanya nggak?" Lelaki itu rambut brokoli itu tiba-tiba membuka obrolan saat lift telah naik dua lantai.

"Ya?" Anya menoleh dengan sempurna. Lelaki rambut brokoli itu tampak tersenyum lebar padanya. Anya langsung memindai penampilan lelaki itu dalam tiga detik.

Lelaki rambut brokoli itu mengenakan kemeja slimfit merah marun dengan id card dan lanyard biru tua menggantung di lehernya. Lengan kemejanya digulung hingga siku, menampakan kulit cerahnya yang tampak kontras dengan warna kemejanya.

"Gedung kantor ini berapa lantai ya?" tanya lelaki brokoli itu membuat kening Anya berkerut. Cara membuka obrolan yang menurut Anya aneh.

"Lima puluh lantai," jawab Anya acuh tak acuh. Kembali menatap ke depan, menatap pantulan sosok mereka berdua di pintu lift. Menatap lelaki brokoli genit itu yang wajahnya terus menghadap ke arahnya

"Mbak kerja di sini?"

Anya melirik lagi. Lelaki itu kini bersandar sambil melipat kedua tangannya di dada. Menatapnya terang-terangan.

"Iya."

"Kalo boleh tahu, mbak berhenti di lantai berapa?"

"Lima puluh."

"Itu ruangan kerja mbak?"

"Bukan. Itu rooftop."

"Ngapain ke rooftop mbak?"

Anya balik menatap lelaki brokoli yang ternyata usil juga.

"Jemur daster," jawab Anya dan langsung membuat tawa lelaki brokoli itu meledak. Sementara Anya tetap memasang wajah serius.

"Mbak lucu banget deh. Kenalin dong gue Artha." Lelaki itu mengulurkan tangannya dan membiarkan tangan Artha tergantung begitu saja tanpa ia sambut.

"Anya." Anya hanya menyebut namanya tanpa berniat menyambut.

"Wow..." Lelaki brokoli bernama Artha itu menarik tangannya tanpa eskpresi tersinggung dengan sikap Anya. "Nama yang cantik," ujarnya kembali membuat Anya menatapnya dari sudut mata besarnya.

"Boleh sekalian minta nomor hp lo?" pinta lelaki Brokoli itu tanpa sungkan-sungkan. Jujur Anya terkejut dengan betapa tebalnya wajah lelaki brokoli ini.

"Sekalian alamat rumah, nomor sepatu berapa, zodiak kamu apa, anaknya sudah berapa?"

Anya melotot kaget dengan rentetan pertanyaan Artha terakhir sukses memancing reaksinya.

"Gue single!" timpal Anya terpancing dan membuat lelaki brokoli itu kembali tertawa geli.

"Kalo gitu boleh dong gue minta no hp lo?" Sambil tersenyum manis.

Dan itu adalah kesan pertama dari pertemuan pertama mereka berdua. Hingga Anya bertemu lagi dengan lelaki itu. Sepulangnya Amor sahabatnya dari Nepal. Lelaki berambut nyentrik itu ternyata sepupu Amor. Mereka berdua menjadi akrab karena Amor.

Bahkan diam-diam Anya akhirnya menyukai Artha yang kerap meneleponnya bahkan beberapa kali mengajaknya jalan di luar kantor.

Anya sempat mengira Artha juga memiliki perasaan yang sama seperti dirinya, namun ternyata Anya keliru. Artha ternyata bersikap seperti itu pada semua wanita yang dikenalnya. Pada Sonya, Gea, Dara, Clara, Tina dan masih banyak lagi yang ada di kontak list ponsel Artha yang menurut Anya lebih mirip asrama putri.

Anya tahu karena dulu ia pernah meminjam ponsel Artha untuk menelepon karena baterai ponsel miliknya lowbat. Anya tercengang dengan banyaknya perempuan yang silih berganti mengirim chat mesra hingga nakal ke ponsel Artha.

Anya seketika kesal. Ternyata ia bukan satu-satunya. Sudah jelas Artha itu playboy!

Puncaknya adalah pada suatu malam saat Anya menangkap basah Artha yang sedang menggendong bu Naiya di punggungnya. Bahkan Anya sempat melihat bu Naiya bergelanyut manja di dalam mobil Artha. Saat itu Anya memang kebetulan lewat dengan mobilnya dan melihat pemandangan itu.

Seketika itu Anya jadi semakin illfeel. Ia tidak akan pernah lagi menganggap serius setiap kata-kata Artha yang kerap menggodanya. Anya lebih menganggap Artha sebagai playboy kelebihan hormon testoteron. Playboy kemoceng yang tak perlu ia anggap serius dalam setiap sikap manisnya. Playboy yang lebih nyaman dijadikan teman saja.

"Anya." Pak Andi memanggilnya. Anya kembali ke masa kini.

"Ya pak?"

"Kamu ikut saya meeting ya."

"Sekarang pak?"

"Iya. Jangan lupa bawa file yang kemaren."

"Baik, pak."

Anya hampir lupa kalau sepatunya lagi beda sebelah. Anya melirik ke heels hitam Arini.

"Dek, ukuran kaki lo berapa?"

Arini menoleh sambil menggigit ujung ballpoint-nya.

"40."

"Cocok! Gue pinjam ya?"

"Iya kak, silahkan." Arini melepas kedua sepatunya dan memberikannya pada Anya.

"Thank's. Lo mau gue bawain apa nanti?" Anya mengenakan sepatu Arini sambil bertanya pada Arini karena ia akan meeting sekaligus makan siang di sebuah restoran di Mall bersama pak Andi.

"Nggak usah kak." Arini tersenyum manis.

"Ok, gue pergi ya." Anya bergegas menyusul pak Andi yang tampak berjalan mendahuluinya.

Begitu tiba di resto, Anya melengos begitu melihat Artha tersenyum lebar ke arahnya. Anya merutuki kesialannya. Sebelum meng-iyakan ajakan meeting pak Andi, Anya lupa bertanya dengan siapa mereka berdua akan meeting.

Ternyata dengan Jovan dan Artha yang sedang berusaha ia hindari.

Andai ia tahu sebelumnya, Anya bakal mengeluarkan serombongan alasan untuk menolak menemani pak Andi pergi meeting.

"Hai, Anya." Jovan menjabat tangan Anya, diikuti oleh Artha yang begitu semangat bertemu dengan dirinya. Anya sengaja menghindari dan membiarkan tangan kanan Artha yang terulur menggantung lama. Artha menurunkan tangannya dengan canggung.

"Kita langsung mulai meetingnya pak?" Pak Andi membuka meeting mereka.

Setengah jam kemudian, Anya merasakan perutnya mulas yang amat sangat. Anya sampai meremas perutnya, menahan sakit. Ini pasti karena nekat minum kopi mix susu kadaluarsa. Keringat dingin perlahan mengalir di pelipisnya.

Anya memilih menahan sakit dan berharap meeting mereka segera usai. Anya yakin masih bisa menahan rasa mulasnya. Sementara Artha diam-diam memperhatikan ekspresi aneh di wajah Anya. Lebih merasa aneh saat melihat keringat Anya yang berjatuhan di pelipis. Padahal AC di resto cukup dingin seharusnya Anya tidak seperti orang kepanasan seperti sekarang ini.

Aduuuuh....gue jadi pengen banget pup! Anya menjerit dalam hati sambil meremas tepian roknya.

Anya mulai tidak tenang. Rasa mulasnya sudah tidak tertahan lagi. Statusnya sekarang siaga satu, seperti gunung yang siap memuntahkan lavanya.

Anya tiba-tiba berdiri. Mengejutkan ketiga pria yang sedang serius-seriusnya berdiskusi.

"Maaf pak, saya ijin ke toilet!" ujar Anya berpamitan sebelum ia berjalan secepat mungkin ke toilet.

Satu setengah jam kemudian, meeting usai dan Anya tak kunjung kembali.

Merasa ada yang tak wajar, dengan betapa lamanya Anya berada di toilet. Artha berpamitan pada Jovan hendak ke toilet. Padahal yang sebenarnya karena ingin menemui Anya.

Di depan toilet wanita, Artha memilih menunggu sambil menelepon Anya. Tapi tidak kunjung diangkat meski ditelepon berkali-kali.

Di dalam toilet, Anya menatap nanar pada layar ponselnya. Ia sedang mulas, diare tidak kunjung usai dan Artha meneleponnya berkali-kali.

Aduuuh....ini orang ngapain pake telepon?! Anya yang tadinya berkali-kali mengabaikan panggilan telepon Artha, akhirnya memutuskan menjawabnya dengan posisi masih duduk di closet.

"APA?!" Anya menjawab dengan gusar.

"Lo di mana sih? Buang hajat apa tidur?"

"Tidur embahmu kiper!" Anya membalas dengan nada kesal sambil sebelah tangannya meremas perutnya yang mulas.

Terdengar Artha menertawakannya. "Atau lagi bikin sumur artesis?" tambahnya semakin menyebalkan.

"Kamp-prett lo! Gue lagi mules..." jawab Anya akhirnya jujur sampai menyandarkan kepalanya di dinding toilet. Lemas.

"Lo diare?" Artha tersentak kaget. "Mau gue carikan obat?"

Anya terdiam sesaat. Memang itu yang ia butuhkan.

"Please....jangan pakek lama." Akhirnya Anya memohon.

Beberapa menit kemudian Artha datang lagi dengan obat di tangannya. Anya sudah keluar dari toilet dan sedang bersandar pasrah plus lemas di pintu toilet. Jaga-jaga kalau mulas lagi.

"Minum ini." Artha menyodorkan obat diare dan sebotol air mineral.

Anya langsung menyambar dan menelan obatnya.

Setelah minum obat, Anya masih bersandar di pintu dengan wajah agak pucat.

"Gimana? Baikan?" Artha bertanya lagi.

Anya mengangguk pelan. Wajahnya tampak pucat.

"Berapa kali lo diare?"

"Lima kali."

"Gue bilang ke bos lo sekarang ya? Kalo lo sakit...."

Anya mengangguk lagi.

"Masih pengen....pup?" tanya Artha lagi dengan nada hati-hati. Takut Anya tersinggung. Urusan mereka yang kemarin belum sepenuhnya usai. Jangan sampai Artha menambah masalah hanya karena salah ucap.

Anya menggeleng keras.

"Terus kenapa masih nyender di pintu toilet?"

"Lemes bego!" timpal Anya dengan nada kembali judes. Sebenarnya ia bukan hanya lemas tapi perutnya mual dan kepalanya juga pusing. Anya sepertinya keracunan susu kadaluarsa.

Artha malah tetap cengengesan tanpa dosa meski dibentak Anya.

Mendadak Anya masuk lagi ke dalam toilet. Kali ini muntah-muntah. Artha berdiri dengan cemas menunggu Anya selesai muntah.

Setelah muntah, Anya berbalik lalu berjalan dengan sedikit sempoyongan.

"Nyak...lo nggak apa-apa?" Artha mengikuti dari belakang.

Anya menggeleng lalu kemudian pingsan tepat dalam pelukan Artha.

Next chapter