webnovel

Tuan Takur

Tinggi ayahnya tidak lebih tinggi dari Anya yang tingginya hanya 168 cm. Tapi wajah dan sorot matanya menyiratkan kewibawaan. Wajahnya seperti kebanyakan pria Aceh pada umumnya, perpaduan Melayu, Arab dan Hindustan. Mengingatkan Artha akan salah satu tokoh tuan tanah kejam di film-film India yang sering ditonton ibunya, tuan Takur.

Bahkan dengkul Artha mendadak lemas saat manik mata kelamnya tuan Takur tertuju kepadanya. Menatapnya dengan sejenis tatapan tajam yang mampu membuat celana dalam Artha basah keringat dingin.

Meski sedikit gentar, Artha berusaha untuk tenang. Ia sudah terbiasa bertemu orang dengan berbagai macam tipekal dalam pekerjaannya. Namun tetap saja Artha butuh banyak udara untuk mengisi rongga paru-parunya yang mendadak sesak karena terprovokasi oleh kerasnya laju debaran jantungnya.

Anya sama sekali tidak mirip dengan ayahnya. Mungkin Anya mirip dengan mendiang ibunya. Artha hanya bisa menerka-nerka. Mengingat di villa ini tidak ditemukan foto mendiang ibunya Anya.

"Ayah." Anya yang sedari tadi mematung di depan pintu, maju mengulurkan tangan kanannya untuk mencium punggung tangan ayahnya.

"Cut sampai jam berapa tadi?" tanya sang Ayah dengan suara yang dibuat lembut. Tetapi Artha menangkap ada gerakan canggung sang ayah yang hendak memeluk tapi diurungkan. Urung karena Anya langsung mundur untuk memperkenalkan Artha. Lelaki yang dengkulnya sedang lemas-lemasnya di belakang Anya.

"Sebelum maghrib," jawab Anya sambil mundur selangkah untuk menarik tangan Artha yang sedari tadi mematung di belakangnya. "Kenalin pacar aku, Ayah."

Mendengar putrinya menyebut lelaki yang di belakangnya sebagai 'pacar', tatapan sang Ayah pada Artha kian menajam. Makin membuat jantung Artha memompa lebih cepat dari pada sebelumnya.

Artha mengangkat tangannya untuk menjabat tangan tuan Takur alias Ayah Anya dengan mantap meski gemetaran. Artha ingin membuat kesan yang baik di mata ayah Anya. Meski diawali dengan jabatan tangan. Jabatan tangan yang mantap namun tidak terlalu erat mempunyai makna pemilik tangan memilik pribadi yang hangat, profesional, dan positive thinking. Artha belajar jabatan jenis ini dari ayahnya sejak belia.

"Boleh juga," komentar ayah Anya setelah melepaskan jabatan tangan Artha. Membuat lelaki di depannya yang rambut kribonya saat ini dibiarkan mengembang bagai edelweiss dapat bernafas sedikit lega. Ayah Anya lumayan menyukai kesan pertamanya.

"Apa pekerjaan kau?" tanyanya kemudian menyelidik dengan dialek yang tidak jauh beda dengan abang Sultan. Pertanyaan standar yang selalu ditanyakan para orangtua. Suara ayah Anya itu terdengar serak-serak berat. Mirip penyanyi jazz.

"Saya bekerja di sebuah perusahaan konsultan pak," jawab Artha santun dan sekedarnya tanpa menyertakan posisi bagus yang sedang ia pegang sebenarnya. Jabatan manager yang ia jabat baru-baru ini.

"Hmm..." ayah Anya menatap wajah cengengesan Artha lekat-lekat seolah sedang berusaha membaca raut wajah Artha yang tidak pernah lepas dari senyum.

"Masuk. Dingin sekali di luar." Ayah Anya mendahului masuk sambil merangkul bahu Anya.

"Pilihan ayah lebih bagus nak. Yakin nggak berubah pikiran?" ujarnya lirih pada Anya namun tertangkap telinga caplang Artha.

Anya menggeleng keras. "Bisa aja ayah keliru," balasnya tak mau mengalah. Membuat Artha bersorak-sorai dalam hati.

Baru masuk ke ruangan, dua orang bocah laki-laki tiba-tiba muncul dan langsung merebut posisi Anya. Bergelayut di lengan dan di kaki ayah Anya dengan manja. Artha sedikit terkejut, mengingat sebelumnya Anya tidak pernah bercerita bahwa ia masih memiliki dua adik laki-laki yang masih kecil.

"Ayaaaaah!"

Melihat wajah Anya yang seketika masam lalu minggir jauh-jauh setelah kemunculan dua bocah laki-laki itu, membuat Artha menyadari tentang sesuatu. Ada yang tidak beres dengan sikap Anya dan keluarga ini.

Lalu wanita cantik yang Artha jumpai di teras muncul, melerai kedua bocah laki-laki yang sedang berebut perhatian ayah Anya.

"Hanaaan....Fatiiiih....ayah kalian capek. Ayo sini nak, biarkan ayah sama kak Cut dulu," ujar wanita itu sambil berusaha menarik tangan kedua anaknya. Namun tidak berhasil karena kedua bocah itu begitu erat menempel pada sang Ayah. Pemandangan yang membuat Artha akhirnya paham, bahwa wanita yang awalnya ia sangka sebagai kakak Anya ternyata adalah istri Ayahnya.

Bocah laki-laki berusia enam tahun dan tiga tahun itu melepaskan tangan-tangan kecil posesif mereka dengan wajah cemberut yang lucu. Artha sampai tidak bisa menahan diri, tangannya terulur untuk mengusap kepala bocah yang paling kecil.

"Ayah nantik ajari Hanan bikin pesawat ya." Si bocah enam tahun merajuk sesudahnya sambil melambaikan selembar kertas origami. Diikuti si bocah tiga tahun, "Patih juga Yah!"

Ayah Anya lalu menunduk untuk mengusap kedua kepala bocah itu dengan penuh kasih sayang. "Iya nak, sana sama mamak dulu ya." Suaranya lagi-lagi terdengar lembut. Tuan Takur yang dingin dengan tamunya tapi begitu hangat dengan anak-anaknya.

"Adek-adek lo?" Artha beralih pada Anya.

Perempuan itu malah menggeleng dengan wajah masam. Artha mulai menerka lagi. Jadi sang ayah punya istri baru yang masih muda dan cantik serta punya dua anak laki-laki. Anya jelas-jelas tampak tidak senang atau lebih tepatnya cemburu! Artha bisa melihat dengan jelas.

"Cut." Ayah Anya mengulurkan tangannya berusaha meraih Anya yang bagai anak SD lagi cemburu dengan adik barunya. "Cut sudah makan? Temani ayah makan ya."

Anya mengangguk. Mengikuti ayahnya ke ruang makan. Artha garuk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Entah mengapa ia merasa seperti tidak kasat mata atau ia sedang disamakan dengan pajangan ruangan? Tak bernyawa. Begini ya rasanya jadi calon mantu ayah Anya yang tak diharapkan. Padahal cuma jadi pacar palsu tapi sakitnya sungguhan. Perih.

Selepas menemani sang Ayah makan malam, masih di meja makan, Artha bagai lalat di antara Anya yang sedang mengobrol dengan ayahnya. Meski terkadang Anya berusaha menariknya masuk ke dalam obrolan mereka, namun ayah Anya seolah enggan menyertakan Artha dari obrolan mereka. Rasanya seperti diping-pong sana-sini. Harga diri Artha sebagai lelaki terluka. Tapi ia tak menyerah dan nekat menerobos benteng kokoh sang ayah yang dibangun sejak awal pertemuan mereka di teras.

"Saya dengar dari Anya, bapak juga eksportir kopi. Ke negara mana saja pak kalo boleh tahu?" Pertanyaan standar ala wartawan yang nekat Artha tanyakan, memangkas obrolan ayah dan anak.

Ayah Anya yang sebenarnya tampak tidak senang, akhirnya mengalihkan tatapannya pada Artha dan meladeni pertanyaan Artha. "Paling banyak ke pasar Eropa," jawabnya dengan nada bangga sambil tersenyum tapi antara mata sama bibir tampak sekali tidak selaras. Senyum yang dipaksakan sambil menghisap rokoknya.

"Wow...luar biasa pak. Bisnis kopi begitu menjanjikan ya pak." Artha manggut-manggut, namun otaknya terus diperah sambil matanya sesekali melihat ke smartphone yang ia sembunyikan di bawah meja. Mencari contekan di mbak google.

"Rokok?" Ayah Anya tiba-tiba menyorongkan sebungkus rokok dan pemantik api ke arah Artha.

"Terimakasih pak." Artha menarik sebatang dari wadahnya dan menyulutnya tanpa sungkan-sungkan. Terkadang obrolan di antara dua pria asing bisa terjalin dengan mudah gara-gara nikotin.

Artha menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya perlahan-lahan. Kini Artha dan ayah Anya bagai dua lokomotif tempo dulu yang sedang diadu. Asap dengan segera memenuhi ruangan. Anya bahkan mengibaskan tangannya berkali-kali ke udara. Tampak kesal.

Anya mengetik pesan di ponselnya dan mengirimkan kepada Artha.

Anya: Sebatang saja, ok?

Artha hanya melirik layar ponselnya tanpa niat membalas. Malah tersenyum sambil memicingkan sebelah matanya pada Anya yang menatapnya dengan tatapan kesal.

Artha kembali fokus ke arah ayah Anya.

"Saya dengar juga baru-baru ini diadakan ajang pameran kopi terbesar dunia World of Coffee (WoC) 2017 di Budapest, Hungaria. Apakah bapak ikut menjadi salah satu delegasinya?" Artha kembali melemparkan bahan pertanyaan yang barusan ia temukan di google juga.

Kening ayah Anya berkerut, namun ia mulai tertarik dengan Artha.

"Nyo, beutoi*...tapi aku suruh abangnya Anya, Sultan yang berangkat mewakili. Alhamdulillah kemarin hasil ekspor kopi kami ke pasar Eropa meningkat hingga 25%." Ayah Anya terlihat antusias menceritakan keberhasilan bisnisnya. Anya tampak menarik nafas lega. Padahal wajahnya sedari tadi tampak tegang menonton interaksi mereka berdua.

"Bagaimana jika setelah ini kita ngopi bertiga. Kau tahu, putriku Cut ini pandai meracik kopi sejak SMP."

Anya melirik Artha dengan wajah tersipu. "Ayah berlebihan," balasnya.

"Ayah tidak pernah berlebihan. Cut saja yang selalu merendah. Kapan Cut ikuti jejak Ayah dan Abang Cut berbisnis kopi? Jangan lupa, kafein sudah mengalir dalam nadi keluarga kita sejak seratus tahun. Dari pada Cut jadi kacung di perusahaan itu lebih baik mulai ikut bantu usaha ayah."

"Ayaaah....plis jangan mulai lagi. Aku lebih pandai meracik kopi dari pada berdagang. Jadi petani kopi pun aku nggak pandai. Biarkan aku memilih jalanku yah. I love my job."

"Selalu saja keras kepala seperti mendiang mamak kau." Ayah Anya mengakhiri kalimatnya dengan mata menerawang ke langit-langit ruangan.

"Bagaimana jika kita mulai acara ngopinya pak? Saya sudah tidak sabar ingin mencicipi kopi racikan Cut." Artha mengalihkan suasana yang tiba-tiba suram saat ayah Anya menyinggung soal mendiang ibu Anya.

"Kau belum pernah merasakan kopi racikan Cut?"

"Belum pak."

"Kasihan sekali. Kau benar-benar pacarnya apa bukan?"

Tetoooot! Tuduhan ayah Anya bagai suara bel acara Cerdas Cermat siswa SD yang harus dijawab dengan cepat dan benar.

"Beneran pak. Sudah dua tahun." Artha memaksa menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Alias dua hari.

"Udah deh yah. Jangan bahas lagi. Anya ke dapur sekarang juga bikin kopi." Anya bangkit meninggalkan mereka berdua.

Kini yang tersisa di ruangan tinggal Artha dan Abdullah Saleh Ayah Anya yang saling melempar tatapan. Tatapan kalem Artha versus tatapan kelam calon Ayah mertua. Untung Artha telah siap mental meski di awal keberangkatan mereka ke Aceh, Anya tidak pernah bercerita kalau Ayahnya ternyata mirip tuan Takur.

"Jadi sampai di mana obrolan kita tadi pak?" Artha membuka suara untuk melemaskan ketegangan.

"Sampai pada seberapa serius kau dengan Cut?"

Sontak batin Artha menjerit, mampus kowe Tha! Mulai disidang.

Sedang Anya baru akan kembali satu jam kemudian dengan tiga cangkir kopi racikannya.

Keterangan:

*Nyo beutoi = iya betul.

Next chapter