webnovel

Ciuman Tanpa Permisi

Senin pagi, saat Anya baru duduk di kubikelnya dengan wajah berseri-seri sambil tak bosan-bosannya menatap sesuatu di jari manisnya.

"Cantik sekali kaaaak!" Arini hampir memekik keras saat melihat cincin berlian solitaire melingkar di jari manis tangan kanan Anya. Namun Anya buru-buru memberi isyarat dengan telunjuk menempel di bibirnya.

"Frank & CO..." tambah Arini berbisik sambil menatap takjub cincin Anya.

"Tahu dari mana?"

"Aku pernah lihat cincin solitaire yang model kayak begini kak. Waktu mampir ke outletnya di PI Mall. Indah banget kak." Arini mengerang iri dengan keberuntungan Anya.

Anya tersenyum membanggakan cincin pemberian Pasha.

"Duuuuh...kapan ya Arini dikasih cincin kaya gini..." keluh Arini dengan sorot mata tampak begitu mendamba.

"Makanya minta dilamar dong sama pacar kamu," sahut Anya. Bayangan Artha sempat terlintas di benaknya. Bukankah Artha dan Arini mulai berpacaran?

"Kak Anya abis dilamar?!" Arini lebih terkejut lagi. Matanya sampai terbelalak lebar.

"Iya. Kemarin waktu di Lombok." Wajah Anya makin berseri-seri mengingat moment romantis saat Pasha melamarnya secara pribadi. Setelahnya lelaki itu berjanji akan melamar secara resmi bulan depan pada ayah Anya di Aceh. Anya jadi tidak sabar menanti hari itu.

"Duh gusti..." Arini mendadak mengusap dada dengan wajah prihatin. Padahal Anya berharap Arini akan mengucapkan selamat. Bukannya malah tampak seperti orang yang habis tertimpa musibah.

"Muka kamu kenapa dek? Kok mendadak sedih?"

"Mmm...nggak apa-apa kok kak." Arini meringis. "Selamat ya kak," ucapnya kemudian.

"Kak, aku boleh ya ambil foto cincin di jari kak Anya?" pinta Arini tiba-tiba meminta ijin.

"Untuk apa?" Anya tertawa geli dengan permintaan Arini.

"Karena aku penggemar Frank & CO, kak." Arini beralasan sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah cincin di jemari tangan Anya.

"Sudah. Makasih ya kak." Arini memperlihatkan foto cincin Anya di layar ponselnya lalu kembali menuju mejanya dan diam-diam mengetik sesuatu di ponselnya untuk seseorang.

Arini: Kak Artha sudah tahu?"

Sambil ia kirimkan serta foto cincin di jari manis Anya pada Artha.

Artha: Sudah dek.

Arini: Tabah ya kak.

Artha: Makin nyesek dek. Ngapain juga kamu kirim foto cincinnya segala?

Arini: Maap kakak. Aku nggak bermaksud. Tapi hati kakak bukan buatan pabrikan kan?

Artha: Untungnya buatan Tuhan dek. Tahan banting.

Arini melirik lagi pada Anya yang masih memandangi cincinnya sambil terus tersenyum bahagia. Arini yakin, Artha saat ini pasti merasa patah sepatah patahnya hati.

Arini tahu benar perasaan Artha pada Anya. Sejak Artha mengakui dengan jujur bahwa ia mencintai Anya hingga sengaja mendekatinya hanya untuk membuatnya cemburu. Setelah mengetahuinya, bukannya mendendam Arini justru menawarkan diri membantu Artha semampunya.

Arini mengetik lagi sebuah pertanyaan untuk Artha.

Arini: Kak Anya keliatan bahagia banget kak. Masih mau lanjut kak?

Artha: LANJUT!

Arini: Kak Artha luar biasa.

Artha: Hahaha…iya.

Arini: Luar biasa bandel.

Artha: Selama batu nisan belum tertancap dek.

Arini: Astaga. Hahaha…

****

Artha memasukan ponsel ke saku kemeja dengan tampang galau, menghembuskan asap rokoknya perlahan ke udara sebelum mematikan rokoknya.

Saat Artha memberi kabar tentang Pasha yang telah melamar Anya di Lombok pada Rahma lewat telepon, perempuan itu langsung terpukul dan menangis sejadi-jadinya. Kian memaksanya agar menghalangi Anya dan Pasha. Jangan sampai mereka menikah. Artha bertekad akan membantu Rahma. Meski Rahma tidak menjelaskan dengan gamblang alasannya. Artha merasa Rahma masih menyembunyikan sesuatu tentang Pasha. Dan firasat Artha mengatakan bahwa hubungan antara Rahma dan Pasha di masa lampau tak sesederhana yang ia kira.

Teringat dengan tangisan pilu dan alasan perempuan itu tidak rela Anya berhubungan dengan mantan kekasihnya membuat hati Artha bergerak lagi. Ditambah lagi Artha tidak rela Anya yang ia sayangi akan hidup bersama pria itu. Semangatnya pun bangkit kembali. Artha semakin tidak peduli Anya akan memakinya bahkan akan semakin membencinya habis-habisan. Tujuannya sudah bulat. Artha harus berusaha menghalangi rencana Pasha yang akan melamar Anya secara resmi bulan depan.

Artha kini berdiri di depan ruangan divisi keuangan tempat Anya bekerja. Kerjasama antar perusahaan memberinya akses sesering mungkin muncul di perusahaan tempat Anya bekerja. Artha memberanikan diri melangkah masuk. Ia tidak peduli dengan reaksi Anya yang bakal mengusirnya.

"Gue ingin bicara sama lo Nyak." Artha berkata tepat setelah ia berdiri di depan kubikel Anya. Menatap Anya lekat-lekat.

Kepala Anya terangkat menatap si pemilik suara. Artha. Ekspresi wajahnya yang awalnya berseri-seri berubah menjadi malas menanggapi Artha.

"Pergi." Anya mengusir dengan suara selirih mungkin. Tidak ingin sampai orang lain dalam ruangan ikut mendengarnya. "Jauhi gue."

"Kalo gue nggak mau?"

"Lebih dari satu meter lo deketin gue, gue panggil security," Anya mengancam.

"Jangan konyol."

"Elo tuh yang konyol. Gue belum bisa maafin lo soal tempo hari. Tolong dong sadar diri."

Artha menghela nafas panjang, berusaha untuk tetap dingin menghadapi sikap ketus Anya.

"Ok, gue minta maaf soal kemaren. Tapi kita berdua harus bicara, Nyak." Artha terus berusaha.

"Gue lagi sibuk," sahutnya acuh.

"Penting Nyak."

Anya mendengus kesal. "Soal apa lagi?"

"Ini soal Rahma."

Mendengar Artha menyebut nama perempuan yang paling ia benci, Anya memutar bola mata besarnya. Lagi-lagi soal Rahma.

"Malas kalo soal dia. Pergi." Anya mengibaskan tangannya mengusir Artha. Membuat kilauan berlian dari cincin pemberian Pasha menarik perhatian Artha dan makin membuatnya kesal. Artha menangkap tangan Anya lalu menariknya dengan kuat hingga bangkit dari kursinya agar mengikutinya. Arini yang melihat tingkah keduanya sengaja tak melakukan apa pun untuk menahan keduanya. Arini memilih berpura-pura tenggelam dalam pekerjaannya.

"Eee...apa-apaan lo Tha?! Lepasin gue!"

"Kita harus bicara." Artha terus melangkah sambil menggandeng erat tangan Anya yang terseok-seok mengikuti langkah cepat kaki Artha.

Artha lalu memaksanya masuk ke lift dan menekan tombol lantai teratas. Rooftop.

"Lepas Tha!" Anya berusaha meronta melepaskan diri dari genggaman tangan Artha yang begitu kuat.

"Nggak! Sampai kita selesai bicara," jawab Artha tegas.

"Tapi lo nyakitin tangan gue!" teriak Anya jengkel.

Tidak tega mendengar Anya kesakitan karenanya, Artha melepaskan tangannya.

"Maaf," ucapnya lirih.

Anya memilih membuang muka ke arah lain. Sikap Artha benar-benar menyebalkan. Tidak biasanya lelaki itu begitu pemaksa.

"Mau bicara apa? Cepetan!" tanya Anya saat mereka akhirnya berada di rooftop. Tidak ada siapa pun di sana selain mereka.

"Gue mohon, jangan lanjutkan hubungan lo dengan Pasha," ujar Artha dengan wajah serius. Tidak ada lagi wajah cengengesan yang seperti biasa Artha perlihatkan.

Anya terperangah mendengar permohonan Artha. Lelaki ini benar-benar belum menyerah juga berusaha menghalangi hubungannya dengan Pasha.

"Kenapa?" Anya melipat kedua tangan di dada menanti sebuah alasan. Kedua alis tebalnya saling bertaut dan sorot matanya kian tajam. Wajahnya kini jadi lebih angker dari wajah ibu kost yang sedang menagih uang kost yang menunggak tiga bulan.

"Karna dia nggak baik buat lo, Anyak," Artha mengatakan alasannya yang langsung menuai decak sinis dari Anya.

"Astaga! Lo pasti sudah diracun oleh Rahma. Perempuan itu bilang apa aja ke lo hah?!"

Artha terdiam. Ia sudah menebak sebelumnya. Anya bakal tidak senang jika mendengar soal Rahma, istri ayahnya yang amat ia benci selama bertahun-tahun.

"Rahma bilang apa ke lo?! Bilang!" Anya menghujani lengan Artha dengan pukulan kekesalan.

Artha masih diam namun dalam hatinya berkecamuk. Haruskah ia membeberkan alasan yang sebenarnya. Alasan mengapa Rahma bersikeras menghalangi Anya dan Pasha berhubungan.

"Kalo nggak ada alasan yang jelas. Lo dan si Rahma itu nggak berhak campuri hidup gue."

"Pasha mantan pacar kak Rahma!" Akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari lidah Artha.

Anya berkacak pinggang setelah mendengarnya. Mencoba pura-pura tertawa meski hatinya jelas-jelas terpukul setelah mendengarnya. Namun ia berusaha bersikap tenang. Rahma pasti berbohong. Perempuan itu dari dulu licik dan mampu berbuat apa saja untuk menghalangi kebahagiaannya. Dulu perempuan itu merusak hubungannya dengan Fajar, Robby, ayahnya dan kini mengincar Pasha.

"Nyak..." Artha berusaha meraih lengan Anya. Namun Anya bergerak mundur. Artha bagai meraih angin.

"Lantas kenapa? Sudah mantan kan?" Anya mengucapkannya dengan nada sinis. "Pasha bebas berhubungan dengan siapa pun."

Sejujurnya Anya sedih mengetahui Pasha pernah berhubungan dengan Rahma. Haruskah ia menanyakannya langsung pada Pasha nanti?

Artha menggeleng keras. "Pokoknya nggak boleh." Artha bersikeras.

"So what?!" Jerit Anya lantang.

"Karna bakal lucu Nyak! Lo mau judul dalam kisah cinta lo selucu judul sinetron rumah tangga yang sering ditonton elo dan para ibu-ibu di siang bolong? Kekasihku Mantan Kekasih Ibuku...atau Kekasihku Masa Lalu Ibuku..." balas Artha dengan berapi-api mengemukakan alasannya yang terdengar konyol.

"Gue nggak pernah nonton sinetron murahan itu kayak looo! Makanya isi otak lo nggak jauh beda sama isi ceritanya. Le-baaaay!"

"Oke…oke gue ngaku. Gue yang sebenernya suka nonton." Artha mengalah. ���Gue mohon pikirkan baik-baik, Nyak. Pasha pasti punya maksud terselubung buat lo."

Anya menatap tajam pada Artha yang tampak begitu memohon padanya. Anya tidak mengerti mengapa temannya ini bisa masuk dalam jebakan Rahma.

"Cukup sudah. Gue balik ke ruangan." Anya melangkah pergi. Betapa melelahkannya berdebat dengan Artha seperti ini.

Namun mendadak Artha menarik tangan, menangkap pinggangnya dari belakang, lalu dengan kecepatan yang mengagumkan Artha mencium bibir Anya tanpa permisi. Ciuman lima detik yang manis. Ciuman yang juga menyulut kemarahan Anya.

Anya mendorong dada Artha sekuat tenaga dan menghadiahi pipi Artha dengan tamparan keras.

PLAAAK!!!

Sambil menjerit histeris, "DASAR MESUUUM!!!"

Artha meringis kesakitan mengusap pipinya yang kini rasanya panas sepanas koyo cabe extra hot.

"Kenapa lo cium gue?!" Tidak puas dengan menampar, Anya melepas sebelah sepatunya untuk memukul Artha bertubi-tubi.

"Aduuu duu duu duuuu! Sakit Nyak!" Artha tak kuasa menahan pukulan sepatu Anya. Artha memilih lari mengitari rooftop yang luas. Anya mengejar di belakangnya dengan terpincang-pincang karena sepatu sebelahnya ia acung-acungkan ke udara. Ia belum puas memukul Artha.

"Gue nggak terima! Lo harus gue hajar! Mesum!"

"Sorry Nyak! Soriiiiiii...."

"Gue...nggak...akan ampuni...loooo!" ujar Anya dengan nafas terengah-engah dan mulai melambatkan larinya mengejar Artha. Lelah mengejar Artha yang berlari mengelilingi rooftop untuk menghindarinya.

"Sini loo...jangan kaburrr! Dasar kancut!" Anya berhenti lalu membungkuk dengan kedua tangan bertumpu di kedua lututnya. Mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.

Melihat Anya berhenti, Artha bergegas menuruni rooftop. Anya mengerikan saat sedang murka. Dari pada tambah babak belur lebih baik usahanya menjegal Pasha dilanjut besok lagi.

°•°•°

Anya kembali ke kubikelnya dengan kacau. Wajahnya merah padam, rambut awut-awutan, baju basah keringat dan nafas yang masih naik turun dengan cepat tak beraturan. Anya tampak masih merasa jengkel luar biasa.

"Minum kak minum." Arini cepat tanggap dan langung menyodorkan segelas air. Anya meminumnya sampai tandas.

"Kak Anya abis ngapain kok sampai basah keringatan gini?" Kali ini segepok tisu Arini sodorkan bertingkah bagai asisten atlet tinju yang sedang duduk di sudut ring.

"Gue habis..." Anya tidak melanjutkan. Teringat Artha yang tiba-tiba kurang ajar menciumnya.

Anya sontak menggeleng kepalanya seolah berusaha menyangkal bahwa ciuman itu membuatnya merasa telah mengkhianati Pasha.

Anya bersandar lemas di kursinya, lelah luar biasa. Ia akan membuat perhitungan dengan Artha nanti setelah tenaganya terkumpul.

Potongan adegan Artha menciumnya lewat lagi tanpa ia mau. Anya mengacak-acak rambutnya dengan gemas seperti sedang berusaha mengusir kutu rambut yang membuatnya gatal. Bayangan Artha yang menciumnya terus saja muncul mengganggunya.

Sementara Anya terus sibuk dengan kekesalannya sendiri, Arini diam-diam merekamnya dengan video kamera ponsel lalu mengirimkannya pada Artha.

Arini: Kak Anya abis diapain sih kak? Kok ngamuk-ngamuk begini?

Arini mengirim video pendek Anya yang tampak sedang uring-uringan.

Di dalam mobil, masih di parkiran kantornya Anya bekerja. Artha tersenyum menonton berkali-kali rekaman video kiriman Arini.

Setelahnya, Artha mengirim balasan dengan riang.

Artha: Abis gue cium.

Next chapter