Angin berhembus semakin kencang tapi Rose dan William masih betah duduk ditepi pantai sambil menatap laut dan mendengarkan deburan ombak.
Rose sudah berhenti menangis, ia tidak pernah menceritakan tentang keluh kesahnya kepada siapapun bahkan kepada Rayhan sekalipun tapi dengan mudahnya ia bercerita kepada William.
Perasaannya menjadi lebih lega sekarang, ia merasa beban yang selama ini mendesaknya telah berkurang banyak. Entah magis apa yang William miliki sehingga ia dapat dengan mudah mempercayakan beban hatinya begitu saja kepada William. Dan kalimat yang William katakan membuatnya merasa memiliki seorang pelindung yang selama ini tidak di milikinya.
Diam-diam aku perlahan bergantung padanya...
"Bagaimana dengan masa kecilmu?" Tanya Rose memecah keheningan.
William tidak lantas menjawab, membahas masa kecilnya sama dengan mengorek luka lamanya.
"Masa kecilku biasa saja." Jawab William berbohong.
"Pantas saja kamu tumbuh menjadi terlalu percaya diri, pasti kedua orangtuamu menghalalkan segala cara untuk membahagiakanmu." Tebak Rose.
"Tidak juga." Sahut William murung.
Rose menoleh dan menatap William yang masih memandangi laut.
"Ada banyak kisah yang disembunyikan, luka yang tidak pernah bisa sembuh dan banyak sekali manipulasi." Jelas William.
Rose tidak mengerti dengan perkataan ambigu William tapi ia dapat menangkap kesedihan dari raut wajah William.
"Aku hidup dalam rasa bersalah seumur hidupku."
"Rasa bersalah pada apa?" Tanya Rose mencoba mengorek lebih dalam lagi apa yang disembunyikan dibalik William yang sering berubah.
William menoleh dan tersenyum "Sudah terlalu malam untuk bercerita, sebaiknya kita kembali ke mansion. Aku sudah sangat mengantuk." Ucap William sebelum beranjak bangun dan melangkah mendahului Rose.
****
Rose telah terlelap sementara William tidak dapat tidur dan memilih kembali ke pesisir pantai, duduk sendirian dalam kesepian.
Pertanyaan Rose kembali terngiang dalam pikirannya "Rasa bersalah pada apa?"
"Rasa bersalah karena aku telah meninggalkannya." Gumam William menangis.
William mencoba mengingat bagaimana cara ia meninggal adiknya saya itu.
"Kami tidak bisa membawa kalian berdua. Kami hanya membutuhkan anak yang jenius bukan anak yang berisik."
Seringkali ada pasangan yang datang untuk mengadopsi mereka selalu saja mereka tidak menerima jika William ingin mengajak adiknya bersamanya yang akhirnya membuat William memilih tidak ikut dengan orangtua asuh yang berniat mengadopsinya.
Ia tidak akan meninggalkan satu-satunya keluarga yang ia miliki apapun yang terjadi.
Untuk itu karena tidak ingin berpisah dengan adiknya yang masih berusia delapan tahun, William selalu mengikuti kompetensi matematika dan bidang pelajaran lain dan setiap kali menang ia akan menabung agar kelak jika dewasa ia mampu membiayai adiknya dengan baik tapi siapa sangka ia malah bertemu dengan Jackson salah satu sponsor dari kompetisi perlombaan matematika yang ia ikuti.
Awalnya Jackson terlihat seperti malaikat, dia datang dengan kelembutan, dimatanya saat itu Jackson adalah pria bersayap yang ia kira adalah malaikat yang Tuhan berikan sebagai pengganti sosok ayahnya yang telah tiada. Bahkan ketika ia sendirian di luar kota demi untuk mengikuti perlombaan, Jackson selalu setia menemaninya.
"Ikutlah denganku, aku akan menjadikanmu anak biologis ku."
Sekali lagi air mata William menetes, kepalanya terasa sakit karena terlalu banyak mengingat tentang masa lalu, ia tidak sanggup untuk melanjutkan ingatannya yang akan membuat hatinya tercabik perih.
"Bagaimana aku menjelaskannya padamu nanti? Kalau aku tidak mengingat alasan kenapa aku pergi tapi hatiku sakit setiap kali mengingatmu, aku tidak pernah ingin meninggalkanmu."
Terlalu banyak luka, terlalu banyak rasa sakit. Kenangan indahnya bersama dengan adiknya yang selalu terbayang dan membuatnya dihantui kerinduan, penyiksaan yang Jackson lakukan padanya setiap kali ia berusaha untuk kabur dulu. Pecutan serta teriakan, penyiksaan yang ia terima sejak ia menjadi William Alexander.
Dalam sepotong ingatanya dimasa lalu ketika ia masih bersama dengan adiknya, Jackson adalah malaikat tapi selama hidupnya bersama dengan Jackson ia hanya mengenal rasa sakit, kekerasan dan penekanan. Ada satu kenangan yang menghilang, yang tidak dapat ia temukan walaupun ia berkali-kali mencoba hingga tersiksa dan akhirnya tumbang karena tidak mampu mengenang potongan ingatan itu, potongan ketika ia pergi meninggalkan adiknya, apa alasannya? Yang pasti William tidak pernah menginginkan menjadi William Alexander.
"Tolong jangan membenciku bila kita bertemu nanti..."
***
"Aku membencimu! Aku membencimu setengah mati! Jangan pernah mendatangiku bahkan di dalam mimpi sekalipun!" Teriak Rayhan, ia baru saja mengalami mimpi buruk itu lagi, mimpi ketika ia terbangun disebuah kamar di sebuah rumah sakit dan pengurus panti mengatakan jika kakaknya Raffael baru saja pergi dengan orangtua angkatnya.
Tanpa memperdulikan rasa sakitnya, Rayhan berlari keluar dari kamar rawatnya sambil memegangi kepalanya yang masih diperban. Berusaha kabur dari kejaran petugas rumah sakit agar dapat mengejar kakaknya yang akhirnya ia temukan tengah berjalan dengan seorang pria yang menggandeng tangannya.
"Kakak!" Panggil Rayhan berteriak tapi Raffael tetap melangkah tanpa menoleh, Rayhan kemudian kembali berlari walaupun tertatih, ia bahkan terjatuh tapi Rayhan kembali bangkit untuk mengejar Raffael yang masih berjalan dengan seorang pria menuju lapangan parkir.
"Kakak... Kakak tunggu aku! Tunggu aku jangan tinggalkan Rayhan kak!" Teriak Rayhan sekencang-kencangnya, ia yakin suaranya mampu menyentuh gendang telinga Raffael tapi Raffael sama sekali tidak menoleh.
"Kakak! Jangan tinggalkan aku! Aku tidak mau hidup sendirian kak! Kakak!" Panggil Rayhan, ia terus mengejar mobil mewah yang membawa Raffael pergi sampai pandangannya terasa kabur, Rayhan tetap berusaha untuk mengejar kakaknya tapi pandangannya tiba-tiba menggelap dan setelah itu hidupnya menjadi gelap gulita.
"Kakak... Jangan tinggalkan aku." Dalam keadaan sekarat pun yang ia pikirkan hanyalah kakaknya, kakak yang telah melangkah pergi meninggalkannya tanpa menoleh.
"Aku membencimu..." Rayhan menenggelamkan wajahnya dibalik lipatan tangannya, ia menangis memikirkan setiap rasa sakit yang ia menusuk hatinya.
Mengapa tidak ada satupun orang yang bersedia berada disisinya? Mengapa semua orang begitu senang meninggalkannya?
Entah itu kedua orangtuanya lalu Raffael dan sekarang Rose.
Lalu siapa yang akan mencintaiku? Tidak adakah cinta yang tersisa untukku?
Apa aku harus menyerah sekarang? Rayhan melangkah dengan gontai menuju kamar mandi dengan pergelangan tangan yang terluka dan berlumuran darah.
Rayhan kemudian duduk di dalam bathtub yang terisi penuh air dan perlahan air itu bercampur dengan darahnya.
Samar-samar ia melihat langit-langit kamar mandinya yang terlihat buram.
Bibirnya menyunggingkan senyuman kepedihan sebelum akhirnya ia menenggelamkan kepalanya kedalam air yang sudah berubah warna menjadi merah.
.....
Suara pintu terdengar terbuka secara kasar, Sammy datang mendobrak pintu setelah mendengar kabar dari orang yang ia suruh mengawasi rumah Rayhan, jika Rayhan telah kembali.
Kondisi rumah Rayhan masih berantakan seperti terakhir kali ia datang, sambil memanggil-manggil Rayhan, Sammy menaiki tangga untuk mencari Rayhan dikamarnya dna betapa terkejutnya ia melihat tetesan darah segar di lantai dan terus hingga kedalam kamar mandi.
Dengan kepanikannya, Sammy membuka pintu kamar mandi dan mendapati Rayhan menenggelamkan tubuhnya di dalam bathtub yang sudah terlihat seperti lautan darah.
"Rayhan!" Sammy memekik, ia segera mengangkat tubuh Rayhan agar Rayhan dapat bernafas.
"Rayhan sadarlah!" Panggil Sammy sambil menepuk-nepuk pipi Rayhan.
Rayhan masih tidak menjawab sementara Sammy semakin panik, ia berusaha meraih ponsel disakunya sambil terus memegangi Rayhan.
"Bertahanlah..." Pinta Sammy yang masih kesulitan meraih ponselnya tapi kemudian terdengar suara Rayhan tertawa pelan.
"Tuhan sepertinya juga tidak menginginkan aku berada disisi-Nya." Gumam Rayhan tertawa getir dengan mata yang masih terpejam.
"Apa kamu sudah gila? Mengapa kamu melakukan tindakan bodoh seperti ini?" Omel Sammy yang akhirnya dapat bernafas sedikit lega karena Rayhan masih sadarkan diri.
"Aku membencinya! Dia yang meninggalkanku tapi aku yang dihantui mimpi buruk... Kenapa? Kenapa hanya aku yang menderita? Katakan kenapa Sam? Kenapa hanya aku yang menderita?" Tangis Rayhan pecah ketika ia mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Kenapa mimpi buruk itu terus menerus menghantui hidupku? Aku ingin menghilangkan dia dari memori ku tapi dia selalu datang lagi dan lagi... Membuatku merindukannya lalu kemudian mendatangiku dalam mimpi buruk!" Isak Rayhan, Sammy hanya dapat memeluk Rayhan erat, ia bahkan tidak kuasa menahan air matanya, ini adalah titik terendah hidup Rayhan, dan perpisahannya dengan Rose sepertinya semakin membangkitkan kenangan buruk Rayhan dengan kakaknya sehingga ia bertindak gegabah seperti ini.
....