Berry membuka matanya dan merasakan sakit disekujur tubuhnya. Bahkan kulitnya saja kesakitan ketika di sentuh. Matanya menatap ke samping dan pandangannya langsung bersibobrok dengan Cherry. Dalam keadaan yang baru bangun, tentu saja dia tak bisa langsung mencerna apa yang terjadi.
Awalnya, Cherry yang masih duduk di kursi Berry dengan menghadap ke lelaki hanya diam saja tanpa mengatakan apapun. Tapi kemudian dia berkata, "Maaf karena aku berada di sini sekarang," Cherry menatap Berry dengan sungguh-sungguh. "Aku buatkan kamu bubur, setelah kamu makan, kamu bisa meminum obat." Berry tak bisa mengatakan apapun, tenggorokannya masih terasa sakit dan dia tak bisa mengeluarkan suaranya.
Berry hanya bisa menggelengkan kepalanya karena sekujur tubuhnya seakan sakit sema. Dia benci terlihat lemah, apalagi di hadapan seorang gadis asing yang akhir-akhir ini sedikit mampu mempengaruhi pikirannya.
"Biar aku bantu?"Cherry menawarkan. Ada jeda sebentar sebelum anggukan diberikan Berry. Mencoba menyangga tubuh belakang Berry dan menata bantal untuk dijadikan sandaran, barulah setelah terlihat nyaman, Cherry mengambilkan bubur di atas meja dan menyerahkannya. Bisa dilihat oleh gadis itu jika Berry terlihat kesusahan karena tangannya terlihat bergetar.
"Kalau kamu memang tidak keberatan, aku bisa membantu kamu untuk menyuapi." Cherry merasa canggung tentu saja, tapi dia tak setega itu membiarkan Berry berusaha melakukannya sendiri. Berry dengan reflek menatap Cherry dengan tatapan layu namun masih ada ketajaman di dalamnya.
Dan anggukan ringan diberikan kepada lelaki itu sebagai jawaban. Bukan saatnya untuk keras kepala. Syukur karena paling tidak ada seseorang yang datang di rumahnya ketika dia memang membutuhkan pertolongan.
Cherry benar-benar melakukan 'tugasnya' dengan sangat baik. Dia memperlakukan Berry dengan begitu lembut dan penuh kesabaran. Berusaha untuk tidak mengeluarkan ucapan apapun karena dia tak ingin kemudian Berry merasa terganggu. Canggung itu pasti, tapi Cherry tak mempermasalahkannya.
Tak lama setelah itu, langkah kaki terdengar dan pintu yang dibuka dengan kasar mengakhiri keheningan yang dirajut oleh Berry dan juga Cherry. Saat pintu terbuka lebar. Di sana, ada beberapa manusia yang menatap mereka dengan wajah kaget yang sangat kentara. Aga, Ara, Zea, dan Zaki tidak mengucapkan apapun saat melihat Cherry menyuapkan bubur terakhir dalam mangkuk.
Cherry sama sekali tak beraksi dan dia melanjutkan kegiatannya. Memberikan obat kepada Berry dan diterima dengan baik oleh lelaki itu. Pandangan tersebut seperti mereka adalah sepasang kekasih. Sayangnya, itu tidak.
---
Cherry tengah menjadi pusat perhatian empat orang yang tadi sedang memergokinya bersama dengan Berry. Tapi ini bukan masalah yang tadi, mereka menatap Cherry karena melihat bagaimana Kelihaiannya dalam memasak. Mereka terlihat takjub.
Setelah berkutat dengan berbagai peralatan masaknya, Cherry menghidangkan masakan yang dibuatnya ke depan teman-temannya. Semuanya tersenyum dan bertepuk tangan untuk Cherry karena apa yang dilakukan Cherry membuat mereka terkesan.
"Waw! Gue gak nyangka lo bisa sejago ini Cher." Aga memuji Cherry dengan kagum.
"Kalau melihat Cherry kaya tadi, itu kaya cewek-cewek yang siap nikah tahu nggak." Itu suara Zaki. Dan itu membuat Ara dan Zea terkekeh karenanya. Terkadang, pemikiran lelaki itu lebih ajaib dibandingkan dengan perempuan.
Tapi kemudian Ara bersuara, "Iyalah dia siap nikah, lihat aja tadi, udah mahir banget kelihatannya ngurus doi sakit." Gadis itu melanjutkan sindiran. Karena sejak tadi, mereka belum memberikan godaan-godaan kepada Cherry.
"Mana kelihatan serasi banget lagi. Jadi iri gue." Zea menambahkan. Dan itulah perempuan. Melihat adegan yang seperti itu pasti itu dianggapnya sebuah adegan romantis.
"Gue akan buat Coffee art-nya." sebelum sindiran itu merembet kemana-mana, Aga maju untuk menunjukkan keahliannya. Lagipula, Cherry saja tidak peduli dengan apa yang dikatakan teman-temannya. Gadis itu hanya menanggapi dengan santai saja.
Aga beraksi dengan sangat hebat. Setidaknya itu menurut mereka. Karena bagaimanapun, lelaki itu masih tahap belajar. Masih terlalu dini jika dia mendapatkan banyak pujian.
Secangkir Cappuccino bergambar kupu-kupu di atasnya itu mempesona para gadis. Bukan hanya para gadis, tapi juga Zaki. "Hebat, Bro." Katanya. Hanya sebagai informasi saja, jika Zaki adalah salah satu kelompok Cherry juga yang kebetulan dia baru bisa berkumpul bersama dengan timnya.
"Ada beberapa gambar yang bisa gue buat. Tapi karena seperti yang pernah gue bilang kalau gue masih dalam tahap belajar, karena itu kemampuanku terbatas."
"Udah keren sih menurut gue." Ara yang memberikan komentar.
"Iya, bener. Ini udah keren." Bagitu kata Cherry menambahkan. Mendengar pujian dari teman-temannya, membuat lelaki itu mengembangkan senyumnya.
"Terima kasih. Gue akan usahakan nggak gagal waktu kita praktek nanti." Setelah semua selesai, mereka melakukan meeting kembali dan membicarakan beberapa hal yang memang menurut mereka harus dibenahi. Seperti anggaran, dan hal-hal kecil lainnya sebelum mereka membuat proposal dan mengumpulkan kepada Dosen mereka.
°•°•°
"Gimana keadaan lo?" Aga ke kamar bernuansa putih itu dengan nampan berisi semangkuk bubur dan obat yang Cherry tinggalkan untuk Berry.
"Udah lebih baik, udah pada pulang?" Berry sudah bisa mengeluarkan suaranya meskipun masih terdengar parau.
"Iya. Lo nggak perlu ke rumah sakit?"
"Nggak perlu. Gue yakin malam nanti setelah tidur, gue akan sembuh besok."
"Pasti karena obat ini yang buat manjur banget kan?" Aga mengangkat obat ke arah Berry dan mencoba menggoda lelaki itu.
"Mungkin." Berry hanya menjawab singkat tanpa embel-embel apapun.
"Nih, lo makan deh, Cherry yang buatin buat elo. Apa perlu gue suapi kaya Cherry tadi?" godaan itu bahkan masih berlanjut.
Berry hanya mengangguk dan tak ambil pusing dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. "Miko belum pulang?" mengingat satu temannya yang belum muncul sedari tadi membuat Berry bertanya.
"Belum, katanya mau pulang ke rumahnya tadi, nggak tahu nginep apa enggak." Aga menjawab sambil membuka buku desain Berry. Aga tak meninggalkan Berry sendirian karena dia tak tega melakukannya. Sama seperti Cherry siang tadi.
"Gue tadi nggak sempet bilang makasih sama dia. Tolong gue titip bilangin kalau lo ketemu sama dia." Karena Cherry tadi langsung keluar setelah Berry sudah meminum obatnya, jadi ucapan itu belum tersampaikan.
"Ada tambahan 'sayangnya' nggak?" kedua alis Aga terangkat.Entah sampai kapan godaan itu akan terus berlanjut. Tapi Berry justru menjawab dengan santai.
"Terserah lo aja." Kemudian meletakkan mangkuknya yang sudah kosong kemudian melanjutkan dengan obat yang ditelannya.
"Istirahat deh, lo. gue yakin lo sekarang sedang melakukan itu. Titipan lo akan gue sampaikan dengan selamat." Aga kemudian berlalu dari sana dan meninggalkan Berry sendirian di kamarnya.
*.*